Tantangan ekonomi membayangi perayaan 25 tahun referendum kemerdekaan Timor Leste
2024.08.28
Jakarta
Momen persiapan menjelang perayaan 25 tahun referendum Timor Leste untuk memillih merdeka dari Indonesia Jumat (30/8) ini dianggap oleh sebagian warga Timor Leste sebagai waktu yang tepat untuk merefleksi apakah kemerdekaan telah memperbaiki kehidupan mereka.
Perayaan selama tiga hari dari 28 hingga 30 Agustus dengan tema "Hari Rakyat Tercinta Timor Leste" harus dihadapkan dengan kenyataan pahit berupa kemiskinan yang meluas dan tantangan ekonomi yang berat.
Julio Tomas Pinto, mantan menteri pertahanan Timor Leste yang kini menjadi penasihat pemerintah, mengatakan kepada BenarNews bahwa pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja adalah tantangan terbesar bagi negara tersebut.
"Harapan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik sangat tinggi," katanya. "Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan demi memenuhi harapan tersebut."
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan sekitar 40% dari 1,3 juta penduduk Timor Leste masih hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga timbul pertanyaan apa yang sebenarnya didapatkan dari kemerdekaan dari penjajah, kata Maria Olandina Alves, duta besar Timor Leste untuk Vietnam dan mantan aktivis pro-kemerdekaan.
“Mimpi awalnya adalah membebaskan negara dan membebaskan rakyat,” katanya kepada RTTL, radio dan televisi nasional Timor Leste.
“Ya, negara kami sudah merdeka, kami punya bendera, lagu kebangsaan, empat badan kedaulatan... tapi pertanyaannya adalah, apakah rakyat ini benar-benar merdeka?”
Virgilio da Silva Guterres, Ombudsman Hak Asasi Manusia dan Keadilan Timor Leste, menyuarakan pandangan yang sama dengan Alves.
“Sudah 25 tahun... ini adalah hari untuk mengajukan pertanyaan introspektif,” kata Guterres kepada BenarNews. “Apakah kami telah membuktikan kepada rakyat kami bahwa kemerdekaan adalah pilihan terbaik... keputusan yang tepat?”
Untuk peringatan 25 tahun referendum pada Jumat, 30 Agustus, pemerintah telah menyusun serangkaian acara termasuk pameran, pertunjukan budaya, dan pidato dari pejabat penting seperti Sekretaris Jenderal PBB António Guterres.
Referendum bersejarah pada tahun 1999 di wilayah yang saat itu dikenal sebagai Timor Timur menjadi titik balik dalam perjuangan rakyat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri. Referendum ini mengakhiri pendudukan Indonesia yang brutal selama 24 tahun dan membuka jalan bagi Timor Leste untuk menjadi negara berdaulat pada tahun 2002. Dalam referendum tersebut, rakyat Timor Timur diminta untuk memilih antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan penuh. Mayoritas dari mereka memilih kemerdekaan.
Referendum berlangsung di tengah situasi penuh kekerasan dan intimidasi, dan milisi pro-Indonesia berusaha mengganggu prosesnya. Namun, walaupun ada ancaman, rakyat Timor dengan berani muncul dalam jumlah besar untuk memberikan suara mereka.
Sejumlah acara yang direncanakan pemerintah untuk peringatan 25 tahun referendum tersebut termasuk pameran, pertunjukan budaya, dan pidato dari tokoh-tokoh penting seperti Sekretaris Jenderal PBB António Guterres.
Pemerintah Timor Leste mengatakan bahwa inisiatif strategis mereka untuk tahun 2025 mencakup melanjutkan reformasi ekonomi dan fiskal, memperluas modernisasi infrastruktur, serta memperkuat kebijakan sosial.
Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), kurangnya pendapatan negara yang konsisten dan terbatasnya lapangan kerja di sektor formal membuat banyak warga bergantung pada pertanian subsisten.
Ketidakmampuan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja yang memadai semakin memperburuk masalah ini. Menurut UNDP, ada kebutuhan mendesak untuk diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di Timor Leste.
Namun, masih ada harapan. Proyeksi Bank Dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Timor Leste akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang, didorong oleh meredanya inflasi dan prospek fiskal yang stabil.
Pemerintah saat ini menyebut beberapa pencapaiannya di bidang-bidang seperti integrasi internasional, pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial selama tahun pertama memerintah.
Aksesi Timor-Leste ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan kemajuan menuju keanggotaan di Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) juga disebutkan oleh pemerintah sebagai pencapaian internasional.
Pemerintah Timor Leste menekankan komitmennya untuk pembangunan sosial, dengan meningkatkan pensiun sosial, penyesuaian tarif pajak, dan upaya untuk meningkatkan infrastruktur kesehatan serta akses ke obat-obatan.
Pembangunan infrastruktur tetap menjadi prioritas, antara dengan akan merenovasi Bandara Internasional Presiden Nicolau Lobato dan pemasangan kabel serat optik bawah laut yang menghubungkan Timor Leste ke Australia baru-baru ini.
Lembaga swadaya masyarakat setempat La’o Hamutuk mengkritik “kebijakan yang tidak penting” dalam laporan mereka yang dirilis bulan ini. Laporan tersebut menyebutkan aksesi Timor Leste ke WTO dan upaya yang terus dilakukan untuk menjadi anggota ASEAN sebagai hal yang tidak penting, dan mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut bisa merugikan ekonomi lokal.
“[P]rioritaskan masalah sosial dan promosikan ekonomi domestik,” desak mereka kepada pemerintah.
“Meski WTO mengatakan bahwa pasar bebas akan menguntungkan semua negara anggota, kenyataannya adalah bahwa perdagangan bebas hanya akan menguntungkan orang-orang kaya, negara besar, dan perusahaan besar yang telah mendominasi perdagangan dan investasi dunia,” tambahnya.
Laporan tersebut juga mengangkat kekhawatiran mengenai diversifikasi ekonomi dan keberlanjutan fiskal negara, khususnya menyoroti ketergantungan yang berlebihan pada Dana Minyak, yang akan membiayai sekitar 83% pengeluaran negara tahun ini.
Jika pemerintah tidak berinvestasi di sektor-sektor produktif yang dapat menopang ekonomi Timor Leste di masa depan, laporan tersebut mengatakan bahwa Timor Leste bisa menghadapi “jurang fiskal”, atau penurunan ekonomi yang tajam dan tiba-tiba.