Sri Mulyani Sebut Rp2.600 Triliun Dana WNI Disimpan di Singapura

UU Pengampunan Pajak digugat ke MK karena dinilai mencederai keadilan dan membuka jalan pengusaha nakal melakukan pencucian uang.
Arie Firdaus
2016.09.20
Jakarta
160920_ID_TaxAmnesty_1000.jpg Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) berbicara kepada wartawan usai sidang uji materi Undang-undang Pengampunan Pajak di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 20 September 2016.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut Rp2.600 triliun dana Warga Negara Indonesia (WNI) saat ini masih disimpan di Singapura. Angka ini setara 80 persen total harta WNI yang berada di luar negeri, yakni sebesar Rp3.250 triliun.

"Sisanya di negara tax heaven lain, termasuk Panama," katanya, kepada wartawan usai memberikan keterangan pemerintah pada sidang uji materi Undang-undang  Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa, 20 September 2016.

Menurut Sri Mulyani, dari Rp2.600 triliun dana di Singapura, Rp650 triliun di antaranya disimpan dalam wujud non-investable asset seperti real estate. Sisanya, Rp1.950 triliun tersimpan dalam bentuk investable asset; seperti deposito, surat berharga, dan saham.

Besaran dana WNI yang berada di Singapura itu diungkap Sri Mulyani saat menjelaskan tentang musabab sejumlah pihak di Negeri Singa Putih itu dianggap berupaya menahan dana warga Indonesia untuk ikut program tax amnesty.

Sejak Indonesia memulai program pengampunan pajak pada 1 Juli lalu, Singapura memang telah merilis beberapa kebijakan untuk menahan dana WNI agar tak meninggalkan Singapura.

Mereka, antara lain, rela membayarkan tarif deklarasi sebesar 4 persen bagi WNI yang mengikuti program pengampunan pajak, asalkan tak memindahkan asetnya ke Indonesia.

Sebelumnya, Dirjen Pajak mematok dana tebusan sebesar 4 persen bagi WNI yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri dalam kurun triwulan pertama, 6 persen pada triwulan kedua, dan 10 persen pada triwulan ketiga.

Adapun WNI yang memindahkan aset di luar negeri ke tanah air, tarif tebusan lebih kecil, yaitu 2 persen pada triwulan pertama, 3 persen pada triwulan ketiga, dan 5 persen pada triwulan ketiga.

Selain bersedia membayarkan dana tebusan, Pemerintah Singapura juga mengancam akan menyerahkan data transaksi mencurigakan milik WNI peserta pengampunan pajak.

Soal ancaman dari otoritas Singapura ini, Sri Mulyani berharap wajib pajak tak perlu takut. Pasalnya, laporan data transaksi mencurigakan itu hanya akan dilaporkan jika para pemilik aset diduga melakukan tindakan ilegal.

"Jika Anda memang tak kriminal, ya, tak perlu takut," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Diminta turunkan PPh

Soal "hadangan" dari Singapura dan negara tax heaven lain, pengamat pajak dari Center for Indonesian Taxation Analysis, Yustinus Prastowo berharap Pemerintah Indonesia bisa memperpanjang masa pemberlakuan periode pertama tax amnesty.

Hal ini, menurut dia, agar makin banyak wajib pajak berpartisipasi dalam tax amnesty.

"Itu bisa menjadi salah satu trik," tutur Yustinus, "perpanjangan itu memberikan jeda lebih panjang untuk wajib pajak lain mempersiapkan diri."

Adapun pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan Rony Bako menilai pemerintah bisa menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh), sebagai siasat agar lebih banyak lagi WNI yang bersedia memindahkan dananya ke Indonesia.

"Minimal bisa setara Singapura," kata Rony saat BeritaBenar meminta tanggapan atas langkah Singapura yang hendak menghadang dana milik WNI.

Tarif PPh Indonesia saat ini sebesar 25 persen. Angka itu lebih tinggi dari Singapura, yaitu 17 persen.

"Percuma tax amnesty jika PPh masih tinggi," ujar Rony.

Tentangan di dalam negeri

Di dalam negeri, kebijakan ini digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) karena dinilai mencederai keadilan serta melapangkan jalan pengusaha nakal untuk melakukan pencucian uang.

Mereka menilai rakyat kecil, seperti para buruh harus membayar pajak yang langsung dipotong dari gaji bulanan, sedangkan perusahaan dan pemilik industri yang mengemplang pajak diberikan pengampunan agar mereka membayar pajak. Cara penutupan defisit negara dengan memberikan insentif kepada para pengemplang pajak untuk mengembalikan uang mereka ke Indonesia ini dilihat sebagai ketidakadilan karena adanya perbedaan perlakuan.

Mereka mendaftarkan gugatan mereka pada 13 Juli lalu dengan menuntut tujuh pasal dalam Undang-undang Tax Amnesty.

Sejauh ini, persidangan uji materi baru berlangsung sekali, yaitu pada 20 September 2016, dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah yang diwakilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Dalam keterangannya, Sri Mulyani mengatakan gugatan para pemohon salah sasaran karena menyebut tax amnesty merugikan masyarakat miskin.

"Justru  ini bermanfaat luas," paparnya, "karena dana tebusan dipakai untuk pembangunan infrastruktur.”

Sejauh ini, dana tebusan tax amnesty yang sudah terkumpul tercatat Rp28 triliun, masih jauh dari target yang dipatok pemerintah, yaitu sebesar Rp165 triliun ketika program itu berakhir pada Maret 2017.

Seusai persidangan, kuasa hukum salah seorang termohon, Egi Sudjana, mengencam pernyataan Sri Mulyani yang menyebutkan permohonan mereka salah sasaran.

"Masyarakat miskin yang dirugikan, kok, justru dianggap tak layak?" tandas Egi.

Persidangan lanjutan akan digelar Rabu, 28 September 2016 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli yang diajukan para pemohon.

Egi mengatakan, pihaknya menyiapkan lima saksi ahli dalam persidangan mendatang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.