KTT Anti-Pendanaan Terorisme Dibuka di Sydney

Ade Mardiyati
2015.11.17
Sydney
terrorismfinance-620 Seorang pegawai penukaran uang menghitung uang di Jakarta, 27 Agustus, 2015. Menurut PPATK, modus pendanaan terorisme yang paling lazim di Indonesia adalah lewat transaksi tunai.
AFP

Australia dan Indonesia menjadi tuan rumah bersama konferensi yang dihadiri oleh pakar dan instansi dari 18 negara untuk mencegah pendanaan terorisme.

Otoritas pemerintah Australia melalui Australian Transaction Report and Analysis Centre (AUSTRAC) bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Anti-Pendanaan Terorisme pada tanggal 17-18 November di Sydney, Australia.

Konferensi yang dihadiri oleh para pakar dan instansi terkait dari sekitar 18 negara termasuk Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina, membahas antara lain modus pendanaan terorisme, penggunaan media sosial dalam meningkatnya kasus-kasus terorisme, serta peningkatan kerjasama antar negara dalam penumpasan dan pencegahan pendanaan terorisme.

KTT ini diadakan beberapa hari setelah Perancis mendapat serangan dari kelompok radikal ISIS yang melakukan teror di beberapa lokasi di kota Paris, Jumat malam lalu. Aksi yang dikutuk banyak pemimpin dunia tersebut menewaskan 129 warga sipil dan melukai ratusan lainnya.

Dalam wawancara melalui sambungan telepon dengan BeritaBenar di Sydney, Wakil Kepala PPATK Agus Santoso mengungkapkan pentingnya diadakan konferensi ini mengingat semakin meningkatnya jaringan terorisme internasional terutama di wilayah Asia Tenggara.

Agus menyebutkan pendanaan terorisme terutama digunakan untuk pembelian senjata dan bahan peledak, pengadaan latihan untuk para anggota, perekrutan, biaya kebutuhan hidup, serta santunan untuk para janda teroris.

Modus transaksi tunai

Modus utama dalam pendanaan aksi-aksi terorisme adalah melalui transaksi tunai karena jejaknya sulit untuk dilacak, kata Agus.

“Seperti misalnya negara Singapura yang mengeluarkan nominal 10.000 dolar untuk mata uangnya, itu bisa digunakan untuk kejahatan. Karena pelaku bisa dengan mudah menyelundupkan selembar uang kertas dengan nominal sangat tinggi melewati perbatasan antar negara. Ini rawan sekali terjadi money laundering,” tegasnya.

Sedangkan secara umum, modus yang kerap digunakan untuk aksi pendanaan terorisme terbagi menjadi dua yakni melalui jalur legal dan ilegal, ujarnya.

“Yang dimaksud legal, misalnya membuka unit usaha seperti toko pakaian dan lain sebagainya. Keuntungan dari usaha tersebut kemudian digunakan untuk mendanai aksi-aksi terorisme. Hal seperti ini yang kerap sulit dilacak karena jalurnya legal,” imbuhnya.

Jalur ilegal termasuk di antaranya perampokan, bisnis narkoba, dan pembobolan mesin tarik uang tunai. Menariknya, menurut Agus, kejahatan secara fisik ini merupakan ciri khas aksi yang dilakukan oleh kelompok dengan latar belakang pendidikan rendah.

“Mereka yang berpendidikan tinggi, cenderung melakukan pendanaan terorisme dengan melakukan aksi kejahatan secara maya, atau cyber crime,” jelasnya.

Modus pembelian rekening

Untuk menghindari kecurigaan, pemindahan dana dari para penyokong kepada kelompok terorisme banyak dilakukan secara kecil-kecilan. Modus pembelian rekening dari nasabah bank merupakan salah satunya, ujar Agus.

Para pelaku tidak pernah membuka rekening untuk menghindari berurusan dengan pihak bank. Mereka kerap membeli rekening bank dari para nasabah yang pada umumnya sudah lama tidak aktif menggunakan rekening tersebut sehingga kerap kali menimbulkan kecurigaan ketika tiba-tiba rekening tersebut aktif kembali dan melakukan transfer dana.

Menutup pembicaraan, Agus berharap dengan saling bertukar pikiran dan pengalaman melalui konferensi ini akan mampu meningkatkan kesadaran dan kepekaan dunia terhadap usaha-usaha pendanaan terorisme.

“Selain itu, kami berharap akan terciptanya kerjasama regional dalam hal ini. Tidak ada negara yang imun dari aksi terorisme,” tandasnya.

Sementara itu dari keterangan pers yang dirilis oleh AUSTRAC awal November ini, laporan tahunan lembaga pemerintah ini menyebutkan adanya 536 kasus mencurigakan yang mengarah kepada pendanaan aksi-aksi terorisme selama setahun belakangan ini di Australia.

Angka ini meningkat tajam 300 persen dari tahun sebelumnya. Dari 536 kasus tersebut, total dana sebanyak 53 juta dolar ditengarai digunakan untuk mendanai aksi-aksi terorisme. Namun angka ini belum termasuk jumlah dana lain untuk aksi terorisme yang mungkin tidak terdeteksi oleh pihak berwenang Australia.

 

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.