Tes Keperawanan Calon Anggota TNI-Polri Dikecam

Polri mengatakan telah mencabut tes yang dinilai sebagai bentuk kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak asasai manusia itu.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.11.27
Jakarta
171127_ID_Virginitytest_1000.jpg Dalam foto tertanggal 17 Agustus 2012 ini, Korps Wanita Angkatan Laut memberikan penghormatan dalam acara Kemerdekaan Indonesia di Istana Negara Jakarta. Human Rights Watch mengecam TNI–Polri, yang menyebut kedua institusi tersebut memberlakukan tes keperawanan bagi perempuan yang ingin masuk sebagai anggota mereka.
AP

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai pemberlakuan tes keperawanan bagi perempuan yang masuk TNI dan Polri sebagai bentuk kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Hal ini menyusul temuan Human Rights Watch (HRW) yang menyebut dua institusi itu masih memberlakukan tes tersebut.

“Saya kira yang disampaikan HRW berbasis temuan dan pemantauan di lapangan. Persoalan keperawanan atau tes keperawanan sama halnya mengontrol seksualitas perempuan,” ujar Masruchah, seorang komisioner Komnas Perempuan kepada BeritaBenar, Senin, 27 November 2017.

Masruchah mengatakan praktik ini terkait perspektif penyelenggara negara bahwa tes keperawanan tidak bisa dibiarkan berlangsung dan harus dihentikan. “Ini butuh sosialisasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kapolri, Kementerian Agama, dan yang lain-lain,” ujarnya.

Sebelumnya pada 22 November 2017 lalu, HRW merilis informasi dari pejabat senior militer dan kepolisian, yang menyebutkan bahwa tes yang diskriminatif itu masih diberlakukan. Secara resmi tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes psikologi untuk alasan kesehatan mental dan moralitas.

Menurut HRW, seorang dokter militer mengatakan kepada mereka bahwa pejabat-pejabat senior militer sangat paham akan argumen-argumen yang menentang tes tersebut namun mereka tidak bersedia menghapusnya.

Dokter tersebut mengatakan bahwa perlu ada campur tangan langsung dari pimpinan tertinggi TNI untuk memerintahkan pemberhentian tes tersebut karena militer adalah organisasi yang sangat hirarkis dan harus mematuhi perintah dari atasan.

“Sikap pemerintah Indonesia yang terus mentolerir tes keperawanan yang menyiksa oleh aparat keamanan mencerminkan sangat kurangnya keinginan politik untuk melindungi hak-hak perempuan Indonesia,” ujar direktur advokasi hak-hak perempuan HRW, Nisha Varia, dalam pernyataannya.

Tes keperawanan itu diduga dilakukan dengan cara “tes dua jari” untuk menentukan bila selaput dara seorang kandidat perempuan masih utuh. Berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesahihan tes ini tidak mempunyai dasar ilmiah, namun terus dilakukan oleh TNI dan Polri dengan alasan bahwa tes ini juga untuk mengetahui apakah kandidat perempuan itu sedang hamil atau tidak.

Menurut HRW, beberapa kandidat perempuan di kedua institusi keamanan tersebut yang dianggap tidak lulus tes keperawanan tidak mendapatkan sanksi namun mereka menjabarkan pengalaman tersebut sebagai kejadian yang menyakitkan, memalukan, dan traumatis.

“Tes-tes tersebut sangat merendahkan dan diskriminatif, dan merusak peluang perempuan untuk mendapatkan akses yang setara ke pekerjaan-pekerjaan penting,” tambahnya.

Kerap diprotes

HRW sejak 2017 lalu telah berulang kali mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan praktik yang dianggap merendahkan martabat kaum perempuan itu. Namun menurut HRW seruan itu tidak mendapat sambutan yang baik dan tidak ada tindak lanjut dari pemerintah.

HRW kembali menyerukan agar Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk segera memberhentikan tes tersebut. Indonesia juga harus mematuhi aturan hak asasi manusia yang berlaku universal, serta menghormati tujuan-tujuan dari Hari Internasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati setiap 25 November 2017.

Jokowi juga didesak untuk membentuk suatu mekanisme pemantauan yang independen untuk memastikan bahwa kedua institusi keamanan tersebut mematuhi perintah untuk menghentikan tes keperawanan bagi perempuan yang ingin bergabung TNI dan Polri.

Membantah

Sementara itu Polri membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada lagi tes keperawanan bagi calon polisi wanita. Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, menegaskan pihaknya sudah menghapus praktik tersebut sejak tiga tahun yang lalu.

“Yang ada saat ini adalah pemeriksaan kesehatan biasa. Bagi calon polisi wanita yang memeriksa adalah dokter wanita dan didampingi oleh perawat perempuan,” ujar Setyo kepada BeritaBenar.

Hal itu juga dibenarkan Sri Rumiati, seorang pensiunan Brigadir Jenderal polisi, mengatakan bahwa Polri sudah menghapus praktek tersebut sejak 2006.

Menurutnya, saat itu Divisi Kesehatan Polri mengeluarkan aturan perlunya tes keperawanan tersebut. Namun Sri mengajukan keberatan dengan mengatakan Indonesia mempunyai UU nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau CEDAW. Sejak itu, diputuskan pelarangan tes keperawan untuk calon polisi wanita.

“Dalam pedoman rekrutmen juga disebutkan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Namun Sri mengatakan dia pernah mendapat aduan dari polisi di salah satu wilayah di Sumatera pada tahun 2009 bahwa di wilayah tersebut masih terjadi tes keperawan terhadap kandidat polisi wanita.

“Dalihnya untuk pemeriksaan kesehatan reproduksi. Namun bagi kita yang bukan dokter tentunya tidak tahu bagaimana standar prosedur pemeriksaan kesehatan reproduksi yang sebenarnya seperti apa,” ujar Sri.

BeritaBenar sudah mencoba menghubungi juru bicara TNI, Brigjen TNI M. Sabrar Fadhilah, melalui teks dan telpon untuk mendapatkan tanggapan TNI atas dugaan ini. Namun hingga laporan ini ditulis, tidak mendapatkan jawaban.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.