Sejumlah Kalangan Nilai Tahap Awal Pengampunan Pajak Berhasil
2016.10.04
Jakarta
Program amnesti pajak periode pertama yang berakhir 30 September 2016 dengan mengumpulkan dana repatriasi sebesar Rp137 triliun dan dana deklarasi sebesar Rp3.501 triliun, dinilai sejumlah kalangan sebagai kesuksesan.
Pengamat pajak dari Universitas Indonesia, Yustinus Prastowo, mengatakan periode pertama pengampunan pajak berjalan dengan baik.
"Secara umum layak diapresiasi," katanya kepada BeritaBenar, Selasa, 4 Oktober 2016.
"Jumlah yang terkumpul sekarang di luar ekpektasi, jika merujuk pada awal pelaksanaan yang masih minim (dana terkumpul)," kata Yustinus.
Agustus lalu, program ini dibayangi pesimisme. Pasalnya, dana yang terkumpul terhitung seret. Jumlah deklarasi, misalnya, hanya Rp93 triliun. Sedangkan dana tebusan tercatat Rp6 triliun.
Namun saat periode pertama berakhir, Direktorat Jenderal Pajak berhasil mengumpulkan dana repatriasi sebesar Rp137 triliun dan dana tebusan Rp97,1 triliun.
Untuk dana deklarasi, Dirjen Pajak sukses mengumpulkan uang Rp3.501 triliun, dengan Rp2.548 triliun di antaranya deklarasi di dalam negeri. Pemerintah mematok Rp4.000 triliun dana terkumpul lewat deklarasi dalam dan luar negeri.
"Itu patut diapresiasi, meskipun di sisi lain repatriasi masih minim," lanjut Prastowo.
Tanggapan senada juga disampaikan juru bicara Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama. “Periode pertama kemarin sangat menggembirakan jika melihat tantangan yang ada seperti mepetnya sosialisasi program dan potongan libur Lebaran."
Pada saat berakhirnya tax amnesty pada 31 Maret 2017 nanti, pemerintah menargetkan dana repatriasi sebesar Rp1.000 triliun dan tercapainya uang tebusan sebesar 165 triliun.
Belum maksimal
Namun demikian pengamat pajak dari CITASCO, Ruston Tambunan, menyebutkan pelaksanaan pengampunan pajak periode awal belum maksimal.
Ia berpijak pada jumlah tebusan periode pertama yang baru menembus Rp97,1 triliun dari 367.464 peserta.
"Harapannya di periode pertama, kan, bisa terkumpul sekitar Rp110 triliun, biar target bisa Rp165 triliun tercapai," kata Ruston saat dihubungi BeritaBenar.
Selain berpijak pada dana terkumpul yang masih minim, Ruston juga menyebut salah sasaran pelaku tax amnesty sebagai parameter lain ketidakberhasilan pengampunan pajak periode pertama.
Menurutnya, tax amnesty seharusnya berfokus menarik dana warga negara Indonesia di luar negeri, bukan justru menghimpun dana yang menetap di dalam negeri.
"Tapi ini malah deklarasi dalam negeri yang mendominasi," katanya.
Kepastian hukum
Pengampunan pajak masih ada dua periode tersisa, yaitu tahap kedua pada Oktober-Desember 2016 dan periode ketiga Januari-Maret 2017.
Untuk kedua periode ini, tarif tebusan yang ditetapkan lebih besar daripada periode pertama, yang mematok 2 persen untuk repatriasi dan deklarasi dalam negeri serta 4 persen untuk deklarasi luar negeri.
Selama periode kedua, repatriasi dan deklarasi dalam negeri dikenakan beban 3 persen, serta beban 6 persen untuk deklarasi luar negeri.
Sedangkan untuk periode ketiga nanti, pemerintah mematok 5 persen untuk repatriasi dan deklarasi dalam negeri, serta 10 persen untuk deklarasi di luar negeri.
Dengan besarnya persentase dana tebusan, Ruston berharap sosialisasi lebih gencar lagi dilakukan sehingga menjadi "jurus" agar perusahaan dan pengusaha kakap tertarik ikut amnesti pajak.
Yustinus juga berharap pemerintah tak lelah melakukan persuasi kepada pengusaha dan segera memberikan kepastian hukum, agar dana repatriasi meningkat.
Salah satunya segera menerbitkan revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127. Peraturan ini menyebutkan tentang Special Purpose Vehicle (SPV) alias perusahaan cangkang, yang wajib dibubarkan jika pemilik dana mengikuti tax amnesty, khususnya repatriasi.
Ketentuan kewajiban pembubaran perusahaan cangkang itulah yang ingin dihapus lewat revisi. Hanya saja, sampai saat ini revisi beleid itu belum kunjung diterbitkan.
"Kepastian hukum itu penting. Karena, repatriasi itu soal kepercayaan," kata Yustinus.
Target periode kedua
Sejak periode kedua dimulai 1 Oktober lalu, tambahan dana program tax amnesty masih lamban.
Merujuk pada data di laman Direktorat Jenderal Pajak, Selasa sore, dana deklarasi tercatat Rp3.512 triliun, bergerak tipis dari Rp3.501 triliun saat penutupan periode pertama. Adapun dana repatriasi statis di angka Rp137 triliun.
Soal lambannya pergerakan dana pengampunan pajak pada awal periode kedua, Hestu Yoga enggan berkomentar.
Menurutnya, terlalu dini membuat kesimpulan bahwa periode kedua tak begitu diminati para wajib pajak. Ia juga menolak berkomentar saat ditanya target pendapatan periode kedua.
"Kami tidak mau bicara target," katanya.
Disinggung mengenai seruan para pengamat agar Ditjen Pajak tak lelah menggelar sosialisasi tax amnesty, Hestu Yoga sependapat.
Menurutnya, imbauan keuntungan program memang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pengampunan pajak.
"Kami juga mengingatkan jika mereka tak menempuh opsi ini, kami akan menindak dengan sanksi terberat berupa penyanderaan," pungkasnya.
Gugatan ke MK
Mepetnya sosialisasi tak hanya satu-satunya tantangan program pengampunan pajak. Sejumlah kelompok buruh dan lembaga swadaya masyarakat menggugat aturan tax amnesty ke Mahkamah Konstitusi.
Penggugat berdalih aturan itu mencederai rasa keadilan, mengingat pengampunan diberikan bagi para pengemplang pajak.
Sejauh ini, mahkamah baru sekali bersidang, pada 20 September lalu, dengan agenda mendengarkan keterangan tergugat, yaitu pemerintah. Ketika itu, pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani menjabarkan musabab program pengampunan pajak.
Sidang lanjutan akan digelar 11 Oktober mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli penggugat.