Pemerintah Larang Sekolah Negeri Wajibkan Pemakaian Simbol Agama
2021.02.03
Jakarta
Pemerintah resmi melarang sekolah negeri dan otoritas daerah di seluruh wilayah Indonesia untuk mewajibkan penggunaan seragam dan simbol agama menyusul kontroversi yang dipicu oleh diwajibkannya siswi nonmuslim di sebuah sekolah di Padang, Sumatra Barat, untuk mengenakan jilbab.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai seragam sekolah yang disahkan Rabu (3/2) mengatur penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
“Pemerintah daerah atau sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama,” ujar Nadiem dalam jumpa pers virtual di Jakarta.
Menurut Nadiem, peraturan ditujukan untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, moderasi beragama dan toleransi atas keragaman.
“Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan ini ditetapkan,” ujar dia.
Jika ditemukan pelanggaran, kata dia, maka Pemda dan Kemendikbud akan memberikan sanksi kepada sekolah tersebut, termasuk mencabut Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya.
Namun, peraturan ini tidak akan berlaku di Aceh mengingat Aceh memiliki pemerintahan khusus. “Terakhir, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan beragama Islam di Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama itu,” kata dia.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 2002 menerapkan peraturan perundang-undangan syariah--yang juga disebut qanun--untuk mengatur tata pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Pada 2015 lalu, Pemerintah Provinsi Aceh bahkan mulai menerapkan qanun jinayat atau hukum pidana Islam di wilayahnya.
Kemendikbud juga membuka posko aduan dan pelaporan terkait pelanggaran, yakni melalui Unit Layanan Terpadu Kemendikbud, pusat panggilan 177, portal: http://ult.kemdikbud.go.id, email pengaduan@kemdikbud.go.id, dan portal lapor http://lapor.kemdikbud.go.id.
Apresiasi
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan, Retno Listyarti, mengapresiasi SKB tersebut karena dapat menghentikan berbagai masalah yang selama ini ada di sejumlah daerah karena adanya berbagai aturan yang kontroversial.
“SKB tersebut menjawab polemik di daerah, karena munculnya berbagai aturan terkait seragam di lingkungan sekolah bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang dinilai cenderung diskriminatif dan intoleransi sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah,” ujar Retno.
Menurutnya, ketentuan bahwa peserta didik dan pendidik berhak memilih seragam sekolah dan atribut tanpa kekhususan agama, atau dengan kekhususan agama merupakan perwujudan dari hak asasi individu sesuai keyakinan pribadinya.
“Hal ini penting ditekankan, karena melarang menggunakan maupun mewajibkan menggunakan, semuanya melanggar hak asasi manusia (HAM), padahal pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, nondiskriminatif dan menjunjung tinggi HAM,” tegas Retno.
Retno mengakui, menutup aurat bagi muslimah memang kewajiban, namun, ujar dia, dalam prinsip mendidik, caranya tidak dapat dilakukan dengan paksaan, harus dengan membangun kesadaran terutama bagi anak-anak.
“Berikan pengetahuan, edukasi dan contoh (model) terlebih dahulu, sehingga anak memiliki kesadaran pribadi tanpa merasa terpaksa melakukannya dan benar-benar yakin saat memutuskan menggunakannya, jadi tidak dipandang hanya sekedar seragam, namun menyadari makna mengapa harus menutup aurat,” ujar dia.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan sosialisasi terkait ketentuan peraturan kepada pendidik dan Kepala Sekolah di daerah untuk memahami keberagaman, menguatkan persatuan, mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan menjunjung tinggi HAM.
“Jika terjadi pelanggaran dalam ketentuan dalam SKB 3 Menteri tersebut, maka diatur ketentuan pihak yang dapat memberikan sanksi. Sanksi diberikan secara berjenjang, tergantung siapa yang melakukan pelanggaran,” ujarnya.
“Jika yang melakukan pelanggaran adalah pihak sekolah maka yang berhak menjatuhkan sanksi adalah pemerintah daerah. Ketika yang melakukan pelanggaran adalah Pemerintah Daerah (kabupaten/kota), maka yang akan memberikan sanksi adalah gubenur,” paparnya.
“Jika pelaku pelanggaran adalah gubenur, maka yang berhak memberikan sanksi adalah Kementerian Dalam Negeri,” ujar dia.
Banyak kasus serupa
Kasus pemaksaan penggunaan jilbab pada nonmuslim seperti yang terjadi di SMKN 2 Padang yang akhirnya viral di sosial media dan memicu diterbitkannya SKB ini, bukanlah satu kasus perkecualian, karena kaus pemaksaan penggunaan atribut agama, terjadi di banyak sekolah di Tanah Air.
Retno mengatakan, selain kasus di SMKN 2 Padang, ada banyak contoh kasus lainnya terkait dengan keharusan mengenakan pakaian dengan atribut agama tertentu.
Kala itu, video rekaman yang berisi kesaksian para murid yang terpaksa menggunakan jilbab di SMKN 2 Padang viral.
Retno merinci, beberapa sekolah lainnya dengan kasus serupa antara lain SMKN 3 Kota Padang, SMKN 12 Padang, SMAN 16 dan SMAN 18 Kota Padang.
Mereka mengaku telah menggunakan seragam jilbab ini sejak duduk di jenjang SD dan SMP, meskipun mereka bukan beragama Islam.
"Saya akan melepaskan jilbab saya jika diberi kesempatan," aku salah satu siswi nonmuslim di sana.
Selain keharusan menggunakan jilbab, ada beberapa kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar di Bali.
Selain itu Juni 2019 lalu, surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam Muslim.
Intoleransi juga sempat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah.
“Harus ada partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman intoleran. Mereka bisa melaporkan kasus-kasus tersebut,” ujarnya.
Tidak bermanfaat
Pendapat berbeda disampaikan Pakar Pendidikan dari Vox Populi Indonesia, Indra Charismiaji. Menurutnya, SKB tiga menteri ini tidak bermanfaat karena prakteknya banyak peraturan diskriminatif dihasilkan dari peraturan daerah (perda).
“SKB itu kekuatan hukumnya tidak ada. Kalau sudah ada perda syariah lalu dilawan oleh SKB tiga menteri ya ngga bisa, diketawain. Ada urutan perundang-undangan. Harus sesuai dengan tata negara,” ujarnya.
Ia mencontohkan, Aceh yang menerapkan Perda Syariah sehingga mengharuskan siapapun yang berada di Aceh menggunakan jilbab. Selain itu di Manokwari, yang menerapkan Perda Injil yaitu kebalikan yaitu melarang menggunakan jilbab, tuturnya.
Kasus di Padang, ungkapnya, terjadi karena instruksi walikota. Namun kekuatan instruksi ini lebih kuat dibandingkan dengan SKB tiga menteri. “Nantinya percuma karena tidak bisa diberikan sanksi. Minimal harus Perpres.”
Ia mengatakan keberagaman lebih penting dari keseragaman.
“Sebaiknya murid pakai baju bebas saja seperti di luar negeri karena pakai seragam itu menurut penelitian tidak berpengaruh pada hasil pembelajaran. Lebih baik pemerintah meningkatkan ke mutu pendidikan dan bukan mengurusi soal seragam,” pungkasnya.