3 Pimpinan Sunda Empire Divonis 2 Tahun Penjara

Anggota Komnas HAM mengatakan kebohongan bukan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Arie Firdaus
2020.10.27
Jakarta
201027_ID_sundaempire_620.jpg Para pelayan keraton dalam busana tradisional Jawa memperingati 18 tahun penobatan Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, berjalan beriringan menuju pantai Parangkusumo, di Yogyakarta, 25 Agustus 2006.
AP

Pengadilan Negeri Bandung Selasa (27/10) menjatuhkan hukuman masing-masing dua tahun penjara kepada tiga pemimpin kerajaan fiktif Sunda Empire.

Raden Ratnaningrum, Nasri Banks, dan Ki Ageng Ranggasasana dinilai terbukti bersalah menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran di masyarakat, usai video aktivitas kekaisaran gadungan tersebut ramai di media sosial pada Januari lalu.

"Terdakwa dengan sengaja menimbulkan pertentangan di masyarakat Sunda dan berpotensi menimbulkan konflik antarmasyarakat yang pro dan kontra," kata Ketua Majelis Hakim Benny Eko Supriyadi pada Selasa (27/10) dalam sesi pembacaan putusan yang disiarkan secara daring.

Vonis ini lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa yang menginginkan ketiga terdakwa dihukum masing-masing empat tahun penjara.

Terkait besaran vonis, hakim Benny beralasan para terdakwa tidak memiliki motif ekonomi dalam perkara ini, kendati di sisi lain telah menyebabkan kegaduhan.

"Setidaknya para terdakwa bermaksud baik untuk menciptakan perdamaian dunia," kata Benny lagi, dalam persidangan yang berlangsung selama sekitar satu jam tersebut.

"Meski fakta yang diumumkan terdakwa adalah berita bohong yang digaungkan untuk menjadi terkenal dan menarik anggota."

Kuasa hukum ketiga terdakwa Edwin Syahduddi, saat dihubungi, belum menentukan sikap apakah akan mengajukan banding atau menerima vonis hakim.

Hanya saja, ia mengkritisi sikap majelis hakim yang tetap menggunakan dakwaan alternatif Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang merupakan aturan peninggalan kolonial Belanda sebagai dasar hukum menjerat kliennya.

"UU itu kan sangat politis. Bisa jadi nanti ada Ratnaningrum lain yang yang jadi korban aturan karet tersebut," kata Edwin.

Ketiga terpidana sudah ditahan Polda Jawa Barat sejak 29 Januari 2020.

‘Tidak untuk membuat onar’

Ranggasasana, yang dalam struktur kerajaan fiktif mengampu posisi sekretaris jenderal, seusai pembacaan vonis bersikukuh dirinya tidak bersalah dan menyebut dirinya hanya korban.

"Pada prinsipnya, saya sebagai bagian dari (Sunda Empire) tidak untuk membuat onar, tapi untuk perdamaian," kata Ranggasasana kepada Kompas TV.

Kerajaan Sunda Empire dilaporkan didirikan pada 2017, tapi baru ramai setelah pemberitaan tentang kerajaan fiktif lain bernama Keraton Agung Sejagat yang berlokasi di Purworejo, Jawa Tengah, muncul di ranah maya.

Dalam sistem ini, Ratnaningrum disematkan sebagai ratu kerajaan dan Nasri sebagai perdana menteri.

Serupa dengan trio Sunda Empire, dua pimpinan Keraton Agung Sejagat yaitu Toto Santosa dan Fanni Aminadia juga telah beroleh vonis di Pengadilan Negeri Purworejo pada tanggal 15 September.

Toto dihukum empat tahun penjara, sementara Fanni divonis 1,5 tahun penjara.

Dalam pernyataan di awal tahun, Ranggasasana mengaku kerajaan membawahi lebih dari 150 negara di dunia, sekaligus menjadi kepala negara/pemerintahan di 196 negara.

Kala itu, ia pun menyebut Kerajaan Sunda Empire sebagai titisan Alexander The Great pada 324 SM, berlanjut ke Julis Caesar yang beristri Cleopatra VII.

Lewat Cleopatra VII, kekuasaan diteruskan Dinasti Tarumanegara oleh Sri Ratu Isywara Tunggal Bumi, Dinasti Siliwangi, Dinasti Padjajaran, hingga akhirnya bermuara ke Sunda Empire.

Dalam klaimnya pula, Sunda Empire menyatakan bahwa mereka memiliki 17 ribu pasukan di seluruh Indonesia. Khusus di Bandung, mereka mengklaim 1.300 orang personel.

Selain itu, mereka turut mengklaim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Vatikan, World Bank, dan NATO sebagai bagian kerajaan Sunda Empire yang akan mewujudkan tatanan dunia baru.

Dorongan solusi cepat

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Sunyoto Usman, menilai fenomena kerajaan palsu didorong oleh dorongan solusi cepat dalam hidup akibat himpitan ekonomi. Hal ini diperparah oleh tren kepercayaan terhadap hoaks yang tinggi.

"Selama ini kan biasanya diimingi janji mendapatkan uang, sehingga masyarakat mudah tergiur," kata Sunyoto saat dihubungi.

"Ditambah bumbu kerajaan atau agama yang membuat masyarakat menjadi lebih mudah percaya."

Ia merujuk pada fenomena lain seperti dukun pengganda uang bernama Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur. Kala itu, Dimas Kanjeng mampu menjaring banyak pengikut bahkan memiliki padepokan menyerupai pesantren.

"Agama dan adat itu kan punya kekuatan tidak bisa dipertanyakan lagi," pungkasnya.

Saat ditanya apakah para pelaku kasus ini layak dipidana. Sunyoto enggan berkomentar dengan berdalih penegak hukum memiliki pertimbangan tersendiri terkait fenomena ini.

Beka Ulung Hapsara, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan:

“Kebohongan bukan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ujarnya kepada BenarNews.

Selain fenomena kerajaan gadungan, sebelumnya sempat pula muncul Lia Eden yang mengaku sebagai nabi pada 2009. Dalam ajarannya, Lia menyatukan ajaran Yudaisme, Kristen, dan Islam. Belakangan, ia divonis dua tahun penjara atas kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapula kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) pimpinan Ahmad Musadeq yang divonis lima tahun penjara atas kasus penistaan agama. Serupa dengan Lia Eden, Musadeq juga mengajarkan sinkretisme agama.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.