Survei: 23 Persen Mahasiswa, Pelajar Siap Berjihad Demi Khilafah

Tokoh muda Nahdlatul Ulama menyatakan Indonesia sedang “mengalami lampu merah ideologi.”
Zahara Tiba
2017.10.31
Jakarta
171031_ID_Survey_1000.jpg Pelajar sebuah SMA di Aceh merentangkan spanduk mengecam perayaan hari Valentime, di Banda Aceh, 13 Februari 2016.
AP

Sebanyak 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar di Indonesia dinyatakan siap berjihad demi tegaknya negara Islam atau khilafah.

Demikian hasil survei yang dilakukan Alvara Research Center dan MataAir Foundation terhadap 1.800 responden mahasiswa dari 25 perguruan tinggi ternama di Indonesia dan 2.400 pelajar SMA unggulan atau favorit di dalam dan di luar Pulau Jawa.

Alvara merupakan satu lembaga penelitian yang berbasis di Jakarta. Sedangkan, MataAir Foundation adalah organisasi non-profit yang mengampanyekan nilai-nilai kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

CEO Alvara, Hasanuddin Ali menyatakan dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2017, bahwa survei yang digelar pada 1 September-5 Oktober 2017 juga menunjukkan 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar setuju dengan konsep khilafah daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, 18,6 persen mahasiswa dan 16,8 persen pelajar memilih Islam daripada Pancasila sebagai ideologi negara, serta 21,9 persen mahasiswa dan 19,6 persen pelajar setuju penerapan peraturan daerah tentang syariat.

Survei juga menunjukkan 29,5 persen mahasiswa dan 29,7 persen pelajar menyatakan tidak setuju dengan pemimpin non-Muslim, ujarnya.

Menurut Hasanuddin, ini menjadi jawaban survei sebelumnya yang melaporkan bahwa intoleransi mengarah ke radikalisme semakin meningkat di kalangan profesional.

“Penetrasi intoleransi masuk di pelajar, kemudian diperkuat saat menjadi mahasiswa melalui kajian-kajian di kampus. Kampus jadi kunci sebelum masuk ke profesional,” katanya.

“Kalau kita bisa tangani dari kampus, radikalisme lebih mudah dihentikan di kalangan profesional.”

Pengakuan seorang peserta diskusi yang enggan disebutkan namanya memperkuat hasil survei itu.

Pria yang tengah menempuh pendidikan S2 di Jurusan Psikologi Universitas Indonesia ini berbagi kisah ketika berkonsultasi dengan seorang dosen senior tentang tema tesis yang akan mengupas tentang studi psikologis kaum radikal. Reaksi dosen tak disangka.

“Dia langsung menunjuk ke saya di hadapan teman-teman lain di kelas sambil berkata lantang, ‘Saya lebih baik mati sebagai Islamis daripada nasionalis!’ Dan itu diulanginya lagi,” ujar pria itu.

Kiri ke kanan: Didin Wahidin (Direktur Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi), Akhmad Muqowam (Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Universitas Diponegoro), Nusron Wahid (Nahdlatul Ulama), dan Hasanuddin Ali (CEO Alvara Research Center) saat jumpa pers di Jakarta, 31 Oktober 2017.
Kiri ke kanan: Didin Wahidin (Direktur Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi), Akhmad Muqowam (Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Universitas Diponegoro), Nusron Wahid (Nahdlatul Ulama), dan Hasanuddin Ali (CEO Alvara Research Center) saat jumpa pers di Jakarta, 31 Oktober 2017.

 

 

 

‘Lampu merah ideologi’

Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Nusron Wahid mengaku speechless dengan hasil survei itu.

“Seorang saja melakukan bom bunuh diri atas nama agama menyusahkan banyak orang, apalagi di atas 20 persen. Indonesia mengalami SOS atau lampu merah ideologi,” ujarnya dalam jumpa pers itu.

“Angka 23 persen luar biasa tinggi. Siapa yang menguasai kampus, akan menguasai masyarakat. Kalau kampus sudah punya pandangan khilafah, lima tahun kemudian dia akan memperjuangkan itu.”

Nusron berharap hasil survei menjadi masukan bagi kurikulum pendidikan agama.

“Ini tak hanya PR di Kementerian Agama tetapi PR bangsa Indonesia. Kita bongkar di level kurikulum, karena memang yang namanya teks ada ruang dan waktu yang berbeda,” tegasnya.

Nusron juga mengaku miris karena NU dan Muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai role model bagi Islam Nusantara ternyata memiliki tokoh-tokoh yang kurang populer di kalangan mahasiswa dan pelajar, meskipun kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu punya sayap kepemudaan di kampus.

“Organisasi-organisasi Muslim moderat seperti NU dan Muhammadiyah harus mengubah gaya dakwah untuk bisa diterima generasi milenial. Dengan cara yg enteng, singkat dan padat, serta mudah diterima,” imbuhnya.

Survei menunjukkan ulama yang dicitrakan karismatik, mempunyai kedalaman ilmu dan panutan umat seperti KH. Quraish Shihab, KH. Mustofa Bisri, dan KH. Ma’ruf Amin, “justru kurang ngetop di kalangan anak-anak muda,” ujar Hasanuddin.

Ulama yang justru populer di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah mereka yang aktif di media sosial atau TV, terlepas dari pemahaman ajaran mereka yang belum tentu benar tentang Islam, tambah Hasanuddin.

Adanya peningkatan

Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Universitas Diponegoro Akhmad Muqowam mengakui adanya peningkatan penetrasi intoleransi di kalangan mahasiswa dan pelajar.

Menurutnya, sebuah survei tahun 2009 menyebutkan kurang dari 12 persen responden pelajar dan mahasiswa menerima paham khilafah, tapi saat ini sudah berada di atas 16 persen.

“Ini bukan main-main, harus menjadi kewaspadaan kita semua,” ujar Akhmad di tempat yang sama.

Akhmad menambahkan antara persepsi kebanyakan di kalangan pelajar dan mahasiswa masih belum bisa membedakan kepentingan keagamaan dan kemanusiaan.

“Mereka berpikir Afghanistan dan Pakistan sebagai batu loncatan menuju keagamaan. Harus dibedakan antara persepsi keagamaan dan kemanusiaan. Mahasiwa dan pelajar ini masih prematur membedakan antara negara dan agama,” katanya.

Direktur Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Didin Wahidin mengatakan hasil survei tersebut akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi institusinya.

“Di perguruan-perguruan tinggi memang ada ekstrakurikuler ke arah pendalaman Pancasila. Sementara itu pendidikan agama memang hanya berkutat kepada Fiqih saja. Ketidakhadiran kelompok-kelompok mahasiswa seperti HMI dijembatani kelompok-kelompok yang membawa ideologi lain,” ujarnya.

Didin mengakui kegiatan-kegiatan kemahasiswaan selama ini memang belum ada standar dari Kemenristek Dikti.

“Ada standar pendidikan, standar penelitian, standar pengabdian kepada masyarakat, namun kemahasiswaan tidak. Artinya secara hukum siapapun yang memulai perguruan tinggi kalau tidak melakukan kegiatan kemahasiswaan tidak ada sanksi,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.