“Sedih, perih dan kecewa. Sampai sekarang tidak mendapat keadilan!”
2023.09.29
Malang
Kehidupan Cholifatul Nur, 40, berubah total sejak kehilangan anak semata wayangnya Jovan Farellino Yuseifa Pratama Putra, 15, dalam tragedi mematikan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Oktober tahun lalu.
“Percuma saya bekerja, tak ada Jovan. Tak ada yang menyemangati,” kata perempuan yang kerap dipanggil Mama Ifa itu kepada BenarNews, Jumat (29/9).
Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022 itu merupakan salah satu bencana sepak bola terburuk di dunia, yang menelan korban jiwa 135 orang dan melukai ratusan lainnya.
Jovan bahkan bukan suporter fanatik Arema FC, klub sepak bola profesional Indonesia yang berasal dari Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang 40.000 lebih pendukungnya pada malam naas itu memenuhi stadion yang berkapasitas hanya 38.000.
Ketika tim tuan rumah kalah melawan Persebaya Surabaya, sejumlah suporter yang marah turun ke lapangan dan polisi membalasnya dengan tembakan gas air mata. Hal itu berakibat pada kepanikan penonton yang sesak nafas, berdesakan dan terinjak saat berusaha ke luar stadium melalui pintu-pintu kecil yang terbatas. Peraturan Federasi Sepak bola Internasional (FIFA) melarang keras penggunaan gas air mata di dalam stadion.
Nur mengatakan, Jovan baru kali ketiga menonton pertandingan klub sepak bola kecintaan masyarakat Malang itu. Anaknya sebelumnya lebih menyukai bulu tangkis. Dia memenangkan kompetisi bulu tangkis tingkat SMP.
Baru pada saat memasuki sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Bululawang, Malang, dia mulai menyukai sepak bola.
Jovan menonton sepak bola bersama teman-teman sekolahnya.
“Saya tak bisa menerima kenyataan anak saya tak bisa hidup kembali,” kata Nur.
Tidak adil
Tim pencari fakta yang ditunjuk oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo menemukan bahwa polisi telah menggunakan kekuatan berlebihan dan mengunakan gas air mata secara membabi buta. Manajemen stadion yang buruk, langkah-langkah keamanan dan keselamatan yang tidak memadai, dan kurangnya koordinasi antar pihak berwenang disebutkan sebagai faktor penyebab lainnya,
Pengadilan telah menghukum lima orang – tiga petugas polisi, penyelenggara pertandingan dan koordinator keamanan – karena kelalaian kriminal dan menjatuhkan hukuman penjara mulai dari satu hingga dua setengah tahun.
Pada 16 Maret, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua dari tiga polisi yang didakwa telah menembakkan gas air mata yang berujung pada kematian lebih dari seratus orang. Lima bulan kemudian, Mahkakamah Agung membatalkan vonis bebas dua polisi tersebut.
Dalam putusan kasasi pada 23 Agustus, majelis hakim menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara kepada Wahyu Setyo Pranoto yang merupakan mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang dan vonis 2 tahun penjara kepada bawahannya, Bambang Sidik Achmadi, yang kala itu menjabat Kepala Satuan Kepolisian Resor Malang fungsi pengendalian masyarakat.
Nur merasa hukuman yang diterima para pelaku sangat tidak sebanding dengan hilangnya nyawa dan kerugian yang diderita para penyintas,
“Mama ikhlas. Saya doa, demi keadilan. Saya mau tukar nyawa dengan keadilan,” kata Nur di depan nisan Jovan.
Trauma, kecewa dan keadilan yang tak kunjung datang
Korban tragedi lainnya, Deyangga Sola Gratia, 24, masih sering merasakan sesak nafas saat melakukan kerja berlebih. Kondisi ini dialami sejak terpapar gas air mata di Kanjuruhan. Ia harus terus mengonsumsi obat pereda nyeri dan sempat didampingi psikolog atas trauma yang dialami.
Rasa ketakutan dan resah hadir jika Deyangga mendengar suara sirene dan bunyi ledakan. Keringat dingin dan tubuhnya bergetar, trauma. Kadang dia mengalami halusinasi bayang-bayang kejadian rusuh di stadion, termasuk jenazah korban tragedi Kanjuruhan yang berjajar di stadion.
“Tiba-tiba teringat kembali kejadian kelam tahun lalu,” kata Deyangga.
Setahun berlalu, Deyangga dan korban lainnya mengaku belum mendapat keadilan. Mereka mengatakan tidak ada ganti rugi serta permintaan maaf dari Jokowi yang berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut dengan cepat dan adil.
“Sedih, perih dan kecewa. Sampai sekarang tidak mendapat keadilan. Minimal dihukum seumur hidup, kalau bisa hukuman mati. Juga dicopot dari jabatannya. Hukuman tak sebanding dengan luka, dan kepedihan yang dirasakan korban,” katanya, menambahkan bahwa pimpinan polisi mulai Kapolres Malang dan Kapolda Jawa Timur tidak ditindak secara hukum. Mereka menjalani hukuman disiplin.
Tak hanya itu, dia juga menuntut manajemen Arema dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) turut dihukum, karena terlibat dalam menyulut kerusuhan yang merenggut nyawa orang tak berdosa.
Kekecewaan Deyangga bertambah ketika PSSI melalui PT Liga Indonesia Baru kembali menggulirkan kompetisi yang seolah tak memiliki empati atas kejadian tragedi Kanjuruhan.
Sementara Devi Athok Yulfitri, 44, kehilangan dua putrinya Natasya Devi Ramadhani, 16, dan Naila Debi Anggraini yang berusia 13 tahun.
“Sejak kejadian ini saya tidak akan menonton bola sampai mati. Percuma tak ada jaminan keamanan,” katanya.
Athok kerap mengajak Natasya menonton sepak bola sejak bayi. Dia mengajarkan ke putrinya bahwa sebagai suporter harus selalu sportif, tidak terjebak dalam fanatisme buta, serta tidak melakukan kekerasan.
“Sejak kecil, Tasya ingin jadi polisi. Ternyata meninggal dibunuh polisi. Saya sangat menyesal,” kata Athok, tentang anaknya yang saat itu adalah siswa di sekolah kejuruan SMK Negeri 1 Kota Malang.
Curiga autopsi dimanipulasi
Berbagai langkah hukum ditempuh Athok, termasuk mengajukan autopsi kedua anaknya, lantaran dia meyakini anaknya meninggal tidak wajar. Tak ada luka, sedangkan kulit wajahnya berwarna merah kehitaman, mulutnya mengeluarkan busa.
Dia kecewa setelah tim dokter forensik yang mengautopsi menyebutkan kedua putrinya meninggal terinjak-injak. Apalagi, dokter forensik lain yang dijadikan pembanding ditolak polisi. Dia mencurigai hasil autopsi dimanipulasi.
“Sejak awal pesimis dengan hasil autopsi yang dilakukan polisi. Dimanipulasi,” katanya.
Karena merasa tidak kunjung mendapatkan keadilan, sejak pekan ini Devi Athok dan keluarga korban melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dan Komisi III DPR.
“Kami menagih janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan perkara tragedi Kanjuruhan. Tuntaskan kasus, seadil-adilnya,” kata Athok.
Mendapat ancaman
Devi Athok dan Cholifatul Nur mengatakan mereka kerap mendapat ancaman dan mengalami percobaan pembunuhan. Sehingga, keduanya mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sampai kasus tragedi Kanjuruhan tuntas.
Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan Imam Hidayat menjelaskan laporan ke Bareskrim Polri terkait kekerasan, penganiayaan terhadap anak dan perempuan yang menimbulkan luka berat dan meninggal dunia.
Sejumlah alat bukti, mulai surat kematian, saksi dan foto dilampirkan dalam laporan tersebut, ungkap Imam.
“Bukti jelas, menunjukkan terjadi kekerasan yang menyebabkan luka dan kematian,” kata Imam.
Sedangkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) yang dikeluarkan Polres Malang tak menghambat laporan tim tersebut. Imam meyakini penyidik di Bareskrim Mabes Polri lebih kompeten, dan punya kewenangan menangani perkara ini.
Imam juga berharap Komnas HAM melakukan investigasi ulang, yang lebih mendalam dan detail. Sehingga akan memutuskan terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi Kanjuruhan tersebut.
Selanjutnya, agar dibentuk tim independen yang melibatkan Kejaksaan Agung dalam menyelidiki perkara. “Ada konflik kepentingan jika penyidikan dilakukan polisi,” kata dia.