Setelah Pasar Ikan Tiada

Arie Firdaus
2016.04.29
Jakarta
160429_ID_Boat_1000.jpg Juhaniah, warga eks-Pasar Ikan berdemonstrasi dengan aksi “manusia perahu” di Jakarta Utara, 20 April 2016.
Arie Firdaus/BeritaBenar

"Harusnya dulu saya patok-patokin aja yang banyak." Penyesalan itu terlontar dari mulut Juhaniah pada satu siang yang panas berbalut bau amis laut di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara.

Bulir keringat membasahi kening perempuan 54 tahun itu.

"Udah lama saya di sini. Masih Soeharto presidennya," ujarnya kepada BeritaBenar, Rabu, 20 April 2016.

Semua bermula ketika ibu tujuh anak itu membeli sebidang tanah seluas 40 meter persegi di kawasan itu awal 1998 dari seseorang yang ia sebut bernama Haji Sutisna. Bersama sang suami, Juhaniah menebusnya seharga Rp12,5 juta.

Hanya saja, perempuan asal Pandeglang, Banten itu, tak mendapat sertifikat tanah. Ia hanya mengantongi bukti jual-beli dengan Sutisna yang memberi "bonus" sebuah wejangan.

"Karena ini tanah negara. Kalau nanti digusur, jangan marah, ya?" kenang Juhaniah mengulangi ucapan Sutisna ketika itu. "Jadi, tak usah bangun (rumah) permanen."

Kekhawatiran sewaktu-sewaktu akan tergusur sejenak diredam lantaran tengah berbahagia karena memiliki rumah sendiri bersama suami.

Beberapa bulan setelah menetap di sana, banyak orang berdatangan ke Pasar Ikan dan mematok tanah sambil mengklaim sebagai kepunyaan mereka, tanpa harus membelinya.

Juhaniah menyesali keputusannya telah membeli tanah dengan harga yang terhitung mahal.

Tak mau ketinggalan, ia ikut mematok sepetak lahan seluas 40 meter persegi, tak jauh dari kediaman pertamanya. Seiring waktu, ia membangun dua rumah yang masing-masing dua lantai di lahan tersebut.

"Karena dari RT (rukun tetangga) ada yang sarankan dibangun rumah permanen. Soalnya jika dari kayu mudah kebakaran," ujarnya.

Digusur, tuntut ganti rugi

Saat ditemui Rabu lalu, kedua rumah Juhaniah telah raib karena digusur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sembilan hari sebelumnya. Seperti disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Pasar Ikan akan dijadikan kawasan wisata bahari.

Opsi pindah ke rumah susun (rusun) yang disediakan Pemda DKI (Rusun Marunda, Kapuk Muara, atau Rawa Bebek) ditepisnya. Ia mengaku memilih menetap di salah satu perahu kayu milik suaminya. Total, suaminya memiliki empat perahu.

"Sampai pemerintah membayar ganti rugi atas biaya bangunan kami. Ini (tinggal di perahu) adalah wujud demonstrasi kami," katanya.

Sang suami sempat datang saat Juhaniah tengah berbincang dengan BeritaBenar. Menurut Juhaniah, suaminya tak menginap di perahu karena sakit-sakitan. Begitu juga anak-anak Juhaniah.

Mereka mengontrak di Kampung Luar Batang, perkampungan yang berada tepat di sebelah Pasar Ikan. Ia tak bersedia menjelaskan biaya kontrakannya.

Saat kedua rumah masih tegak berdiri, tutur Juhaniah, setiap anak memiliki kamar masing-masing. Setiap kamar, juga terpasang televisi dan kipas angin.

Seperti Juhaniah ada juga Ahmad Jamal (62) dan Supinah (52), keluarga lain yang turut dalam aksi “manusia perahu”. "Kami akan tetap di perahu sampai ada ganti rugi," kata Jamal kepada BeritaBenar.

Menurut Supinah, tuntutan ganti rugi masuk akal karena ia mengaku taat membayar pajak bumi dan bangunan secara rutin melalui pengurus RT. Meskipun, seperti Juhaniah, mereka tak memiliki sertifikat.

"Sampai ada ganti rugi. Negara boleh punya tanah, tapi bangunan, kan, milik kami," ujar Supinah.

Wiyono, Ami, dan anak mereka di Rusun Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur, 27 April 2016. (Arie Firdaus/BeritaBenar)

Bukan rusun keluarga

Wiyono (55) sedang bercengkerama bersama istri dan ketiga anaknya di lorong rusun Rawa Bebek Cakung, Jakarta Timur, ketika BeritaBenar menemuinya, Rabu sore, 27 April 2016. "Ya, beginilah kegiatan kalau enggak bekerja," ujarnya.

Kamar Wiyono yang berukuran sekitar 5x5 meter terletak di salah satu ujung di lantai empat Blok A rusun itu.

Wiyono adalah satu dari 216 kepala keluarga asal Pasar Ikan yang memilih pindah ke sana. Awalnya, kata sang istri, Ami (37), mereka sempat mengontrak kamar seharga Rp500 ribu dekat Pasar Ikan setelah penggusuran. Namun akhirnya memutuskan pindah ke Rawa Bebek lantaran khawatir dengan keselamatan buah hati mereka.

"Di depan kontrakan soalnya ada selokan dalam. Daripada anak kenapa-kenapa,” ujarnya, "lagipula, kontrakannya kecil dan anak-anak suka rewel karena tak bisa bermain."

Wiyono dan Ami mengamati buah hati mereka tengah bermain bersama anak-anak penghuni lain di selasar rusun. "Di sini lebih baik. Anak-anak punya lahan untuk bermain," kata Wiyono, yang berprofesi sebagai petugas keamanan.

"Ruangannya kecil untuk keluarga. Cuma ada satu ruangan," kata Ami, “Air juga tak begitu bersih. Jika harus ke Pasar Ikan, jauh."

Disiapkan rusun baru

Kepala Sub.-Bagian Tata Usaha Rusun Rawa Bebek, Haerun, mengakui ruangan untuk eks-warga Pasar Ikan sejatinya ditujukan untuk lajang sehingga hanya memiliki satu kamar, tanpa dapur dan tempat jemuran.

"Konsepnya memang studio karena ini ditujukan untuk pekerja lajang," tutur Haerun saat ditemui BeritaBenar.

Namun, tambahnya, blok baru segera dibangun dalam waktu dekat. Hanya, ia belum bisa memastikan kapan rusun itu dibangun. " Yang pasti nantinya rusun dikonsepkan untuk keluarga," ujarnya.

Adapun soal keluhan jarak, menurutnya, solusi transportasi sudah disiapkan Pemda DKI. Bus gratis disediakan untuk ke halte Transjakarta terdekat.

"Tinggal menunjukkan kartu warga rusun. Untuk anak sekolah juga sudah ada bus gratis," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.