Proyek swasembada gula di Papua ditanggapi kecemasan warga atas eksploitasi

Mereka melihat bagaimana proyek-proyek besar pemerintah sebelumnya telah menipu mereka dengan perampasan tanah dan pengabaian kesejahteraan warga.
Victor Mambor
2024.06.05
Jayapura
Proyek swasembada gula di Papua ditanggapi kecemasan warga atas eksploitasi Foto udara lokasi laboratorium dan pembibitan untuk mendukung proyek perkebunan tebu dan bioetanol di Ngguti Bob, sebuah desa di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, diambil pada 29 Mei 2024.
Dokumentasi Yayasan Pusaka

Pemerintah Indonesia tengah mendorong proyek untuk mengubah lahan di Papua menjadi hamparan perkebunan tebu untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol, namun masyarakat adat dan pemerhati lingkungan khawatir rencana itu akan berakibat pada perampasan tanah, kerusakan ekologi, dan penggusuran mata pencaharian tradisional.

Sedari dulu, Kabupaten Merauke di Provinsi Papua Selatan menjadi sasaran proyek pertanian berskala besar. Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pernah dibangun pada 2007 dan juga Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010, namun kedua proyek “keamanan pangan” pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu gagal, hanya meninggalkan warisan janji palsu.

Sekarang, pemerintah bertaruh pada tebu, dengan harapan dapat mengubah daerah ini menjadi pusat biofuel. Perkebunan tebu ini, merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional, proyek yang prioritas pembangunannya diutamakan.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia Bahlil Lahadalia mengakui kegagalan dua mega proyek di Merauke sebelumnya, namun ia memastikan bahwa proyek terkait perkebunan tebu kali ini akan sukses.                                           

“Program di Merauke sudah beberapa kali gagal. Ada MIFEE, MIRE dan sebagainya. Kita tidak mau ini (perkebunan tebu) mengalami nasib sama. Hasil diskusi sama teman-teman, ternyata bibit menjadi satu faktor persoalan,” ujar Bahlil, dalam kunjungannya ke Merauke pertengahan Mei lalu.

Bahlil juga mengatakan pemerintah tengah melakukan kajian ekologis, walaupun sesungguhnya tanpa ada kajian pun, perkebunan tebu dapat berjalan. Sebab pada tahun 1920 silam, tanaman tebu pernah dibudidayakan di Merauke.

“Kita ini terlalu banyak kajian juga, tapi yang jelas kajiannya tetap jalan. Kajian penting, tapi secara kontur tanah, saya dijelaskan oleh tim perusahaan bahwa tanah di sini sangat cocok untuk tebu, hampir sama dengan Australia.”

Seorang warga mengolah tebu untuk menghasilkan gula merah di industri rumah tangga di Ketol, Aceh Tengah, 19 September 2022. [Chaideer Mahyuddin/AFP]
Seorang warga mengolah tebu untuk menghasilkan gula merah di industri rumah tangga di Ketol, Aceh Tengah, 19 September 2022. [Chaideer Mahyuddin/AFP]

Swasembada

Dihadapkan dengan meningkatnya konsumsi gula di Indonesia dan peningkatan impor yang diakibatkannya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada tahun 2020 mengumumkan rencana Indonesia untuk mencapai swasembada komoditas ini dalam satu dekade.

Ia mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tersebutsalah satunya adalah dengan memperluas areal tebu dari pabrik gula yang dikelola negara ke luar Pulau Jawa, dikutip dari laman Internasional Sugar Association.

Untuk mempercepat implementasinya, pada bulan April, Jokowi menandatangani pembentukan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke, yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) nomor 15 tahun 2024.

Keppres ini merupakan turunan dari Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpes) Nomor 40 Tahun 2023 Tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

Bahlil ditunjuk sebagai ketua satuan tugas tersebut.

Berdasarkan rencana itu percepatan fasilitasi investasi komoditas tebu yang terintegrasi dengan industri gula, bioetanol, dan pembangkit listrik biomasa di Kabupaten Merauke dibagi menjadi empat klaster wilayah dengan total  lebih dari dua juta hektare (Ha) yang akan menjadi wilayah pengembangan swasembada gula terintegrasi bioetanol.

Klaster ketiga seluas sekitar 504.373 hektar, dikhususkan untuk sektor swasta. Gugus tugas tersebut berharap klaster ini menarik total investasi sebesar US$5,62 miliar (Rp83,27 triliun), menurut pernyataan Kementerian Investasi tanggal 2 Mei.

”Nanti kebunnya secara teknologi, pakai mesin. Kemudian pabriknya juga pada skala yang besar sekaligus, dan ke depannya investasinya ini melibatkan orang daerah. Jangan investornya yang tumbuh tapi masyarakatnya mati. Enggak boleh! Kita mau fair. Kita mau investornya tumbuh, negara dapat hasil, daerah dapat hasil, rakyat juga dapat hasil. Jadi konsepnya adalah tumbuh bersama-sama,” ujar Bahlil dalam pernyataannya.  

Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menabuh genderang tradisional saat ia dan warga Papua merayakan musim panen di Merauke, Papua, 5 April 2006. [Dudi Anung/Istana Presiden/Handout via AFP]
Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menabuh genderang tradisional saat ia dan warga Papua merayakan musim panen di Merauke, Papua, 5 April 2006. [Dudi Anung/Istana Presiden/Handout via AFP]

“Tidak hargai masyarakat adat”

Namun tampaknya pernyataan dari pemerintah pusat tersebut tidak mendapat sambutan hangat di Papua.

Direktur Walhi Papua Maikel Primus Peuki mengatakan kebijakan pembangunan proyek terebut sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah ini tidak menghargai masyarakat adat di Merauke.

“Karena kebijakan itu top down, tanpa persetujuan masyarakat adat selaku pemilik tanah ulayat dan hutan,” kata Peuki kepada BenarNews, menambahkan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah bisa dikatakan brutal.

Ia mengatakan sepanjang pengalaman investasi yang ada di tanah Papua, masyarakat adat tidak pernah merasakan apa itu kesejahteraan. Mereka justru kehilangan hutan mereka dan sumber pencarian mereka yang ada di dalam hutan tersebut.

Sementara Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante mengaku belum melihat desain resmi proyek raksasa yang luasnya hampir separuh Kabupaten Merauke itu. Luas Kabupaten Merauke sekitar 46.791,63 kilometer persegi.

“Semestinya dokumen ini sudah ada sebelum proyek dilaksanakan dan penting dikonsultasikan kepada masyarakat terdampak, termasuk memberikan persetujuan,” ujar Franky kepada BenarNews.

Franky menyebutkan dari kajian cepat yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka, ditemukan ada tujuh perusahaan yang berkaitan dengan proyek tebu dan bioetanol Merauke ini.

“Meskipun informasi yang kami dapatkan ini belum valid, tapi saya bisa pastikan beneficial ownership-nya berhubungan dengan Fangiono Family,” kata Franky.

Salah satu dari Fangiono Family ini adalah Ciliandra Fangion, dikenal sebagai pengusaha kelapa sawit dan salah satu orang terkaya di Indonesia yang memiliki harta kekayaan sebanyak US$ 2,2 miliar atau Rp35,7 triliun.

Para petani mengangkat padi untuk merayakan Panen Perdana Cetak Sawah di Dusun Wasur II, Kelurahan Rimba Jaya, Kabupaten Merauke, Papua, 28 Mei 2012. [Sumber: Website Pemkab Merauke]
Para petani mengangkat padi untuk merayakan Panen Perdana Cetak Sawah di Dusun Wasur II, Kelurahan Rimba Jaya, Kabupaten Merauke, Papua, 28 Mei 2012. [Sumber: Website Pemkab Merauke]

Belum ada kesepakatan dengan pemilik ulayat

Salah satu pemilik ulayat di lokasi perkebunan tebu ini, Petrus Kaize, mengaku belum ada pertemuan antara perusahaan dengan pemilik hak ulayat untuk menyepakati nilai kontrak lahan yang akan dipakai untuk perkebunan tebu.

Laki-laki yang berasal dari Kampung Bath ini, mengakui bahwa pada 2012 pernah ada pertemuan antara pemilik hak ulayat dengan perusahaan. Saat itu beberapa pemilik hak ulayat diberikan uang sebesar Rp2 miliar sebagai “tali asih”.

“Meskipun saat itu sudah ada pembicaraan secara lisan, tapi belum ada perjanjian secara tertulis,” kata dia.  

Menurut Petrus, tanah yang akan digunakan untuk perkebunan tebu itu dimiliki oleh 7 marga, yakni marga Kaize, Ndiken, Samkakai, Gebze, Mahuze, Balagaize dan Basik-Basik. Luas tanah itu 180 ribu hektare. Namun, perusahaan hanya menggunakan sekitar 150 hektare.

“Waktu itu (tahun 2012) pemerintah menginginkan jangka waktu kontrak 35 tahun, tapi kami pemilik ulayat maunya hanya 25 tahun. Kami belum duduk lagi untuk membicarakannya lebih lanjut,” kata Petrus.

Seorang pekerja membawa tebu untuk memproduksi gula merah di industri rumah tangga di Ketol, di Provinsi Aceh Tengah, 19 September 2022. [Chaideer Mahyuddin/AFP]
Seorang pekerja membawa tebu untuk memproduksi gula merah di industri rumah tangga di Ketol, di Provinsi Aceh Tengah, 19 September 2022. [Chaideer Mahyuddin/AFP]

Menolak

Generasi muda Merauke sementara itu melihat bahwa banjir yang terjadi beberapa waktu lalu di Kampung Bupul diakibatkan oleh kerusakan hutan dan lahan yang dilakukan perusahaan kelapa sawit.

Ketua Ikatan Mahasiswa Merauke di Kota Jayapura, Kasimirus Chambu, mengatakan kondisi itu akan lebih parah jika perusahaan tebu diizinkan beroperasi.

Oleh sebab itu pihaknya sebagai generasi muda Merauke menolak dengan rencana perkebunan tebu itu, kata Chambu.

“Investasi yang masuk ke Papua Selatan banyak berdampak buruk terhadap masyarakat adat,” kata Chambu kepada BenarNews.

“Saya dengan tegas menolak perusahaan Tebu di Kabupaten Merauke.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.