Indonesia Kirim Tim Identifikasi Pelaku Teror Gereja di Filipina

Rina Chadijah
2019.02.04
Jakarta
jolo-1000.jpg Sanak-famili dari korban bom gereja di Jolo, provinsi Sulu, Filipina tanggal 27 Februari, mengantar peti jenazah keluarga mereka ke kuburan. Penyidik memperkirakan bom yang membunuh 21 orang di Filipina selatan ini berhubungan dengan kelompok Abu Sayyaf.
NICKEE BUTLANGAN / AFP

Pemerintah Indonesia akan mengirim tim ke Filipina untuk membantu proses identifikasi pelaku penyerangan gereja di Provinsi Jolo, Filipina Selatan, yang disebut sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Wiranto mengatakan tim itu terdiri dari perwakilan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

"Saya sampaikan bahwa itu kan berita sepihak. BNPT dan Kemlu sudah melakukan pengecekan dan koordinasi yang saat ini belum selesai,” katanya kepada wartawan, Senin, 4 Februari 2019.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano menyebut bahwa pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral di Pulau Jolo pada 27 Januari merupakan pasangan suami istri asal Indonesia.

Pria yang disebut bernama Abu Huda telah menetap lama di Sulu dan istrinya yang tak diungkap identitasnya dikatakan baru tiba di Filipina sebelum aksi peledakan terjadi yang menewaskan 23 orang.

Pasangan WNI tersebut juga disebut mendapatkan bantuan dari kelompok Abu Sayyaf dalam menjalankan aksinya.

Presiden Filipina Rodrigro Duterte juga sempat menyebut saat kejadian istri Abu Huda diketahui mengenakan sebuah salib dan kemudian meledakkan bom dalam gereja.

Sementara sang suami beberapa menit kemudian meledakkan bom di luar gereja, kata Duterte.

Wiranto mengatakan seharusnya Filipina tidak terburu-buru menyimpulkan keterlibatan warga Indonesia dalam serangan teror di negaranya karena belum bisa menunjukkan bukti yang lebih jelas mengenai hal itu.

"Masih banyak kemungkinan, jangan buru-buru vonis bahwa itu orang Indonesia,” tegasnya.

"Jangan sampai ada satu pemahaman kita sendiri atas dasar pernyataan sepihak yang langsung memvonis bahwa itu akan orang Indonesia melakukan kejahatan terorisme di negara lain."

Tak hanya mengirimkan perwakilan BNPT dan Kementerian Luar Negeri, Indonesia juga mengirimkan penyidik anti-teror Densus 88 Polri ke Filipina Selatan, untuk memverifikasi tudingan yang disampaikan pemerintah Filipina itu.

Namun hingga kini Polri belum menjelaskan lebih detil jumlah personel Densus 88 Anti-teror yang dikirim ke Filipina.

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Syahar Diantono mengaku belum mendapat informasi detil mengenai hal itu.

“Belum bisa disampaikan lebih lanjut informasinya. Masih perlu pendalaman lagi sementara ini,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.

Belum punya bukti

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi juga membantah pernyataan atau informasi yang menyebut WNI yang terlibat pemboman di Filipina.

“Masih hipotetikal. Kita akan lihat betul, apakah dia adalah WNI, itu yang perlu kita ketahui terlebih dahulu," katanya kepada wartawan di Padang, Sumatera Barat, Sabtu pekan lalu.

Ia mengaku masih intens berkomunikasi dengan otoritas Filipina, untuk memastikan apakah pelaku serangan bom bunuh diri itu benar WNI atau bukan.

"Informasi yang kita peroleh, menyatakan bahwa identifikasi pelaku masih berlangsung. belum dapat dikonfirmasikan," katanya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Armanatha Natsir juga mengatakan, Indonesia masih coba berkomunikasi dengan pemerintah Filipina untuk mencari tahu kebenaran informasi dan tudingan tersebut.

Ia menambahkan KBRI di Manila maupun KJRI di Davao City berusaha mendapatkan konfirmasi dari informasi tersebut.

“Informasi itu masih terus kita konfirmasi lebih jauh untuk diketahui kebenarannya,” katanya dalam keterangan tertulisnya kepada BeritaBenar.

Terlalu terburu-buru

Pernyataan pemerintah Filipina yang menyimpulkan keterlibatan WNI dalam serangan itu dinilai Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones sebagai langkah terlalu terburu-buru karena butuh waktu untuk dapat menarik kesimpulan keterlibatan sebuah kelompok maupun asal pelaku teror.

“Hasil pemeriksaan DNA pelaku belum ada, identitas pelaku juga belum jelas, saya kira mereka terlalu terburu-buru,” katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, Filipina akan kesulitan melacak kelompok yang berada di balik aksi teror itu, karena sel dan faksi-faksi jaringan kelompok teroris dan juga kelompok penentang pemerintah Duterte juga cukup banyak.

“Di Filipina itu ada Abu Sayyaf, ada MILF ada beberapa orang lain. Sangat sulit untuk membedakan satu kelompok dan kelompok lain," katanya.

Peneliti terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie mengatakan bahwa secara historis, wilayah Filipina Selatan banyak dihuni warga Indonesia maupun anggota kelompok jihadis yang datang dari Indonesia sejak lama.

Tapi, tambahnya, dengan gencarnya pengawasan dan kerja sama maritim antara Indonesia, Malaysia dan Filipina –  di wilayah perairan ketiga negara pasca meletusnya perang di Marawi tahun 2017 lalu, sulit bagi kelompok teror bermigrasi ke Filipina.

“Pengawasannya di wilayah itu cukup ketat, meskipun ada jalan-jalan tikus untuk masuk. Tapi terlalu terburu-buru juga menyimpulkan keterlibatan WNI,” kata saat dihubungi BeritaBenar.

Selain rumitnya kelompok radikal di Filipina, tambahnya, intelijen Filipina juga dinilai tidak begitu kuat untuk bisa secepat itu menditeksi kelompok dan identitas pelaku.

M. Sulthan Azzam di Padang turut berkontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.