Industri tekstil Indonesia terpuruk, belasan ribu buruh di-PHK
2024.07.02
Jakarta
Dengan berat hati, Muhammad Arif Rofiudin, 49, harus kehilangan pekerjaannya yang telah digelutinya bertahun-tahun di pabrik sarung milik PT Pismatex per awal 2023.
Bersama 1.700 rekan lainnya, ia dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah perusahaan yang berlokasi di Pekalongan, Jawa Tengah, ini dinyatakan pailit di penghujung 2022.
“Sekarang saya dan karyawan lain yang terkena PHK masih menunggu penjualan aset. Sudah tiga kali lelang, tapi masih belum ada yang terjual. Saya sendiri seharusnya sesuai Undang-Undang akan menerima pesangon Rp36 juta,” ujar Arif ketika dihubungi BenarNews.
Namun Arif termasuk dari sedikit orang yang beruntung. Pengalamannya sebagai petugas perawatan mesin membuatnya mendapatkan posisi di tempat lain.
Bekas perusahaan tempatnya bekerja, PT Pismatex, yang berdiri pada tahun 1972, merupakan satu dari 36 perusahaan tekstil Indonesia yang gulung tikar sejak 2019 di tengah persaingan global yang ketat, terutama dari China.
Kecenderungan ini diperburuk oleh kebijakan Free Trade Area dan perjanjian bilateral dengan negara produsen tekstil, kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi.
Antara bulan Januari dan Juni 2024 saja, 10 perusahaan melepaskan hampir 14.000 karyawannya, termasuk raksasa industri Sritex, yang memberhentikan sepertiga tenaga kerjanya, demikian menurut Ristadi, menambahkan bahwa tanda-tanda kelesuan industri tekstil sebenarnya sudah terlihat sejak 2010.
Membanjirnya impor China
Pakar mengatakan perlambatan ekonomi global telah mengurangi permintaan pakaian dan produk tekstil lainnya, sementara membanjirnya impor murah, terutama dari China, telah melemahkan produsen Indonesia.
“Saat itu, kami mencermati perkembangan teknologi industri tekstil, di mana kita tertinggal. Saat teknologi tertinggal, tentu kita kalah dari sisi produktivitas dan kualitas. Kemudian berpengaruh ke biaya produksi juga. Mereka akan lebih murah,” ujar Ristadi kepada BenarNews.
KSPN, kata Ristadi, sudah memperingatkan pemerintah dan memberi syarat.
“Boleh impor barang dari mereka, asal kita belum punya bahan baku atau jika kita membutuhkannya. Harga jual juga harus lebih mahal dari kita. Karena kalau nggak, pabrik dalam negeri akan kalah bersaing,” tegas Ristadi.
Namun, lanjut dia, hal tersebut tidak digubris oleh pemerintah dan berakhir dengan impor ugal-ugalan yang nilainya bertambah tiap tahunnya, dan kebanyakan ilegal.
Badai krisis tekstil ditunjukkan dengan nilai ekspor yang melemah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor tekstil tahun 2023 mencetak rekor terendah yakni $3,63 miliar, melampaui rekor 2020, atau awal masa pandemi, yakni $3,58 miliar. Begitu pun dari segi volume yang hanya mencapai 1,49 juta ton, dibandingkan 2020 yang mencapai 1,7 juta ton.
Impor pakaian jadi dari China mencapai puncaknya pada tahun 2020, yakni $586,27 juta, tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Namun, nilai impor dari China ini terus turun hingga 2023, seiring hantaman pandemi COVID-19 dan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Tahun 2022 tentang barang yang dilarang untuk ekspor dan impor.
Kendati demikian, China tetap menjadi pemain penting di pasar tekstil Indonesia, dengan impor mencapai $91,83 juta pada bulan April tahun ini.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menyebut faktor utama tumbangnya pabrik tekstil dalam negeri adalah sepinya order akibat kondisi ekonomi global yang tidak baik-baik saja.
Saat ini, ujar Jemmy, daya beli masyarakat dunia masih dalam kondisi yang lemah, sehingga banyak negara membuat kebijakan perlindungan perdagangan yang menyebabkan produsen tekstil besar, seperti China, kehilangan pasar tujuan ekspor dan menyebabkan over-stocked.
Banjirnya produk China dituding pemerintah sebagai efek perang dagang China dan Amerika Serikat, dimana pasar negara-negara Barat menolak produk China dan menyebabkan terjadinya "over capacity" dan "over supply".
“Persediaan tersebut kemudian diekspor ke negara tujuan yang kebijakan/perlindungan dagangnya lemah seperti Indonesia,” ujar Jemmy kepada BenarNews.
Impor yang masif dari China, yang berada di peringkat pertama daftar negara impor tekstil, menyebabkan utilitas industri tekstil Indonesia menurun karena order yang turun hingga berbuntut tumbangnya industri tekstil lokal.
API pun meminta pemerintah regulasi impor diperketat, agar barang impor murah tidak bersaing dengan produk Indonesia.
“Jika ada kebijakan/perlindungan pengamanan perdagangan, maka order untuk industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Indonesia akan terjaga,” tukas Jemmy.
Penaikan tarif impor
Menghadapi situasi tersebut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mempertimbangkan untuk menaikkan tarif impor maksimum sebesar 200% untuk berbagai produk, termasuk tekstil, guna melindungi industri lokal.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Agung Krisdiyanto menyebut pajak tersebut merupakan bea anti-dumping dan bea masuk pengamanan dan akan dikenakan terhadap 11-12 jenis produk, yang daftarnya akan bertambah lagi.
“Besarannya bervariasi. Bea masuk anti dumping pengenaannya harus melalui penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dan bea tindak pengamanan melalui Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Besarannya berapa, nanti akan diumumkan oleh Kementerian Predagangan langsung,” ujar Agung.
Langkah ini, lanjut Agung, diharapkan bisa benar-benar membendung produk impor, khususnya dari China, dimana produk yang dijual bisa berada di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP). Efeknya produsen dalam negeri tidak bisa dapat margin yang penting untuk keuntungan perusahaan, pengembangan, pajak, dan sebagainya.
“Kalau dihantam produk di bawah HPP pasti akan tumbang. Untuk itu pemerintah turun tangan untuk melindungi industri dalam negeri kita. Ini juga merupakan instruksi Presiden di rapat kabinet terbatas beberapa waktu lalu,” ujar Agung.
Lemahnya daya saing
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut daya saing di industri manufaktur dalam negeri yang terus melemah menjadi penyebab utama.
“Dilihat dari banyak relokasi pabrik brand-brand pakaian jadi global itu ke Vietnam, Bangladesh, bahkan Ethiopia,” ujar Bhima kepada BenarNews.
“Karena mereka (perusahaan) melihat berbisnis di Indonesia relatif mahal. Infrastruktur dan biaya logistik di Indonesia tergolong masih jadi masalah,” kata dia, menambahkan ini membuktikan keberpihakan pemerintah terhadap industri manufaktur masih belum konsisten.
Bhima juga menyinggung ketidakkonsistenan dukungan pemerintah terhadap sektor manufaktur, tingginya suku bunga, rendahnya daya beli konsumen, dan melemahnya nilai tukar rupiah yang membuat bahan baku impor menjadi lebih mahal.
Ia memperingatkan, tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, gelombang PHK massal kemungkinan akan terus berlanjut.
Pengamat ketenagakerjaan Universitas Indonesia, Payaman Simanjuntak, menyebut ada dua hal yang menyebabkan terpuruknya industri tekstil dalam negeri.
Pertama, terlalu banyak barang impor yang masuk ke Indonesia dengan harga murah. Kedua, produktivitas dan daya saing perusahaan di Indonesia terlalu rendah, sehingga tidak kuat bersaing dengan barang-barang impor.
“Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tekstil itu biasanya padat karya. Kurang mengandalkan mesin-mesin dan teknologi maju, sehingga produktivitas baik tenaga kerja dan manajemen menjadi rendah,” ujar Payaman kepada BenarNews.
Payaman menganjurkan pemerintah untuk mengadakan pembatasan dan jangan mudah mengimpor. Perusahaan-perusahaan tekstil, lanjutnya, juga harus meningkatkan produktivitas, apalagi di era digitalisasi dan teknologi tinggi.
“Indonesia harus mampu beradaptasi. Memang akan berkurang tenaga kerja, tapi tidak apa-apa. Tenaga kerja yang kena pengurangan bisa disalurkan ke sektor-sektor lain,” kata dia.
Sementara itu di Pekalongan, di tengah pertikaian antara kekuatan global dan domestik itu, Arif melihat masa depan dengan pesimistis.
“Kelihatannya ındustri tekstil ini ke depannya akan semakin buruk karena ada barang-barang China yang masuk dengan harga murah. Kita tak akan bisa bersaing,” ucapnya.