Setara Institute: Intoleransi Meningkat di Jakarta
2017.01.30
Jakarta
Jakarta berada pada peringkat kedua kota di Indonesia dengan tingkat intoleransi tertinggi sepanjang tahun 2016, demikian laporan Setara Institute, organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu demokrasi dan perdamaian.
Wakil Ketua Setara, Bonar Tigor Naipospos mengatakan, terdapat 31 kasus intoleransi di ibukota yang terjadi pada 2016. Sedangkan posisi pertama ditempati Jawa Barat dengan 41 kasus.
“Ini cukup mengejutkan mengingat Jakarta tidak pernah masuk lima besar kota dengan tingkat intoleransi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir,” katanya saat merilis laporan tahunan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan tahun 2016 di Indonesia, di Jakarta, Minggu, 29 Januari 2017.
Menurut Bonar, aksi massa pada 4 November dan 2 Desember tahun lalu yang dimotori organisasi massa Islam di Jakarta untuk menuntut proses hukum terhadap Gubernur non-aktif Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, atas tuduhan penistaan agama, mencerminkan tingginya tindakan intoleransi di ibukota.
Ahok yang mencalonkan diri sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada pada 15 Februari nanti masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
“Aksi-aksi ini menunjukkan berkembangnya konservativisme dan puritanisme. Gejala ini mulai berkembang di kalangan masyarakat ibukota, khususnya kelas menengah yang berpendidikan dan mapan,” ujarnya.
Peneliti Setara, Halili menyebut, sama seperti tahun 2015, Jawa Barat tetap menempati posisi pertama pelanggaran kebebasan keagamaan pada 2016, dengan jumlah 41 kasus.
“Salah satu penyebabnya adalah SK gubernur tentang pelarangan aliran Ahmadiyah. Dari sepuluh indikator intoleransi tertinggi, tujuh di antaranya ada di Jawa Barat,” ujarnya.
Setelah Jawa Barat, lanjutnya, berturut-turut disusul Jakarta (31 kasus), Jawa Timur (22), Jawa Tengah (14), dan Bangka Belitung (11).
Kelompok warga
Menurut Halili, ada fenomena baru muncul dalam laporan kebebasan beragama tahun lalu. Selama sembilan tahun sebelumnya, pelaku kekerasan dari kalangan non-negara didominasi aliansi ormas Islam, kali ini kelompok warga, yang tidak berafiliasi pada kelompok manapun, mengambil alih posisi tersebut.
Sebanyak 42 kasus kekerasan dilakukan warga, disusul aliansi ormas Islam (30), Majelis Ulama Indonesia (17), Front Pembela Islam/FPI (16), dan perusahaan (4).
Bentuk kasus berupa intoleransi (39), penyesatan (15), intimidasi (9), ucapan kebencian (6), ancaman (5), pelarangan pendirian tempat ibadah (5), pembakaran properti (5), dan pembubaran kegiatan keagamaan (5).
“Meski demikian, negara tetap menjadi aktor utama kasus-kasus intoleransi tahun 2016. Tercatat 140 kasus intoleransi dilakukan negara pada 2016, meningkat dari 96 kasus tahun sebelumnya,” ujar Halili.
Institusi kepolisian mendominasi dengan 37 kasus, disusul pemerintah kabupaten/kota (35), institusi pendidikan (9), Kementerian Agama (9), dan kejaksaan (8).
Jenis pelanggaran itu berupa diskrimasi, pembiaran, kebijakan diskriminatif, cordoning, pemaksaan menjalankan ibadah, dan pemaksaan keyakinan.
“Sangat disayangkan dengan masuknya institusi pendidikan, yang seharusnya menyebar nilai-nilai pluralis seperti tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika,” tutur Halili.
Meskipun jumlahnya fluktuatif dari tahun ke tahun, Halili melihat tren kekerasan dalam beragama meningkat pada era pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla.
Kekerasan yang dilakukan negara pada 2016 ada 208 kasus, meningkat dibanding tahun 2014 (134) dan 2015 (197).
Tren serupa ditunjukkan kalangan aktor non-negara yakni 177 kasus pada 2014, 236 kasus di 2015, dan 270 kasus tahun 2016.
“Kalau tidak ada tindakan khusus dari pemerintah, jumlah itu terus meningkat. Kami mendesak pemerintah untuk bertindak. Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi?” kata Halili.
Tanggapan Polri
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Rikwanto, menyatakan meluasnya intoleransi menyeret institusi negara pada situasi dilematis dan cenderung menjaga ketertiban sosial lebih luas.
“Sebagai garda depan aparat keamanan seringkali vis a vis dengan masyarakat, karena itu Polri seringkali menjadi institusi terkena dampak dan tuduhan pembiaran,” katanya saat dikonfirmasi BeritaBenar, Senin.
Namun demikian, pada awal 2017, sejumlah kepala daerah, institusi Polri, dan lembaga kepresidenan telah mulai menunjukkan sikap tegasnya pada pembelaan kemajemukan.
“Polri telah menunjukkan langkah pemulihan supremasi hukum dan konstitusi dengan komitmen menegakkan hukum atas kelompok intoleran,” tegasnya.
Bantahan FPI
Sekretaris Jenderal DPD FPI DKI Jakarta, Novel Chaidir Hasan Bamukmin, membantah laporan Setara yang dinilai menyudutkan organisasinya dan umat Islam.
“Kami tidak sependapat dengan Setara yang selalu mendiskreditkan FPI. Kami selalu berseberangan dengan Setara yang berpaham liberalism,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Novel menambahkan data yang dipaparkan Setara bukan mencerminkan suara Muslim.
“Setara Institute tidak paham Islam yang sebenarnya. Malah, menuduh dan memfitnah (dengan istilah) intoleran. Kami yang terdepan membela Pancasila dan NKRI. Nasionalis kami jelas, tidak pernah membela komunis, penjajahan asing dan asing.”
Novel juga menolak jika disebut citra FPI tercoreng dengan aksi-aksi intoleransi seperti disebutkan dalam temuan Setara.
“Kami berjuang menumpas kemungkaran, kebatilan dan kedzoliman. Hanya fitnah atas FPI tidak berhenti. FPI dikatakan intoleran dan sekarang masyarakat cerdas. Aksi Bela Islam 212 adalah bukti masyarakat cinta FPI,” ujar Novel.