Pengacara Sebut Santoso Manfaatkan Istrinya untuk Propaganda

Dalam testimoni kepada polisi seperti tercantum dalam laporan IPAC disebutkan bahwa Jumiatun pernah mengikuti pelatihan fisik dan persenjataan.
Arie Firdaus
2017.03.13
Jakarta
170313_ID_UmiDelima_1000.jpg Jumiatun meninggalkan ruangan usai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 13 Maret 2017.
Arie Firdaus/BenarNews

Pimpinan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso memanfaatkan Jumiatun alias Umi Delima, istri keduanya, sebagai bahan propaganda untuk mendukung aksinya, demikian kata kuasa hukum Jumiatun, Kamsi.

"Seperti foto-foto yang beredar, Jumiatun membawa senjata (M-16). Itu disuruh oleh suaminya," kata Kamsi kepada BeritaBenar seusai persidangan lanjutan kasus dugaan terorisme dengan terdakwa Jumiatun di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 13 Maret 2017.

Beberapa foto yang menunjukkan Jumiatun dengan senjata M-16 memang beredar di internet, tahun lalu, atau berbarengan dengan operasi Tinombala 2016 di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang berujung tewasnya Santoso pada 18 Juli 2016.

Dalam salah satu foto yang beredar misalnya, tampak Jumiatun melingkarkan senjata serbu laras panjang itu di punggung, dengan moncong menggantung hingga hampir menyentuh mata kakinya. Jumiatun memang berbadan kecil dengan tinggi tak lebih dari 154 cm.

"Dia cuma dimanfaatkan, difoto dengan senjata untuk kemudian ditunjukkan di internet bahwa perempuan juga mendukung aksinya (Santoso)," tambah Kamsi.

Menurutnya, Jumiatun sama sekali tak paham masalah senjata. Perempuan 23 tahun itu disebut tak pernah mengikuti latihan militer seperti dituding polisi.

"Senjatanya kegedean begitu?" ujar Kamsi. "Tadi, kan, dia (Jumiatun) juga bilang ingin pulang tapi dilarang."

Kesaksian ini berbeda dari testimoni yang pernah diberikan Jumiatun kepada polisi seperti tercantum dalam laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).

Dalam laporan yang berjudul Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists yang dirilis 31 Januari 2017, disebutkan bahwa pada Juli 2015, Jumiatun bersama para istri MIT lainnya mengikuti pelatihan fisik dan persenjataan.

Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa Jumiatun memberikan tiga alasannya mengikuti pelatihan: mengikuti perintah suami, untuk bela diri jika diserang penguasa, dan untuk membantu MIT melawan kafir termasuk aparat keamanan negara yang mencegah kelompok tersebut dari menerapkan hukum Syariah di Indonesia.

Keterangan saksi

Dalam persidangan itu, Jumiatun sempat mengatakan ia pernah ingin pulang ke Bima di Nusa Tenggara Barat, namun dilarang Santoso.

Hal itu dikatakan Jumiatun di sela-sela pertanyaan majelis hakim terkait sejauh mana perkenalannya dengan lima saksi yang diajukan jaksa penuntut ke persidangan.

“Saya sebenarnya ingin pulang tapi dilarang,” ujar Jumiatun dalam suara pelan sehingga majelis hakim harus mengulang pernyataan perempuan bercadar itu.

Saksi yang dihadirkan adalah Syaifudin Mukhtar yang merupakan guru bahasa Arab Jumiatun di Pesantren Al Madinah di Bima sekaligus yang menjodohkannya dengan Santoso pada 2012.

Selain itu, Gunawan yang pernah menampung Jumiatun di Poso, pasangan suami-istri simpatisan Santoso bernama Abu Yazid alias Hasan Zahabi dan Rosmawati, serta Abu Ahmad yang bertugas mengantar Jumiatun dari tempat Abu Yazid ke sebuah kebun.

Hanya saja, kelima saksi tak dihadirkan ke ruang persidangan sehingga jaksa kemudian membaca pernyataan mereka saat diperiksa penyidik polisi sebagai bahan keterangan saksi di persidangan.

"Saksi-saksi sekarang ditahan di luar Jawa sehingga susah dihadirkan ke persidangan," kata jaksa Hendrinawati.

Sebelum menikah dengan Santoso, Jumiatun adalah janda seorang mujahidin asal Bima yang ditembak mati aparat keamanan.

Dalam keterangannya yang dibacakan Hendrinawati, Syaifudin mengisahkan tentang muasal pernikahan Jumiatun dan Santoso pada 2012.

Ketika itu, terang Syaifudin, Jumiatun telah mengetahui Santoso buronan aparat keamanan atas dugaan kasus terorisme tapi tetap bersedia melangsungkan pernikahan.

Rencana pernikahan itu, menurut Syaifudin, tak disetujui orang tua Jumiatun. Walhasil Syaifudin kemudian menghubungi kakak kandung Jumiatun, bernama Muslim. Muslim lah yang lantas menikahkan Jumiatun dengan Santoso.

Jumiatun tak menyangkal rangkaian keterangan Syaifudin tersebut.

Saksi Gunawan tak bercerita banyak hal, selain bahwa Jumiatun pernah menumpang di rumahnya di Poso, sebelum menyusul Santoso di tempat persembunyiannya di gunung.

Saksi Abu Yazid alias Hasan Zahabi mengaku ia pernah menyuruh istrinya yang bernama Rosmawati untuk menjemput Jumiatun di kediaman Gunawan. Jumiatun juga mengakui keterangan ini.

"Memang ada perempuan yang jemput ke rumah Gunawan," ujar Jumiatun. "Kalau Abu Yazid, saya tak pernah bertemu. Meski pernah mendengar namanya."

Pernyataan serupa disampaikan Jumiatun menyangkut saksi lain, yakni Abu Ahmad. Ia tak mengenal secara personal meski pernah mendengar namanya.

Saksi ahli

Jumiatun ditangkap aparat gabungan Tinombala pada 23 Juli 2016, saat hendak mencari makan di Poso. Ia tak menenteng M-16 saat diciduk aparat.

Senjata M-16 yang disebut pernah dipakai Jumiatun sempat dihadirkan ke persidangan, Senin pekan lalu.

Persidangan selanjutnya diagendakan pada Senin, 20 Maret mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari jaksa dan saksi meringankan dari kuasa hukum.

Sedangkan Kamsi tak merinci lebih lanjut identitas saksi meringankan yang akan didatangkannya.

"Konsultasi dulu dengan tim kuasa hukum," katanya. "Pokoknya yang bisa menunjukkan bahwa terdakwa sebenarnya tak mengerti pergerakan Santoso.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.