Aparat Keamanan Sulteng Waspadai Pergerakan Teroris ke Poso

Komnas HAM masih melakukan negosiasi melalui keluarga sembilan anggota MIT yang masih tersisa agar mereka menyerahkan diri.
Keisyah Aprilia
2017.01.13
Palu
170113_ID_Poso_1000.jpg Pasukan Polri dan TNI mengikuti apel bersama di Palu, Sulawesi Tengah, 9 Januari 2017.
Keisyah Aprilia/Berita Benar

Aparat keamanan di Sulawesi Tengah (Sulteng) telah meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi pergerakan terduga teroris yang kemungkinan akan masuk ke provinsi itu, khususnya Kabupaten Poso.

"Jalur yang menjadi titik rawan seperti darat, laut, dan udara sudah dipetakan. Olehnya, Polri dan TNI jalan bersama dalam pengamanan tiga jalur itu," kata Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Hari Suprapto di Palu, Jumat, 13 Januari 2017.

Dia menyebutkan, Polri telah menerima beberapa laporan intelejen soal kelompok terduga teroris yang hendak masuk ke Poso, untuk bergabung dengan militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang kini tersisa sembilan orang.

"Dari informasi itu, sasaran utama yang mereka kunjungi adalah Poso. Di sana (Poso), mereka akan kembali memperkuat posisi untuk melawan pemerintah melalui aksi teror seperti dilakukan pendahulu mereka Santoso alias Abu Wardah,” jelas Hari.

Santoso adalah pemimpin MIT yang tewas di Poso pada 18 Juli 2016, dalam kontak senjata dengan satuan tugas Operasi Tinombala, pasukan khusus yang terdiri dari polisi dan TNI yang bertugas mengepung MIT.

Aparat keamanan pada 14 September lalu, juga telah menangkap Basri alias Bagong yang disebut sebagai pengganti Santoso. Kini, kelompok MIT dipimpin Ali Kalora.

Posisi kelompok yang telah berbai’at kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) semakin terjepit karena gencarnya operasi sekitar 2.000 pasukan TNI/Polri.

Selama setahun dilancarkannya Operasi Tinombala pada 2016, 22 militan, termasuk enam warga suku Uighur, China, tewas dan 12 lainnya ditangkap. Polisi juga menyita berbagai jenis senjata api.

Menurut Hari, Polri dan TNI optimis bisa mengantisipasi pergerakan tersebut. Apa lagi informasi intelijen yang masuk segera ditindaklanjuti dengan peningkatan kewaspadaan.

“Dari laporan intelijen, mereka faksi baru dalam kelompok terduga teroris Indonesia. Tapi mereka masih satu jaringan dengan kelompok terduga teroris yang lebih dulu lahir di tanah air,” katanya.

"Ini patut diwaspadai, meski sekadar informasi yang beredar kemudian ditindaklanjuti oleh intelijen kita.”

Perketat perbatasan

Sebelumnya, Panglima Kodam XII/Merdeka Mayjen TNI Ganip Warsito yang membawahi wilayah Sulteng, mengaku pihaknya juga telah memperketat pengawasan di perbatasan Indonesia dan Filipina untuk mengantisipasi penyelundupan senjata api.

“Kodam tidak ingin kecolongan senjata-senjata ilegal masuk ke Indonesia dan digunakan kelompok sipil bersenjata, seperti di Poso,” katanya, Jumat pekan lalu.

Ganip menyebutkan seluruh satuan yang berada di wilayah pesisir maupun kepulauan yang berbatasan dengan Filipina, diperintahkan untuk meningkatkan pemantauan dan penyelidikan.

"Kita juga harus melihat perkembangan negara tetangga, sehingga bisa mengantisipasi hal-hal yang dapat merugikan negara kita," imbuh Ganip.

Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Moh Affandi, menyatakan aparat harus bersinergi menjaga situasi keamanan dan tidak hanya terfokus di Poso, karena wilayah Sulteng begitu luas.

"Kalau saya bilang keamanan di pesisir Sulteng sangat lemah. Ini yang harus diperkuat keamanannya, biar jika ada indikasi bisa langsung diatasi," ujarnya.

Menurutnya, dulu banyak terduga teroris masuk ke Poso karena karena tidak adanya pengamanan ketat di wilayah pesisir.

"Sekarang jangan sampai kecolongan. Bila perlu bentuk tim khusus untuk pengamanan di wilayah pesisir. Itu sangat efektif untuk menjaga masuknya orang-orang asing yang ingin merusak wilayah Sulteng," kata Affandi.

Operasi Tinombala

Hingga kini, Operasi Tinombala terus berlanjut. Polri dan TNI telah melakukan evaluasi dan menerapkan pola baru dalam operasi, yang diperpanjang hingga April mendatang.

Selain itu, upaya menjaga keamanan masyarakat, khususnya mereka yang berprofesi sebagai petani di wilayah titik operasi juga dilakukan.

Keterlibatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk bernegosiasi dengan mereka yang ada dalam daftar pencarian orang (DPO) tersebut agar menyerahkan diri, juga terus dilakukan melalui pendekatan keluarga mereka.

"Memang tidak mudah, karena keluarga DPO yang ada di Poso hanya tinggal dua orang, sedangkan keluarga tujuh DPO lainnya di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB),” kata Ketua Komnas HAM Sulteng, Dedy Askari.

Ia berharap upaya mengedepankan tindakan persuasif menuai hasil.

"Kami sangat berharap tak ada pertumpahan darah lagi. Berikan kesempatan mereka untuk menyerah dan dihukum sesuai perbuatan masing-masing," pungkas Dedy.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.