Simposium Tandingan: Pemerintah, LSM, Diminta Tak Ungkit Tragedi '65
2016.06.03
Jakarta
Pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) diminta untuk tidak lagi mengungkit dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1965. Hal ini dimaksudkan agar tragedi kemanusiaan yang disebut-sebut menewaskan sekitar setengah juta orang tak menimbulkan konflik berkepanjangan di masyarakat.
Desakan itu disampaikan para pensiunan jenderal dan beberapa organisasi masyarakat melalui rekomendasi simposium bertemakan, "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain" yang digelar di Balai Kartini, Jakarta, 1-2 Juni 2016.
Selain itu, pertemuan yang dinilai untuk “menandingi” simposium tragedi 1965 April lalu itu, juga mendesak pemerintah tidak meminta maaf kepada PKI (Partai Komunis Indonesia). Simposium April yang diprakasai pemerintah merupakan yang pertama digelar dengan menghadirkan para keluarga dan korban peristiwa 50 tahun lalu sebagai upaya penyelesaian tragedi 1965.
"Justru, PKI yang seharusnya meminta maaf kepada rakyat dan pemerintah," kata Wakil Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/ Polri (FKPPI) Pusat, Indra Bambang Utoyo, saat pembacaan rekomendasi, Kamis sore, 2 Juni 2016.
Pernyataan Menhan
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, yang tampil jadi pembicara terang-terangan menolak rekonsiliasi terkait 1965. Padahal, rekonsiliasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu program yang digagas Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
"Rekonsiliasi yang dibutuhkan itu adalah rekonsiliasi yang berselisih karena terpecah zaman, seperti orang-orang Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi," tegas Ryamizard. "Dengan PKI? Orang ya sudah pada mati, tak usah lah."
Ryamizard juga menolak rencana penggalian kuburan-kuburan massal, sebagai bagian memverifikasi korban tragedi 1965, dengan dalih bisa menguak luka lama.
"Biarkan saja kuburan, mereka telah beristirahat dengan tenang. Biarkan tenang. Sudahlah, kita membangun ke depan, jangan lihat ke belakang terus," tegasnya.
Menurut dia, pemerintahan Jokowi tak meminta maaf kepada keluarga PKI. Keinginan Jokowi melakukan rekonsiliasi, kata dia, bukan berarti meminta maaf atas nama negara sebab Indonesia negara besar sehingga tak semestinya minta maaf kepada kelompok kecil seperti PKI.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menyontohkan kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama ke Hiroshima, Jepang, beberapa hari lalu yang tidak meminta maaf kepada warga setempat meski Amerika pernah menjatuhkan bom atom yang menewaskan banyak orang di kota tersebut.
Pendapat Ryamizard sejalan mertuanya, yang juga mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. "Tidak bisa meminta maaf," kata Try, saat berbicara di simposium tersebut.
Tetap Harus Rekonsiliasi
Mengomentari rekomendasi simposium anti-PKI itu, Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Imdadun Rahmat tegas menolak. Rekonsiliasi formal yang diprakarsai pemerintah, menurut dia, penting untuk dilaksanakan.
"Rekonsiliasi alamiah saja belum cukup," kata Imdadun kepada BeritaBenar, Jumat. "Peristiwa 1965 itu, kan, tidak terjadi begitu saja. Ada pelakunya. Dengan rekonsiliasi, ada pengakuan bahwa pernah ada peristiwa kemanusiaan yang memakan banyak korban."
Imdadun menambahkan, menutup celah rekonsiliasi berarti melegalkan orang-orang kuat dan penguasa untuk mendapatkan kekebalan hukum. "Sedangkan imunitas seperti itu justru merusak tata cara bernegara," katanya.
Lebih lanjut, dia meminta semua pihak tak curiga, dengan berasumsi bahwa Simposium Nasional yang digagas pemerintah, April lalu, sebagai wujud "memberi angin" kepada kebangkitan PKI. Menurutnya, simposium itu justru untuk mencari kebenaran sejarah.
Putra tokoh PKI DN Aidit, Ilham Aidit, menilai peserta simposium yang digagas mantan jenderal itu tak mengerti makna rekonsiliasi sehingga menolak rencana itu.
"Menurut saya, itu menunjukkan tetap ada sekelompok yang bersikap kerdil dan tak mengerti berbangsa dan bernegara," ujarnya kepada BeritaBenar.
"(Mereka) tak melihat manfaat jika negara secara ksatria menyatakan permintaan maaf atas kekeliruan masa lalu. Itu bermanfaat bagi perkembangan generasa muda di masa mendatang. Mereka belajar bersifat ksatria dan berjiwa besar ketika korban memberi maaf."
Kaos pertanda bangkit?
Tetapi, Ryamizard mengatakan kebangkitan PKI terlihat dari maraknya orang-orang yang menggunakan kaos beratribut palu arit, yang merupakan lambang komunisme.
"Itu indikasinya," kata Ryamizard, di sela-sela simposium. "Ada juga data intelijen TNI yang menunjukkan kebangkitan PKI. Data itu memberikan indikasi kebangkitan. Kita, kan, Angkatan Darat ada fakta-fakta segala macam."
Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Kivlan Zen, malah menyebutkan PKI telah memiliki struktur organisasi dari daerah hingga nasional. "Pemimpinnya Wahyu Setiaji," ujar Kivlan, tanpa merincikan siapa sosok tersebut dan sumber data.
Menurut dia, PKI sudah memasuki periode bersiap-siap untuk bangkit lagi di Indonesia. "Tinggal ada kesempatan. Begitu pemerintah meminta maaf, langsung mencul pasang plang di mana-mana," ujarnya.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigjen Mohammad Sabrar Fadhilah, enggan berkomentar soal data-data yang disampaikan Kivlan.
"Kalau yang disampaikan Pak Kivlan, silakan tanya ke Pak Kivlan. Kalau soal apa saja yang sudah kami temukan, biar itu menjadi kegiatan intelijen TNI," ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
"Tapi, jika melihat simbol-simbol yang banyak muncul di lapangan, seperti di kaos-kaos, saya rasa itu sudah menjadi pertanda bahwa mereka ada."
Sedangkan juru bicara Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Amar, meminta masyarakat tak panik dan terprovokasi merespons pernyataan Kivlan. Ketika ditanya apakah aparat kepolisian ada menemukan fakta kebangkitan PKI, Boy hanya menjawab, “Itu informasi intelijen."
Ilham Aidit menyebut aparat terlalu berlebihan merespons isu kebangkitan PKI. Apalagi jika merujuk penggunaan kaos sebagai sinyalemen kebangkitan PKI. "Bangsa ini bangsa paling penakut sedunia. Takut banget sama kaos, sampai merapatkan barisan," ujarnya.