Ancaman terorisme masih terus ada, apakah ketakutan itu beralasan?

Tantangannya sekarang adalah memerangi radikalisme secara online, kata pakar dan mantan militan.
Aisyah Llewellyn
2024.05.24
Medan
Ancaman terorisme masih terus ada, apakah ketakutan itu beralasan? Sandal yang hangus terlihat di atas meja di dalam bar yang hancur di lokasi ledakan bom Bali di Pantai Kuta, yang menewaskan 202 orang. Foto diambil empat hari setelah serangan tersebut pada16 Oktober 2002.
Beawiharta/Reuters

Film horor terbaru sutradara Joko Anwar, "Siksa Kubur", dimulai dengan ledakan di mana pemeran antagonis melakukan bom bunuh diri di sebuah toko roti, menewaskan orang tua dari dua karakter utama, Sita dan Adil.

Sang pelaku pengeboman takut akan “siksa kubur” – kepercayaan dalam Islam bahwa orang berdosa akan mendapat siksaan di dalam kuburnya. Sang pelaku percaya bahwa bom bunuh diri akan membuatnya mati syahid dan langsung masuk surga.

Joko mengungkapkan bahwa adegan pembuka yang dramatis dari film yang dirilis pada bulan April lalu itu terinspirasi oleh peristiwa nyata, salah satunya adalah serangan bom di sekitar pusat perbelanjaan Sarinah pada tahun 2016 yang menewaskan empat warga sipil di mana ISIS mengklaim berada di belakangnya.

"Siksa Kubur" bukan satu-satunya film yang mengangkat tema terorisme di Indonesia. Pada bulan Desember, film "13 Bom di Jakarta" dirilis, menceritakan serangkaian serangan teroris di ibu kota, terinspirasi oleh serangan bom di Bursa Efek Jakarta tahun 2000 yang menewaskan 15 orang, yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah (JI), kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda.

Meskipun terorisme masih menjadi tema dalam sinema Indonesia, serangan oleh kelompok militan telah berkurang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, setelah serangkaian serangan besar-besaran pada awal hingga pertengahan 2000-an.

Umar Patek, salah satu pembuat bom dalam aksi terorisme di Bali tahun 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, di rumahnya di desa Tenggulun di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, setelah dibebaskan lebih awal dari penjara, 13 Desember 2022. [Juni Kriswanto /AFP]
Umar Patek, salah satu pembuat bom dalam aksi terorisme di Bali tahun 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, di rumahnya di desa Tenggulun di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, setelah dibebaskan lebih awal dari penjara, 13 Desember 2022. [Juni Kriswanto /AFP]

Sejumlah mantan militan dan pakar terorisme memuji pemerintah atas penurunan serangan tersebut, namun demikian mereka memperingatkan bahwa ancaman masih ada meskipun saluran radikalisasi mungkin telah berubah.

Insiden terbaru di Malaysia, di mana seorang terduga militan membunuh dua polisi di sebuah kantor polisi di Johor, menambah kekhawatiran tentang kemungkinan ancaman di masa depan.

Dalam beberapa jam setelah kejadian, polisi Malaysia menyatakan bahwa pelaku adalah anggota JI - dan bahwa ayahnya dilaporkan dikenal sebagai anggota JI serta peristiwa tersebut terjadi di wilayah negara bagian Johor yang diduga menjadi tempat persembunyian para anggota militan pada akhir 1990an.

Namun kesokan harinya, Menteri Dalam Negeri Malaysia menyebut penyerang sebagai "lone wolf" yang tidak berafiliasi dengan organisasi teroris.

Tetapi setelah seminggu berlalu, polisi Malaysia menangkap kembali anggota keluarga tersangka berdasarkan undang-undang keamanan nasional yang lebih ketat dengan alasan polisi akan menginvestigasi lebih lanjut karena anggota keluarga tersebut “mempraktikkan ideologi radikal dan sang ayah adalah seorang JI”.

Polisi berjalan melewati karangan bunga di lokasi ledakan bom Bali di Pantai Kuta, yang menewaskan 202 orang, dua hari setelah serangan, 14 Oktober 2002. [Luis D'Orey/Reuters]
Polisi berjalan melewati karangan bunga di lokasi ledakan bom Bali di Pantai Kuta, yang menewaskan 202 orang, dua hari setelah serangan, 14 Oktober 2002. [Luis D'Orey/Reuters]

Ali Imron, pelaku bom Bali yang menjalani hukuman seumur hidup, mengungkapkan bahwa JI mengalami perpecahan pada pertengahan 2000-an setelah pemerintah Indonesia menindak tegas kelompok ekstremis.

"Tidak ada pemimpin resmi JI saat ini. Masih ada mantan anggota senior organisasi, tetapi mereka belum bisa menyepakati kepemimpinan dan tidak ada yang bertanggung jawab," kata Imron kepada BenarNews, menambahkan bahwa ada kesepakatan di antara mereka bahwa JI tidak akan berlanjut.

JI dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2007, menyusul gelombang kekerasan termasuk bom gereja pada malam Natal tahun 2000, bom Bali tahun 2002, dan serangan terhadap Hotel J.W. Marriott di Jakarta pada tahun 2003 dan 2009.

Meskipun kekuatan JI mungkin telah berkurang, kelompok lain telah mengisi kekosongan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, serangan teroris paling mematikan di Indonesia dilakukan oleh kelompok yang terinspirasi oleh ISIS, yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Kelompok ini menyerang sejumlah gereja di Surabaya pada tahun 2018 dan sebuah katedral di Makassar pada Minggu Palma tahun 2021. Pada tahun 2019, seorang militan di Medan, yang juga berafiliasi dengan JAD, meledakkan bom di markas polisi.

Sebelum bom Bali, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus anti-terorisme. Namun pasca aksi terorisme yang merenggut 202 korban jiwa itu, undang-undang terorisme disahkan pada tahun 2003.

Juga pada tahun yang sama, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88) dibentuk, dan menerima pelatihan dan pendanaan dari Amerika Serikat dan Australia. Pada tahun 2010, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) didirikan.

Pemerintah Indonesia juga fokus menangkap anggota senior JI, yang berhasil semakin melemahkan kelompok tersebut.

Umar Patek dipenjara selama 20 tahun karena membuat bahan kimia yang digunakan dalam serangan bom Bali, dan dibebaskan pada tahun 2022, sementara saudara laki-laki Imron, Amrozi dan Ali Ghufron dieksekusi pada tahun 2008 karena mendalangi pemboman, bersama dengan sesama anggota JI lainnya, Imam Samudra.

Warga negara Malaysia Azhari Husin dan Noordin M. Top tewas dalam penggerebekan polisi masing-masing pada tahun 2005 dan 2009, dan anggota senior JI Indonesia Dulmatin ditembak mati oleh polisi pada 2010.

Potongan gambar dari film Indonesia “13 Bom di Jakarta” yang dirilis pada bulan Desember, diilhami oleh aksi terorisme di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2000 yang menewaskan 15 orang. [Sumber IMDb]
Potongan gambar dari film Indonesia “13 Bom di Jakarta” yang dirilis pada bulan Desember, diilhami oleh aksi terorisme di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2000 yang menewaskan 15 orang. [Sumber IMDb]

Kemungkinan serangan baru

Noor Huda Ismail, yang mendirikan Institute for International Peace Building, menyatakan keraguannya tentang keterlibatan pelaku di Malaysia dengan JI secara formal.

"Namun, saya tidak akan mengabaikan kemungkinan serangan teroris di Indonesia, mengingat sifat laten dari ancaman teroris di negara ini," katanya.

"Namun, perlu dicatat bahwa Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah secara signifikan meningkatkan pemahamannya tentang ancaman ini, terutama mengenai kegiatan JI."

Noor Huda mencatat bahwa tantangan masih ada di seluruh wilayah, terutama karena saluran radikalisasi semakin beragam.

"Terlepas dari kemajuannya, tantangan sebenarnya terletak pada memerangi radikalisasi online dan mengatasi potensi residivisme di antara teroris yang telah dibebaskan tanpa menjalani program rehabilitasi yang komprehensif," katanya.

Uday Bakhshi, manajer operasi untuk perusahaan penilaian risiko APAC Assistance yang berbasis di Mumbai, menyatakan bahwa meskipun masih ada ancaman teroris di Indonesia, kesiapsiagaan pemerintah terhadap serangan terlihat dari keberhasilan pemerintah baru-baru ini.

"Densus 88 menggagalkan dugaan rencana untuk menyerang Pemilu Februari, dan hampir 150 tersangka teroris ditangkap pada tahun 2023," katanya.

Bakhshi juga mengatakan fakta bahwa tidak ada pemboman yang berhasil sejak Desember 2022, atau serangan teror pada tahun 2023, menunjukkan tingkat kesiapsiagaan yang belum pernah dimiliki Indonesia sebelumnya.

"JI tampaknya telah berpaling dari kekerasan, dan kelompok-kelompok pendukung ISIS telah kehilangan kemampuan dan relevansinya," katanya.

Anggota Densus 88 mengepung jalan saat mereka menggeledah sebuah rumah menyusul penangkapan seorang laki-laki yang dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok militan Negara Islam (ISIS), di Surabaya, Jawa Timur, 19 Juni 2017. [Juni Kriswanto/AFP]
Anggota Densus 88 mengepung jalan saat mereka menggeledah sebuah rumah menyusul penangkapan seorang laki-laki yang dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok militan Negara Islam (ISIS), di Surabaya, Jawa Timur, 19 Juni 2017. [Juni Kriswanto/AFP]

Penolakan kekerasan

Ali Imron bukan satu-satunya anggota senior JI yang sekarang mengecam masa lalunya yang penuh kekerasan. Baik Imron maupun Umar Patek telah terlibat dalam program deradikalisasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, begitu juga Abu Bakar Ba'asyir, seorang ustaz yang mendirikan JI pada tahun 1993.

Ba'asyir dibebaskan dari penjara pada tahun 2021 setelah menjalani dua pertiga dari hukuman 15 tahun karena mendukung kamp pelatihan teroris - dan sejak itu telah berbicara tentang bahaya ideologi radikal.

Dalam pernyataan video yang dikirim ke BenarNews, Ba'asyir mengatakan bahwa dia "mengecam keras" pembunuhan dua polisi di Malaysia dan "sangat terkejut" oleh insiden tersebut.

"Sungguh itu bukan ajaran Islam. Itu hanyalah hawa nafsu, atau mungkin pengaruh dari pada musuh Islam yang memanfaatkan pemuda itu," katanya.

Ia menambahkan bahwa ia ingin menasihati "pemuda Muslim" untuk mengikuti jalan yang benar dan tidak terlibat dalam terorisme.

"Kalau mau membela Islam cukup melakukannya hanya melalui dakwah dan doa, bukan melalui kekerasan atau bom yang tidak ada dalam ajaran Islam," katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.