Tanjung Balai Peringkat Satu Kota dengan Toleransi Rendah
2018.12.07
Jakarta
Tanjung Balai di Sumatera Utara menempati posisi puncak sebagai kota dengan tingkat toleransi beragama dan sosial rendah tahun ini, menurut hasil penelitian yang dilakukan Setara Institute for Democracy and Peace.
Posisi nomor satu Tanjung Balai tidak terlepas dari kasus yang menimpa perempuan etnis Tionghoa bernama Meiliana, yang diperjara 18 bulan pada bulan Agustus karena mengeluh soal kerasnya suara adzan, kata direktur riset Setara, Halili.
“Tekanan kelompok intoleran cukup tinggi saat keputusan vonis ini, sementara pejabat polisi dan pemerintah hanya diam,” kata Halili kepada BeritaBenar, Jumat, 7 Desember 2018.
Jakarta menempati posisi ketiga sebagai kota dengan tingkan toleransi rendah, sementara Banda Aceh di tempat kedua.
“Kenapa Jakarta [salah satu yang] terendah tingkat tolerannya, itu berdasarkan masih tingginya peristiwa toleran dan partisipasi maskarakat sipil juga lemah,” kata Halili.
“Artinya kalau ada kejadian intoleran kurang mendapat respons dari masyarakat sipil. Kemudian tindakan pemerintah baik dalam pernyataan maupun tindakan nyata juga lemah.”
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada November 2017 hingga Oktober 2018, lanjutnya, ibu kota Indonesia hanya mendapat skor 2,880 dari rentang 1 hingga 7.
Dia menambahkan masih banyaknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan memberi kontribusi yang besar sehingga skor diberikan untuk Jakarta sebagai kota yang tolerannya rendah.
Setara Institute melakukan penelitian untuk ketiga kalinya mengenai kota toleran. Penelitian mengenai kota toleran terhadap 94 kota dari 98 kota di Indonesia —Jakarta dijadikan satu kota.
“Tujuan pengindeksian ini untuk mempromosikan kota yang dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya masing-masing, sehingga dapat menjadi pemicu bagi kota-kota lain untuk turut mengembangkan toleransi di wilayahnya,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam acara penghargaan Indeks Kota Toleran di Jakarta.
Posisi pertama dalam daftar 10 kota paling rendah toleransinya adalah Tanjung Balai (2,817) yang kemudian berturut-turut disusul Banda Aceh (2,830), Jakarta (2,880), Cilegon (3,420), Padang (3,450), Depok (3,490), Bogor (3,553), Makassar (3,637), Medan (3,710) dan Sabang (3,757).
Halili menambahkan, penelitian mengenai kota toleran membuat skor dari rentang 1-7. Dengan keterangan skor 1 (sangat buruk), 2 (buruk), 3 (cukup buruk), 4 (netral), 5 (cukup toleran), 6 (toleran), dan 7 (sangat toleran).
Kota toleran
Dari hasil riset tersebut, ada 10 kota lain di Indonesia yang memiliki peringkat toleransi tinggi.
Urutan pertama ditempati Kota Singkawang di Kalimatan Barat (6,513) yang disusul Kota Salatiga, Jawa Tengah (6,477); Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara (6,280); Kota Manado, Sulawesi Utara (6,030); Kota Ambon, Maluku (5,960); Kota Bekasi (5,890), Jawa Barat; Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (5,857); Kota Tomohon, Sulawesi Utara (5,833); Kota Binjai, Sumatera Utara (5,830), dan Kota Surabaya di Jawa Timur (5,823).
Halili menambahkan, ada empat variabel yang dijadikan alat ukur untuk menentukan sebuah kota layak disebut toleran.
Pertama adalah pemerintah kota tersebut memiliki regulasi kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.
Kedua, tindakan pemerintah, terkait dengan pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan tindakan nyata terkait peristiwa dimaksud.
“Yang ketiga adalah tingkat peristiwa intolerasi terkait pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di kota itu rendah dan bahkan tidak ada sama sekali. Keempat terkait dengan demografi agama,” tuturnya.
Selain itu, dalam melakukan penskoran untuk tahun ini Setara Institute menambahkan tiga isu yaitu gender, inklusi sosial dan partisipasi masyarakat sipil.
“Oleh karena itu dari sisi komprehensivitas pengukuran IKT tahun ini lebih komprehensif dibandingkan tahun sebelumnya,” ujar Halili.
Sadar keberagaman
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang hadir dalam acara tersebut meminta supaya masyarakat sadar keberagaman yang ada Indonesia.
“Sebagai negara yang majemuk, kita merdeka karena ada berbagai macam suku, agama, golongan, etnis dan budaya yang berbeda kemudian menjadi satu Indonesia,” ujarnya.
Dengan adanya penghargaan kota toleran dari Setara Institute, Tjahjo mengatakan hal itu akan mendorong daerah untuk lebih mengerti akan pentingnya toleran.
“Menjadi kepala daerah itu bukan karena suku dan agama. Jadi jangan lihat orang dari sisi agama tapi prestasi, loyalitas dan kesetaraan, dengan begitu kota itu akan maju,” tutur Mendagri.
Ia mencontohkan Kota Singkawang, dengan pemimpin daerahnya yang berbeda suku dan agama, non-Muslim, dan Muslim.
Wakil Walikota Singkawang, Kalimantan Barat, Irwan mengatakan kotanya sangat plural dengan beragam suku, agama, budaya dan etnis.
“Walikota saya etnis Tionghoa dan saya sendiri Muslim yang merupakan putra kelahiran Singkawang. Saya bersama Walikota dan masyarakat selalu menjaga kerukunan antar-sesama itu yang selalu kami tekankan. Tidak ada yang merasa paling dominan, semua bersama-sama hidup rukun,” katanya.