Papua Desak Jokowi Tarik Pasukan dari Nduga
2018.12.21
Jayapura

Pemerintahan Provinsi Papua dan kelompok masyarakat sipil mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menarik TNI-Polri dari Kabupaten Nduga menyebutkan bahwa kehadiran aparat keamanan di kawasan pedalaman itu membuat warga trauma, sementara empat warga sipil yang hilang sejak serangan di Nduga dikonfirmasi tewas, demikian menurut pejabat setempat.
Desakan penarikan tentara itu diputuskan melalui rapat paripuna Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), yang dihadiri Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), Komnas HAM Perwakilan Papua, tokoh gereja dan masyarakat Papua di Jayapura, Kamis, 20 Desember 2018.
“Kita sudah mengikuti bersama rapat paripurna DPRP menyangkut peristiwa di Nduga. Dengan demikian sikap Pemerintah Provinsi, DPRP, MRP, Perwakilan Komnas HAM Papua, gereja dan organisasi masyarakat sipil sudah jelas. Kita minta Presiden Jokowi segera menarik pasukan dari Nduga,” kata Gubernur Papua, Lukas Enembe usai rapat paripurna, Kamis malam.
Penarikan pasukan TNI-Polri, menurutnya, harus dilakukan agar masyarakat di Nduga bisa merayakan Natal dengan damai.
Dalam momen Natal seperti saat ini, lanjutnya, tidak boleh ada TNI atau Polri di Nduga, terutama di Distrik Yall, Yigi, Mbua dan Dal yang baru-baru ini menjadi lokasi kekerasan bersenjata sehingga menewaskan lebih dari 20 orang.
Dalam rapat paripurna non-APBD itu, Ketua DPRP, Yunus Wonda, menyebutkan tujuh fraksi yang ada setuju penarikan pasukan TNI-Polri dari Nduga dan pembentukan tim independen.
Tim independen yang terdiri dari Pemerintah Provinsi, DPRP, MRP, gereja, perwakilan Komnas HAM dan masyarakat sipil Papua akan bekerja mengumpulkan data terkait peristiwa di Nduga, katanya.
“Jadi, ini keinginan rakyat Papua. Tim ini bukan hanya untuk peristiwa Nduga saja. Tapi semua peristiwa kekerasan dan konflik di Tanah Papua yang menyebabkan warga sipil Papua terluka, trauma ataupun tewas,” tegas Yunus.
Korban sipil
Sementara itu, Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge memastikan empat warga sipil telah tewas di Nduga dalam operasi pengejaran Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
“Ketika kami memulai perjalanan (pada pekan lalu), ternyata menemukan satu jenazah masyarakat setempat dan langsung dimakamkan,” katanya usai memberikan kesaksian di hadapan Gubernur Papua dan DPRP.
Ia menggambar kondisi Nduga sebagai darurat kemanusiaan dan perlu penanganan oleh pemerintah Provinsi Papua, Pangdam, dan Kapolda untuk mengevakuasi masyarakat sipil yang mengungsi ke hutan.
Wentius bersama DPRD Nduga, Majelis Rakyat Papua, gereja, LSM, dan mahasiswa, ditambah anggota polisi dan TNI selama empat hari berada di Nduga untuk mencari empat orang yang masih belum ditemukan sejak serangan TPNPB pada 2 Desember lalu.
Tapi, tim hanya bisa sampai di Mbua setelah menempuh perjalanan darat dari Wamena. Selama perjalanan inilah mereka menemukan empat mayat warga sipil setempat, dua di Mbua, satu di Dal dan satu di Mbulmu Yalma.
“Empat jenazah ini tewas dengan luka tembak. Kami duga ditembak dari jarak jauh,” kata Wentius.
Namun Kapendam XVII/Cenderawasih membantah empat orang yang tewas itu sebagai warga sipil, dengan mengatakan bahwa mayat-mayat ditemukan di lokasi penyerangan terhadap pasukan TNI.
“Tidak bisa kita pastikan bahwa jenazah itu murni warga sipil,” tegasnya.
Tidak tarik
Menanggapi tuntutan penarikan aparat keamanan, kepala penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cendrawasih, Kol. Inf. Muhammad Aidi dalam pernyataan tertulis, Jumat, menyatakan, kehadiran TNI-Polri di Nduga untuk mengemban tugas negara guna melindungi rakyat.
“Kok, gubernur dan Ketua DPRP malah melarang kami bertugas, sedangkan para gerombolan separatis yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran hukum dengan membantai rakyat, mengangkat senjata untuk melawan kedaulatan negara malah didukung dan dilindungi,” katanya.
“Bila Gubernur Lukas Enembe bersikap mendukung perjuangan separatis Papua merdeka dan menolak kebijakan progam strategis nasional, maka telah melanggar UU negara dan patut dituntut sesuai dengan hukum.”
Aidi menegaskan bahwa Kodam XVII/Cenderawasih tidak akan menarik pasukan dari Nduga, karena selaku prajurit di lapangan, “hari raya bukanlah alasan untuk ditarik dari penugasan, karena kami yakin Tuhan pun juga maha tahu akan kondisi itu. Sebagian besar prajurit kami juga umat Kristiani.”
“Saya ingin menegaskan bahwa terjadinya tindakan kekerasan yang memakan korban dan mengakibatkan trauma rakyat di Nduga bukan karena hadirnya aparat TNI dan Polri di daerah tersebut,” ujarnya.
Harus dikosongkan
Gubernur Enembe menyatakan seharusnya masyarakat Nduga diminta mengosongkan wilayah itu atau diungsikan sebelum TNI-Polri mengejar TPNPB, yang mengklaim sebagai pelaku penembakan terhadap belasan para pekerja jembatan Kali Yigi-Kali Aworak.
“Ini kan tidak. Masyarakat belum diungsikan, TNI-Polri sudah masuk. Karena itu, kami minta tarik dulu,” katanya.
Enembe mengaku sangat tahu taktik TPNPB, yaitu setelah melakukan serangan di satu lokasi, mereka pasti akan keluar dari tempat itu sehingga yang tinggal hanya masyarakat sipil.
Karena itu, dia menekankan langkah pertama yang diinginkan masyarakat Papua adalah Presiden Jokowi harus menarik pasukan TNI-Polri sehingga langkah kemanusian dapat dilakukan.
“Masyarakat yang mengungsi di hutan kesulitan makanan. Kita tidak bisa kirim bahan makanan ke sana atau melakukan pengumpulan data dan fakta jika pasukan belum ditarik,” jelasnya.
“Penarikan pasukan adalah langkah awal yang menentukan langkah selanjutnya. Karena itu dalam waktu dekat kami akan minta bertemu dengan presiden untuk menyampaikan permintaan ini.”