Senyum Novanto Setelah Dituntut 16 Tahun Penjara

Menurut jaksa KPK, Setya Novanto turut mengintervensi pengadaan proyek e-KTP dengan menggelar serangkaian pertemuan.
Arie Firdaus
2018.03.29
Jakarta
180329-ID-Novanto-620 Terdakwa kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, tersenyum ketika sidang dengan agenda mendengarkan tuntutan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 29 Maret 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Senyum masih terpasang di wajah Setya Novanto saat bersalaman dengan anggota tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdiri berderet di meja di sisi kirinya.

Tak ada kesenduan di wajahnya, kendati tim lembaga anti-rasuah baru saja menuntut hukuman yang tergolong berat dan berlapis kepadanya: 16 tahun penjara, denda Rp1 miliar, ganti rugi US$7,4 juta, dan pencabutan hak politiknya.

"Beliau lapang dada," kata kuasa hukum Novanto, Firman Wijaya, menjelaskan respons kliennya seusai persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 29 Maret 2018.

"(Beliau) Berusaha untuk menghormati proses ini. Meski sebagai manusia biasa, beliau terkejut (atas tuntutan)."

Sikap Novanto tersebut tak jauh berbeda dengan istrinya, Deisti Astriani Tagor, yang menyaksikan pembacaan tuntutan dari baris kursi terdepan ruang pengadilan.

Begitu jaksa selesai membacakan tuntutan kepada sang suami – yang disambut sayup kalimat istighfar beberapa orang yang duduk di sebelahnya, Deisti malah tersenyum.

Tak ada komentar dari Deisti atas tuntutan hukum untuk suaminya. Setelah melihat sang suami berjalan meninggalkan ruang sidang, Deisti pun keluar ruang sidang.

Novanto memang banyak tersenyum sepanjang persidangan yang berlangsung sekitar 4,5 jam, tidak seperti saat sidang perdana, kala dirinya terlihat sakit dan tidak mampu mendengar perkataan hakim dengan baik.

Tolak justice collaborator

Selain membacakan tuntutan hukuman, jaksa KPK dalam kesempatan tersebut juga meminta hakim untuk menolak permohonan justice collaborator atau saksi pelaku bekerja sama yang diajukan Novanto.

Jaksa Abdul Basir yang membacakan pertimbangan, menilai Novanto belum memenuhi syarat meski dalam persidangan Kamis pekan lau, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengungkapkan ada dua politisi PDI Perjuangan – Puan Maharani dan Pramono Anung, juga menerima aliran dana dari proyek e-KTP.

Namun, kedua politisi yang kini berada dalam kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo membantah menerima dana masing-masing USD $500.000 seperti disebutkan Novanto.

"Perundang-undangan mensyaratkan justice collaborator harus memenuhi syarat, yaitu memberikan keterangan signifikan dan mengungkap pelaku yang lebih besar," kata Basir.

"Dengan parameter itu, terdakwa belum memenuhi kualifikasi."

Atas penolakan permohonan itu, Firman Wijaya mengaku kecewa. Menurutnya, tim jaksa tidak memerinci alasan Novanto tidak layak berstatus justice collaborator (JC).

"Sepanjang pembacaan tuntutan, kami tidak melihat alasan yang signifikan bahwa JC itu harus ditolak," kata Firman.

Meski begitu, dia mengatakan akan terus mengupayakan agar status justice collaborator bisa dikabulkan hakim saat vonis nanti.

Salah satu caranya ialah menyusun pledoi yang menyatakan Novanto siap mengungkap kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).

"Kami akan susun itu nanti, dibacakan langsung Pak Novanto dan kuasa hukum," katanya.

Sidang beragenda pledoi atau pembelaan terdakwa bakal dilaksanakan pada 13 April mendatang.

Istri terdakwa kasus korupsi Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor (dua dari kanan), ikut hadir di persidangan suaminya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 29 Maret 2018. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Istri terdakwa kasus korupsi Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor (dua dari kanan), ikut hadir di persidangan suaminya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 29 Maret 2018. (Arie Firdaus/BeritaBenar)

Menyalahgunakan wewenang

Dalam berkas tuntutan setebal 2.415 halaman, jaksa menilai bahwa Novanto terbukti melanggar dakwaan kedua yakni Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, setelah ditemukan fakta bahwa ia turut mengintervensi pengadaan proyek e-KTP yang bernilai total Rp 5,9 triliun itu.

Intervensi itu, lanjut jaksa, diketahui setelah Novanto kedapatan menggelar serangkaian pertemuan yang membahas proyek dengan beberapa orang lain, seperti dua pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto; serta pengusaha rekanan kementerian, Andi Narogong.

"Terdakwa menggunakan kewenangannya untuk intervensi Irman dan Sugiharto untuk memenangkan konsorsium tertentu," kata jaksa.

"Bahkan diketahui sempat mengingatkan Irman, jika diperiksa KPK, agar mengaku tidak mengenal terdakwa."

Irman dan Sugiharto masing-masing telah dihukum tujuh dan lima tahun penjara atas keterlibatan dalam korupsi proyek e-KTP pada Juli 2017.

"Merujuk fakta di atas, terdakwa terbukti telah menyalahgunakan wewenang karena sebagai anggota DPR yang memiliki fungsi pengawas justru terlibat dalam rangkaian perbuatan pidana," tambah jaksa.

Selain dua pejabat Kementerian Dalam Negeri tadi, pengusaha Andi Narogong juga mendapatkan hukuman delapan tahun penjara atas keterlibatan korupsi e-KTP.

Ada pula politikus Hanura, Miryam Haryani divonis lima tahun penjara atas dakwaan memberikan keterangan palsu pengungkapan kasus e-KTP.

Sampai kini, beberapa orang masih menjalani persidangan, seperti pengusaha rekanan kementerian lain, Anang Sugiana; mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi; dan dokter RS Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo.

Dua nama terakhir dijerat atas dakwaan menghalangi pengungkapan kasus e-KTP karena mengatur siasat jahat berupa kecelakaan mobil palsu yang dialami Novanto, November lalu saat hendak ditangkap penyidik KPK.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.