Terima Suap dari Djoko Tjandra, 2 Jenderal Divonis 4 dan 3 ½ Tahun Penjara
2021.03.10
Jakarta
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Rabu (10/3) menjatuhkan hukuman masing-masing 4 dan 3 ½ tahun penjara kepada dua mantan petinggi Polri karena menerima suap dari Djoko Tjandra dalam rangka memuluskan terpidana kasus korupsi Bank Bali itu keluar masuk Indonesia saat masih berstatus buron.
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan bawahannya, mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, dinyatakan terbukti bersalah dalam kongkalikong penghapusan notifikasi Interpol (red notice) melalui penerbitan surat yang menyatakan Djoko telah dihapus dari Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2014.
“Menyatakan terdakwa Irjen Pol. Napoleon Bonaparte telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta,” sebut Hakim Ketua Muhammad Damis dalam pembacaan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Vonis yang dijatuhkan kepada Napoleon lebih berat enam bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan pada pertengahan Februari silam.
Hakim berkeyakinan, Napoleon menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dan 370 ribu dolar AS (sekitar Rp5,1 miliar) dari Djoko.
Perbuatan Napoleon itu bertentangan dengan program pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dan menurunkan citra kepolisian, kata majlis hakim.
Majelis hakim juga memutuskan untuk menambah hukuman dari tuntutan selama 2 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan kepada terdakwa Prasetijo.
“Menimbang, mengacu pendapat di atas majelis hakim tidak sependapat dengan JPU tentang lamanya pidana. Menurut hemat majelis hakim, pidana sebagaimana tuntutan JPU terlalu ringan untuk dijatuhkan kepada terdakwa,” kata Hakim Damis.
Hakim menyebut Prasetijo terbukti menerima 100 ribu dolar AS dari Tommy Sumardi, pengusaha dan politisi Partai Golkar, yang menjadi perantara pemberian uang dari Djoko kepada dua jenderal polisi.
Uang suap itu diberikan agar Prasetijo membantu istri Djoko, Anna Boentaran, membuat surat yang ditembuskan ke Interpol Polri terkait status DPO.
Prasetijo telah mengakui menerima suap, namun permohonannya untuk menjadi justice collaborator ditolak majelis hakim.
“Maksud penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana bukan hanya pemulihan keadaan, tapi juga mendidik supaya terdakwa tidak mengulangi perbuatannya, serta untuk mencegah masyarakat tidak berbuat yang semacamnya,” kata Hakim Damis.
Dengan vonis hari ini, maka Prasetijo bakal berada di balik jeruji maksimal selama 6 tahun. Pada Desember 2020, Prasetijo juga divonis 2 ½ tahun penjara karena terbukti bersalah memberikan surat jalan palsu kepada Djoko dan eks-pengacaranya, Anita Kolopaking.
Tolak vonis
Berbeda dengan Prasetijo yang menerima putusan majelis hakim, Napoleon menyatakan pihaknya bakal mengajukan banding atas vonis tersebut.
“Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juli tahun lalu sampai hari ini. Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini,” kata Napoleon usai persidangan.
“Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding,” tutupnya.
Napoleon dan Prasetijo ditetapkan sebagai tersangka pada 14 Agustus 2020. Namun, Mantan Kapolri Idham Aziz telah mencopot keduanya sejak 18 Juli 2020 karena pelanggaran kode etik.
Haposan Batubara, kuasa hukum Napoleon, dalam pembacaan pledoi akhir Februari lalu mengatakan dakwaan penghapusan red notice sebagai hal yang janggal karena hal tersebut di luar kewenangan kliennya ketika itu.
Selain itu, Haposan juga mengatakan penuntut umum hanya bisa membuktikan adanya pertemuan antara Napoleon dengan Tommy. Sementara pembuktian suap hanya mendasar pada keterangan yang dibuat Tommy.
Pada 30 Desember 2020, Tommy divonis 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider kurungan 6 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Vonis tersebut lebih berat empat bulan dari tuntutan JPU dan sudah turut mempertimbangkan status Tommy sebagai justice collaborator.
Dalam persidangan, Tommy mengakui memberikan uang kepada Napoleon dan Prasetijo sebagai imbalan penghapusan red notice Djoko.
Tommy juga menyatakan di hadapan majelis hakim bahwa keterangannya selama persidangan bukan rekayasa. “Di sini saya tegaskan, saya masih waras. Hanya orang gila yang merekayasa kasus untuk memenjarakan dirinya sendiri,” kata Tommy.
Djoko dituduh mengeluarkan uang hingga Rp16 miliar untuk memuluskan penghapusannya sebagai buronan dan proses hukum Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Selain kepada dua mantan jenderal polisi, uang itu juga digunakan untuk menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pinangki telah dijatuhi vonis 10 tahun penjara pada 10 Februari 2021 karena tiga dakwaan sekaligus; menerima suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.
Sementara Djoko, pada 22 Desember 2020, divonis hukuman 2 ½ tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus pemalsuan surat jalan dan surat keterangan kesehatan.
Eks-pengacaranya, Anita Kolopaking, juga divonis 2 ½ tahun penjara karena terbukti memerintahkan Prasetijo membuat surat jalan palsu agar Djoko bisa berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat, dan selanjutnya kabur ke Malaysia pada Juli 2020.
Djoko masih menjalani persidangan untuk kasus dugaan suap penghapusan red notice di Pengadilan Tipikor. Pada Kamis (4/3), JPU menjatuhkan tuntutan 4 tahun dan denda Rp100 juta untuk Djoko atas kasus tersebut.
Djoko ditangkap di Malaysia pada 30 Juli 2020 setelah 11 tahun menjadi buron dalam kasus korupsi Bank Bali yang merugikan negara hingga Rp546 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD menyebut selama pelariannya Djoko kerap keluar masuk Indonesia. Bahkan, pada 8 Juni 2020, Djoko diketahui membuat KTP elektronik di Jakarta Barat.