Indonesia turun 14 tingkat dalam peringkat korupsi dunia

Laporan Transparency International memperlihatkan pemberantasan korupsi kembali ke “titik 0” atau ke level tahun 2014.
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2023.01.31
Jakarta
Indonesia turun 14 tingkat dalam peringkat korupsi dunia Para pengunjuk rasa berdemonstrasi di luar gedung DPRD menentang rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai akan melemahkan lembaga antirasuah itu, di Surabaya, 26 September 2019.
[Juni Kriswanto/AFP]

Indonesia turun tajam dalam peringkat korupsi di seluruh dunia yang dirilis pada Selasa (31/1), karena kasus suap, korupsi yudisial, dan konflik kepentingan telah memburuk di negara terbesar di Asia Tenggara itu, demikian pernyataanTransparency International dalam laporan tahunannya.

Indonesia anjlok 14 peringkat ke tingkat 110 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) pada tahun 2022, yang mengukur persepsi terhadap korupsi di sektor publik.

Sementara itu, skor Indonesia untuk persepsi kebersihan di pemerintahan dan sektor publik turun ke level tahun 2014 – penurunan yang bisa berpengaruh buruk dalam investasi proyek pembangunan ibu kota negara baru Nusantara, kata para analis.

“Korupsi politik yang masih marak ditemukan mulai dari suap, gratifikasi dan konflik kepentingan antara pejabat dan pelaku usaha masih lazim terjadi membuat posisi Indonesia melorot tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” ujar Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko dalam pernyataan pers di Jakarta, Selasa.

Skor Indonesia pada tahun 2022 juga turun ke posisi 34 dari sebelumnya 38 pada tahun 2021. Skor tersebut memprediksikan tingkat korupsi suatu negara di mana poin 0 adalah sangat korup sedangkan negara bersih korupsi ditandai dengan poin 100, kata TII.

“Ini yang terburuk sejak 2014, ketika skornya juga 34. Jadi kita kembali ke titik awal,” ujar Wawan.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo memulai masa jabatannya pada 2014 dengan janji untuk memberantas korupsi.

Singapura menempati urutan teratas di antara negara-negara ASEAN, yaitu skor 85, di mana Indonesia berada di peringkat keenam di bawah Malaysia (42), Timor Leste (42), Vietnam (42) dan Thailand (36), ungkap laporan tersebut.

TII mencatat secara global, Denmark (90) berada di puncak indeks untuk 2022, yang diikuti oleh Finlandia dan Selandia Baru, keduanya mendapatkan skor 87.

Cegah mahar politik

Menanggapi laporan Transparency International tersebut, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengaku terkejut mendengar posisi Indonesia merosot tajam.

“Jadi saya yang pertama ditelepon kemarin, kaget setengah mati saya, kok cuma 34,” kata Pahala seraya menambahkan kalau kondisi ini akan menghambat investor untuk datang ke Indonesia.

Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan, Yusuf Hakim Gumilang, mengapresiasi laporan tersebut.

“Ini jadi catatan kami, diskusi internal kami. Jangan-jangan memang benar upaya korektif kita belum cukup seperti UU Cipta Kerja dan UU KPK,” kata dia kepada BenarNews.

Pada 2019, DPR merevisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK di tengah protes dari mahasiswa dan pegiat antikorupsi karena hal itu dinilai justru melemahkan lembaga antirasuah itu.

UU KPK yang baru tersebut antara lain mengatur soal kewenangan lembaga itu untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi yang penuntutannya tak selesai dalam dua tahun.

Pada Desember lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan praktik operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap pejabat yang diduga menerima suap telah mencoreng citra Indonesia di luar negeri sebagai negara dengan korupsi meraja lela.

"OTT-OTT itu kan enggak bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget," kata Luhut, “kita mau bersih-bersih amat di surga sajalah kau!"

Kembali ke titik awal

Langkah pemerintah yang menjauh dari pemberantasan korupsi telah menjadi bumerang, menurut Danang Widoyoko, sekretaris jenderal TII.

“Merosotnya skor IPK menunjukkan strategi tersebut tidak berjalan. Demikian juga pemberantasan korupsi di sektor strategis lainnya seperti korupsi politik dan korupsi peradilan juga menunjukkan stagnasi,” kata Danang dalam keterangan pers Selasa.

Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan aktivis antikorupsi, sependapat.

“Presiden Jokowi sempat berjanji untuk memperkuat KPK... tapi kini balik lagi ke titik nol saat dia mulai menjabat. Menjadi bukti bahwa dia gagal memenuhi janji waktu itu,” kata Bivitri.

Bivitri menilai penurunan IPK ini juga berpotensi menghambat upaya pemerintah dalam menarik investor untuk menanamkan modal, salah satunya di proyek ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Dia merujuk salah satu parameter IPK yang melemah pada 2022 yakni International Country Risk Guide dari angka 48 ke 35.

Parameter tersebut memotret korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap impor-ekspor, serta hubungan mencurigakan antara pemerintah dan pebisnis.

"Investor berkualitas akan berpikir ulang untuk berinvestasi di negara yang belum punya tata kelola yang baik dan praktik korupsi yang tinggi," ujar Bivitri.

Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan konflik kepentingan telah mencapai tingkat darurat karena banyak pejabat tinggi pemerintah memiliki kepentingan bisnis.

"Benturan kepentingan sudah berkelindan. Mana penguasa, mana pengusaha, sudah enggak jelas. Kita bahkan sudah sampai pada satu titik yang SOS (darurat)," kata Faisal.

Faisal mencontohkan kehadiran sejumlah perusahaan pemurnian nikel di Sulawesi yang terkesan dilindungi pemerintah.

"Nikel tidak dikenakan pajak ekspor dan mereka (investor) boleh membawa pekerja asal negara mereka," ujar Faisal.

"Saya sepakat bahwa akibat penurunan IPK, maka yang datang low quality of investors. Mereka (investor) yang akan memilih keuntungan cepat, mengeruk secepat mungkin, lalu membawa pulang ke negara asalnya."

Menurut TII, sejak dimulai pada tahun 1995, IPK telah menjadi indikator global utama korupsi sektor publik.

Indeks menilai 180 negara dan teritori di seluruh dunia berdasarkan persepsi korupsi sektor publik, menggunakan data dari 13 sumber eksternal, termasuk Bank Dunia, Forum Ekonomi Dunia, risiko swasta dan perusahaan konsultan, wadah pemikir, dan lain-lain. Skor mencerminkan pandangan para ahli dan pebisnis.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.