Sembilan Negara Perkuat Kerja Sama Pemberantasan Terorisme di Media Sosial

Twitter mengatakan dari Agustus 2015 hingga akhir 2017, lebih dari 1,2 juta akun twitter diblokir karena terdeteksi dukung terorisme.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2018.11.06
Jakarta
181106_ID_terror_1000.jpg Anggota gabungan polisi dan militer ambil bagian dalam latihan anti-terorisme di Jakarta, 25 Juli 2018.
AP

Sembilan negara sepakat untuk memperkuat kerja sama memberantas propaganda terorisme di media sosial, yang juga akan diperkuat dengan keterlibatan perusahaan penyedia media sosial untuk memblokir akun-akun yang terdeteksi terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, yang menjadi tuan rumah bersama Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton dalam Sub Regional Meeting on Counterterrorism di Jakarta, Selasa, 6 November 2018, mengatakan bahwa pertemuan itu membahas upaya bersama untuk melawan terorisme melalui media sosial dengan kerja sama pemerintah dan pihak swasta di bidang teknologi informasi.

“Hasil pertemuan ini akan kita tindak lanjuti dengan Jakarta working group yang terdiri dari pejabat-pejabat senior dari sembilan negara yang bertugas untuk merumuskan rencana aksi dan memonitor kegiatan kita bersama,” ujar Wiranto dalam jumpa pers bersama Dutton.

Dutton menegaskan komitmen Australia untuk memberantas kejahatan yang disebarkan melalui media sosial, dan mengatakan “kita tidak menerima kejahatan di jalanan, karena itu kita tidak boleh menerimanya juga di daring.”

Negara-negara yang terlibat dalam forum tersebut selain Indonesia dan Australia adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, Selandia Baru, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Wiranto mengatakan isu mengenai penggunaan media sosial menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut karena ternyata jaringan terorisme juga menggunakannya untuk mempromosikan terorisme, bahkan memberikan pelajaran bagaimana merakit bom.

Blokir

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan dari Twitter mempresentasikan langkah-langkah yang telah diambil perusahaan media sosial itu dalam mencegah penyebaran ideologi terorisme, dengan memblokir 1.210.357 akun Twitter karena isinya mempromosikan terorisme dalam periode 1 Agustus 2015 sampai 31 Desember 2017.

Angka tersebut pertama kali dikeluarkan oleh Twitter pada 5 April 2018 dalam laporan transparansinya di sebuah blog post, yang juga menyebutkan bahwa dalam periode 1 Juli 2017 sampai 31 Desember 2017, ada 274.460 akun yang ditutup permanen karena kontennya terkait propaganda terorisme dan 93% ditandai secara internal, 74% sudah berhasil diblokir sebelum mencuit untuk pertama kalinya, dan kurang dari 0,2% dari akun-akun tersebut diblokir karena laporan dari pihak berwenang.

Dutton menyambut baik presentasi dari Twitter tersebut dan menyebutkan jumlah akun yang diblokir tersebut sebagai “luar biasa”.

“Itu angka yang signifikan tapi mungkin hanya puncak gunung es saja dari porsi yang harus kita hadapi tidak hanya hari ini karena jumlah media sosial terus meningkat,” ujar Dutton.

Dia juga mengingatkan bahwa perusahaan media sosial mempunya kewajiban yang spesifik untuk bekerja sama dan membantu aparat penegak hukum, terutama ketika pesan atau layanan yang terenkripsi digunakan untuk mengirim pesan dan merencanakan serangan terorisme atau oleh sindikat kejahatan serius lainnya.

“Perusahaan-perusahaan tersebut harus menerima bahwa mereka punya tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan tanggung jawab mereka sebelumnya,” tambah Dutton.

Menurutnya, sebelum ini perusahaan media sosial susah untuk diajak bekerja sama dan memberikan contoh ketika lima negara yang terlibat dalam kerja sama intelijen Five Eyes mengadakan pertemuan di Australia pada Agustus lalu, mereka sangat susah untuk datang menghadiri pertemuan tersebut.

“Hal itu sangat mengecewakan. Jadi ini bagus bahwa Twitter datang hari ini,” ujar Dutton.

Wiranto menyebutkan bahwa kelompok kerja yang dibentuk akan melihat bagaimana undang-undang di setiap negara bisa memayungi kegiatan penanggulangan terorisme di media sosial karena setiap negara mempunyai langkah hukum yang berbeda terkait pemblokiran akun-akun media sosial.

“Tapi platformnya sama, bahwa kita tidak toleransi penggunaan media sosial untuk kejahatan terutama terorisme,” ujar Wiranto.

Pertemuan tersebut adalah yang kedua kali digelar setelah yang pertama kali diadakan di Manado, Sulawesi Utara, tahun lalu menyusul pertempuran di Marawi, Filipina, dan pergerakan militan-militan yang melintasi batas negara.

“Kami sepakat untuk saling berbagi informasi pengalaman agar negara-negara peserta mempunya satu pemahaman yang sama, cara-cara yang sama, sehingga anatomi dari foreign terrorist fighters (FTF) dan jaringan dapat kita ketahui bersama dan halangi bersama. Maka untuk FTF, kita katakan, tidak ada satu negara yang mampu sendirian melawan terorisme,” ujar Wiranto.

Indonesia kembali menjadi target serangan terorisme dalam tiga tahun terakhir. Pada pertengahan Mei lalu dua keluarga di Surabaya menjadi pelaku bom bunuh diri dengan melibatkan anak-anak mereka. Empat belas korban tewas pada serangan yang menargetkan tiga gereja dan markas kepolisian kota Surabaya itu.

Beberapa hari sebelumnya pada 8 – 10 Mei 2018 terjadi kerusuhan di rumah tahanan Markas Komando (Mako) Brimob Kelapa Dua di Depok, Jawa Barat. Lima polisi tewas secara mengenaskan di tangan para narapidana terorisme yang sempat menguasai markas brimob tersebut, dan seorang napi tewas ditembak polisi.

Menurut polisi delapan orang militan yang ditangkap karena datang dan berencana menyerang Mako Brimob pasca insiden itu mengatakan mereka mendapat seruan untuk melakukan penyerangan melalui WhatsApp dan Telegram.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.