Setya Novanto Disebut Kembali Tersangka Kasus e-KTP

Kubu Novanto menyatakan pemanggilannya oleh KPK harus atas seizin presiden.
Arie Firdaus
2017.11.06
Jakarta
171106_ID_SN_1000.jpg Ketua DPR Setya Novanto bersalaman dengan jaksa setelah menjadi saksi kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 3 November 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut telah kembali memulai penyidikan dugaan keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto dalam kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).

Hal itu diketahui dari beredarnya surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama Setya Novanto yang turut didapat BeritaBenar, Senin, 6 November 2017.

"Bahwa pada Selasa tanggal 31 Oktober telah dimulai penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional tahun 2011 sampai dengan 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto," demikian penggalan surat yang ditandatangani Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman, tertanggal 3 November 2017.

"Bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan Ir. Sugiharto selaku pejabat pembuat komitmen."

Termaktub dalam surat itu, Novanto dijerat Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman maksimal adalah 20 tahun penjara.

Belum ada keterangan resmi KPK atas kebenaran SPDP ini. Telepon dan pesan pendek kepada sejumlah pimpinan KPK belum beroleh balasan. Sedangkan juru bicara KPK Febri Diansyah enggan berkomentar lebih lanjut.

"Belum bisa konfirmasi itu (SPDP baru)," kata Febri kepada BeritaBenar, Senin sore.

Namun beberapa media, seperti CNN Indonesia dan Detik, telah mengonfirmasi keaslian SPDP itu. Mereka bahkan menulis Novanto telah ditetapkan kembali sebagai tersangka.

Novanto sebelumnya pernah dijadikan tersangka oleh KPK atas dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi e-KTP pada 17 Juli 2017, namun kemudian gugur setelah ia memenangkan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Oktober lalu.

Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, meragukan keaslian SPDP atas nama kliennya. Sampai kini, katanya, ia belum mendapat salinan surat tersebut.

"Isu itu. Kami belum menerimanya sampai saat ini," kata Fredrich kepada BeritaBenar. "Kalau benar, baru saya bicara."

Atas izin presiden

Dalam beberapa kesempatan, Novanto berulang kali membantah terlibat dalam patgulipat proyek yang merugikan negara Rp2,3 triliun, dari total nilai Rp 5,9 triliun.

Terakhir adalah saat ia bersaksi untuk terdakwa Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat lalu.

Kala itu, setiap kali majelis hakim mengonfirmasi keterangan para saksi yang menunjukkan perannya, Novanto menjawab, "tidak tahu" dan "tidak benar".

Salah satunya ketika hakim mengonfirmasi pernyataan Ganjar Pranowo --kini Gubernur Jawa Tengah, yang mengaku pernah dititipkan pesan oleh Novanto agar tak terlalu galak saat pembahasan proyek e-KTP di DPR.

Pesan itu disampaikan Novanto saat keduanya bertemu di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai di Bali. Novanto menyangkal segala pernyataan Ganjar dan balik menuding politisi PDIP itu telah mengarang cerita.

Sepanjang berstatus tersangka, Novanto sekalipun tak pernah hadir untuk memberi keterangan dengan alasan tengah sakit. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur.

KPK sejatinya berencana mendatangkan Novanto untuk diperiksa sebagai saksi, Senin, tapi urung hadir. Dalam alasannya, kubu Novanto menyatakan pemanggilannya harus atas seizin Presiden Indonesia.

Hal itu tertuang dalam surat yang dikirim Sekretariat Jenderal DPR dan Badan Keahlian DPR, Senin pagi.

Terkait polemik ini, Fredrich berharap KPK bisa taat aturan dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Presiden Joko Widodo.

Ia merujuk putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 Pasal 245 tentang MD3 yang menyatakan pemanggilan terhadap ketua dewan dan anggota harus seizin presiden.

"Itu konstitusional, loh," pungkasnya.

Sedangkan, Febri Diansyah berharap Presiden Joko Widodo tidak diseret-seret dalam kasus yang melibatkan Novanto.

"Undang-undang sudah jelas kok. Presiden tidak usah ditarik-tarik," kata Febri.

Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Febri, pemanggilan atas izin presiden hanya dilakukan pada anggota DPR yang terjerat pidana umum, bukan khusus. Korupsi diklasifikasikan sebagai pidana khusus.

Juru bicara Presiden Joko Widodo, Johan Budi enggan mengomentari polemik antara kubu Novanto dan KPK.

"Silakan ditanyakan ke KPK," katanya singkat.

‘Pengusutan terus berjalan’

Dalam kasus e-KTP, dua orang telah menerima vonis yakni dua pejabat Kementerian Dalam Negeri bernama Irman dan Sugiharto. Keduanya divonis masing-masing tujuh dan lima tahun penjara.

Satu orang yaitu Andi Narogong – pengusaha yang didakwa turut mengatur proyek bersama Setya Novanto – kini tengah menjalani persidangan.

Ia didakwa melicinkan pembahasan dana proyek dengan membagi-bagikan uang kepada sejumlah pimpinan, anggota Komisi II, dan Badan Anggaran DPR.

Tiga orang lain masih berstatus tersangka yaitu Markus Nari, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Miryam Haryani yang dijerat atas dugaan memberikan keterangan palsu di persidangan.

Meski telah menyeret beberapa orang menjadi pesakitan, Febri mengatakan bahwa pengusutan kasus belum akan berhenti.

"Kami pastikan terus berjalan," ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.