Sekolah Dasar Islam Asshafa Membantah Telah Mengajarkan Radikalisme

Oleh Aditya Surya
2015.07.17
150717_ID_ADITYA_RADIKALISME_DI_SEKOLAH_ISLAM_700.jpg Sebuah kitab suci Al-Quran tertutup abu vulkanik Gunung Sinabung di Karo, Sumatera Utara, Indonesia, 17 Juni 2015.
AFP

Kepala sekolah Sekolah Dasar (SD) Islam Terpadu Asshafa di Depok, Jawa Barat, Tomi Rohili membantah telah menyebarkan radikalisme melalui pentas teater di sekolah.

“Berita tersebut tidak benar adanya, kami bukan mengajarkan radikalisme. Justru yang kami ajarkan adalah kepedulian terhadap sesama Muslim,” katanya kepada BeritaBenar via telefon hari Jumat.

“Pemberitaan media sepertinya telah membesar-besarkan permasalahan ini. Dan untuk itu saya mengklarifikasi bahwa itu tidak benar.”

Lewat teater

Berita tentang radikalisasi di SD Asshafa berawal dari pementasan teater di sekolah tersebut.

“Pementasan yang digelar Juni lalu mengusung tema tentang kepedulian kepada sesama terhadap Muslim, terlebih Muslim di Palestina yang dijajah Israel. Tentunya kami berharap siswa kami mempunyai rasa kemanusiaan,” katanya menjelaskan.

Dalam pementasan teater tersebut anak-anak SD Asshafa menggunakan ikat kepala yang bertuliskan huruf Arab dengan muka yang ditutup oleh kain sarung.

“Memang ada dalam bagian drama tersebut tentang jihad melawan Israel, tetapi nilai yang kami usung adalah solidaritas sesama Muslim,” kata Tomi sambil menjelaskan bahwa kostum yang dinilai seperti jihadis, itu hanyalah sebagai upaya menarik penonton, bukan untuk meniru jihadis.

Meskipun demikian Tomi mengakui bahwa dalam pementasan tersebut memang ada adegan perang dan penggunaan senjata mainan.

“Yah itu karena ceritanya tentang bagaimana warga Palestina melawan dengan senjata. Dari segi sinema, gerak gerik anak-anak tersebut menarik perhatian,” Tomi menambahkan.

“Harap masyarakat lebih terbuka menerima seni sebagai seni, jangan semuanya dikaitkan dengan radikalisme,” katanya lanjut.

Herwina Hartini warga Depok mengatakan terkejut menyaksikan pertunjukan tersebut.

“Menurut saya tema cerita tidak tepat bagi anak-anak, karena menyangkut isu politik yang sangat sensitif, terutama antara Palestina dan Israel yang sedang berkonflik dalam waktu panjang,” katanya.

“Kalau ingin membuat cerita tentang solidaritas Muslim kenapa tidak mengusung cerita dari dalam negeri sendiri. Misalnya bagaimana umat Islam membantu korban Gunung Sinabung yang mayoritas adalah umat Kristen,” katanya memberikan contoh rinci.

Heri Setiawan warga Depok yang mengaku tinggal tidak jauh dari SD Asshafa mengatakan bahwa tidak mungkin sekolah tersebut mengajarkan radikalisme.

“Ini hanyalah pentas anak-anak SD. Terlalu dini untuk menyimpulkannya. Selama ini mereka tampak sopan dan bersikap Islami, baik guru dan murid-muridnya,” katanya.

Proses radikalisasi

Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Arief Dharmawan, mengatakan bahwa proses radikalisasi terhadap individu bisa terjadi secara beragam.

“Ada yang melalui internet atau melalui sekolah. Karena itu sebaiknya pendidik paham akan hal ini dan berhati-hati,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 16 Juli.

“Karena meskipun teater yang dimainkan bertujuan untuk membangun solidaritas terhadap umat Islam, tetapi pelajar atau masyarakat bisa menangkap dengan pengertian yang berbeda.”

Arif juga menambahkan bahwa BNPT beserta dengan jajaran kepolisian lainnya tengah berusaha keras menangkal tumbuh dan berkembangnya radikalisme di Indonesia.

“Kami bahkan telah mengusulkan merevisi UU No.9, 1998 tentang hak berbicara dan UU no.17/2013 tentang makar untuk mencegah penyebaran ideologi ISIS. Di Indonesia masih banyak organisasi, termasuk organisasi Islam yang tidak terdaftar,” katanya sambil memberikan contoh, Front Pembela Islam (FPI) sampai sekarang tidak mempunyai izin.

Kedua Undang-Undang tersebut menurut Arif hanya mengatur penegakkan hukum bagi organisasi yang terdaftar.

“Bagaimana kita akan menegakkan hukum kalau mereka tidak terdaftar?” katanya lanjut.

"Tanpa ini provokator, termasuk pendukung ISIS, bisa saja berbicara dan menyebarkan ideologi yang salah di publik atau lewat kegiatan sekolah dengan dalih seni atau lainnya,” ujar Arif lebih lanjut.

BNPT baru-baru ini meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memblokir sejumlah situs yang dianggap radikal berdasarkan surat No. 149/K.BNPT/3/2015

“Kami melakukan upaya apapun untuk bisa menangkal radikalisme,” tambah Arif.

Perlu menangkal radikalisme melalui pendidikan

Pakar psikologi dari Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono, mengatakan bahwa radikalisasi di Indonesia sudah merambah seluruh lapisan masyarakat.

“Tidak terbatas dengan status ekonomi ataupun tingkat pendidikan. Hasil penelitian kami menyatakan bahwa radikalisasi di Indonesia semakin meningkat sejak awal reformasi,” katanya kepada BeritaBenar.

Sarlito menambahkan bahwa penyebab peningkatan radikalisasi di Indonesia ada berbagai macam.

“Melalui khotbah atau ceramah keagamaan, melalui internet, majelis taklim bahkan melalui sekolah serta dalam keluarga,” katanya.

“Saya mendapat laporan dari beberapa daerah tentang murid yang tidak lagi bersedia melakukan upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya atau mengucapkan Pancasila,” katanya.

Sarlito mengatakan ini sangat krusial dan karena itu pemerintah harus mengubah kurrikulum pendidikan.

“Selama ini issu agama dianggap terpisah dari pendidikan. Ini tidak benar. Upaya melawan radikalisme di Indonesia melalui kurikulum pendidikan harus diutamakan,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.