Militer Thailand-Indonesia Sepakati Pembagian Data Intelejen tentang Militan
2020.01.14
Pattani, Thailand, Bangkok & Jakarta

Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand dan Panglima Angkatan Darat Indonesia menandatangani kerjasama untuk saling berbagi data intelijen bertempat di Aceh, Selasa (14/1/2020) yang bertujuan untuk mencegah pergerakan lintas batas gerilyawan dan militan, termasuk para pemberontak di wilayah Thailand selatan, demikian menurut para pejabat dan pengamat.
Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand Jenderal Apirat Kongsompong mengindikasikan bahwa kunjungannya ke Aceh juga untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana, pada 2005, wilayah yang pernah lama di bawah pemberontakan itu bisa mencapai perdamaian. Kunjungan sehari tersebut adalah lawatan resmi pertama oleh seorang kepala militer Thailand ke Aceh.
Apirat bertemu dengan mitranya dari Indonesia, Jenderal Andika Perkasa, untuk membahas masalah militer, termasuk memperbarui nota kesepahaman tentang kerja sama dalam pelatihan, dan menandatangani kesepakatan tiga poin yang bertujuan untuk mencegah ancaman keamanan dan mencegah pergerakan lintas batas oleh "teroris atau pelaku kejahatan," kata pejabat terkait.
"[Kami] telah menandatangani risalah rapat untuk pertukaran lebih banyak data intelijen dan mencoba untuk melakukan lebih banyak kerja sama untuk menanggulangi kelompok-kelompok buron yang melintasi perbatasan, untuk kedua negara," kata Apirat saat konferensi pers bersama dengan Jenderal Andika, menurut video klip dirilis ke BeritaBenar oleh sumber militer Thailand.
Kesepakatan lainnya menyangkut kerjasama pasukan kedua negara untuk "melacak orang atau kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi kedua negara dan kawasan" dan "menolak masuknya orang-orang yang dianggap sebagai ancaman bagi kedua negara dan wilayah tersebut," kata Apirat kepada wartawan di Aceh.
Dia mengatakan rekannya yang menemani lawatannya ke Indonesia, Jenderal Pornsak Poolsawat, komandan tentara di Deep South (wilayah selatan Thailand) dengan mayoritas penduduk Muslim dan berbahasa Melayu, akan ditugaskan untuk membentuk sebuah komite untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan kesepakatan lintas batas dengan tentara Indonesia.
Menurut salinan dokumen resmi yang dirilis dari pertemuan tersebut dan diperoleh oleh Reuters, kedua belah pihak sepakat untuk berbagi data intelijen tentang "gerakan ekstrimis, pemberontak atau kelompok pelaku yang merusak keamanan nasional."
Apirat: Aceh capai perdamaian
Sebuah pernyataan yang kemudian dikeluarkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak merinci bagaimana kesepakatan kerja sama itu akan berdampak bagi kelompok-kelompok ekstremis Islam Indonesia, termasuk kelompok militan Jamaah Ansharut Daulah, kelompok pendukung ISIS yang oleh pihak berwenang diklaim berada dibalik serangan teroris di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Tujuan kunjungan Jenderal Apirat ke Aceh adalah untuk menandatangani perpanjangan empat tahun kesepakatan kerja sama militer bilateral serta membicarakan masalah proses perdamaian yang menghasilkan perjanjian 2005, yang mengakhiri pemberontakan Aceh, demikian juru bicara militer Indonesia Candra Wijaya dalam pernyataan itu.
"Kerja sama termasuk pendidikan, kegiatan pelatihan bersama, pertukaran kunjungan oleh pejabat senior militer kedua belah pihak untuk memperkuat hubungan antara kedua negara," kata pernyataan tersebut mengutip Jenderal Andika.
Dia mengatakan mitranya dari Thailand mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin tradisional Aceh karena Apirat ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana Aceh mencapai perdamaian.
Apirat mengatakan dia menghargai model yang digunakan Aceh dalam mencapai perdamaian.
"Jadi apa yang membawa kedamaian, Anda tahu, itu bukan tentang agama. Itu bukan tentang siapa Anda, tetapi tentang pemahaman. "
"Saya memiliki harapan. Aceh telah mencapai perdamaian,” kata Apirat ketika menjawab pertanyaan seorang wartawan tentang apakah sang jenderal memiliki pesan untuk para pemberontak di Deep South.
Perjanjian perdamaian yang ditandatangani di Helsinki oleh Jakarta dan pemberontak Aceh- Gerakan Aceh Merdeka, pada Agustus 2005, mengakhiri konflik separatis selama 28 tahun, di mana Indonesia setuju untuk memberikan otonomi khusus kepada Aceh.
Menyasar BRN
Kesepakatan bilateral yang dibuat oleh tentara Indonesia dan Thailand ditargetkan pada Barisan Revolusi Nasional atau BRN, kelompok pemberontak yang terbesar dan paling kuat dari Thailand selatan, demikian menurut mantan anggota berpangkat tinggi di Patani United Liberation Organization (PULO), kelompok pemberontak lain di Deep South.
"Saya percaya perjanjian antara komandan militer Thailand dan Indonesia bertujuan untuk menekan pemberontak yang melarikan diri dari Malaysia ke Indonesia setelah mereka mendapatkan tekanan dari Malaysia karena menolak untuk melakukan pembicaraan damai," kata mantan pemberontak PULO itu kepada BeritaBenar dengan syarat tidak mau disebutkan namanya, merujuk pada perundingan antara Bangkok dan kelompok pemberontak Thailand selatan yang ditengahi oleh Kuala Lumpur.
Sebelum pemberontakan kembali mencuat pada tahun 2004, separatis dari Deep South datang ke Aceh untuk melakuakn pelatihan militer, dan kemudian mereka mewariskan keterampilan itu kepada generasi petempur yang lebih muda setelah kembali ke asal mereka di wilayah perbatasan, kata Samret Srirai, seorang pensiunan perwira senior militer Thailand.
Lebih dari 7.000 orang telah tewas dalam kekerasan di Deep South selama 16 tahun terakhir. Sejak 2015, negara tetangga Malaysia telah memfasilitasi negosiasi antara Bangkok dan MARA Patani, sebuah kelompok yang mewakili berbagai organisasi dan faksi pemberontak, tetapi pembicaraan itu tidak menghasilkan terobosan, sementara kekerasan di wilayah itu terus berlanjut.
“[Saya] percaya perjanjian itu dilakukan karena beberapa anggota BRN bersembunyi di Indonesia, jadi Thailand ingin memantau mereka,” Profesor Srisompob Jitpiromsi, direktur Deep South Watch, sebuah lembaga think-tank yang berbasis di wilayah tersebut, mengatakan kepada BeritaBenar.