Operasi Memburu Sisa Militan MIT di Poso Diperpanjang Lagi

Aktivis hak asasi manusia setempat mengatakan operasi lanjutan harus lebih berhati-hati, sehingga tidak ada lagi korban yang berjatuhan.
Keisyah Aprilia
2017.07.12
Palu
170712_ID_Tinombala_1000.jpg Personel TNI yang tergabung dalam Satgas Tinombala tiba di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Januari 2017.
Keisyah Aprilia/BeritaBenar

Operasi Tinombala untuk memburu tujuh sisa pengikut kelompok bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), diperpanjang lagi selama tiga bulan ke depan hingga 3 Oktober 2017.

Kapolda Sulteng, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi saat dikonfirmasi BeritaBenar di Palu, Rabu, 12 Juli 2017, mengatakan alasan dilanjutkan operasi untuk keenam kalinya itu karena masih ada terduga militan yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) belum tertangkap.

"Jadi sehari selesai (operasi sebelumnya) besok langsung dilanjutkan. Perpanjangan ini juga sesuai instruksi Bapak Kapolri," katanya seraya menyebutkan operasi tahap kelima berakhir pada 3 Juli lalu.

Dalam operasi lanjutan itu, tambahnya, seribuan personel Polri dan TNI tetap dilibatkan untuk mengejar tujuh anggota MIT, kelompok yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Seperti sebelumnya, operasi lanjutan juga menargetkan untuk menangkap hidup atau mati ketujuh DPO.

"Instruksi Bapak Kapolri seperti itu, ya harus kami lakukan. Kami sangat berkeyakinan mereka masih ada dan bersembunyi di hutan-hutan Poso," imbuh Rudy.

Selain itu, aparat keamanan akan berusaha menangkal pengaruh paham radikal kepada warga setempat.

"Personel juga melakukan pelbagai kegiatan sosial, termasuk sosialisasi akan bahayanya paham radikal kepada warga. Tujuannya untuk menangkal paham itu masuk ke desa," ungkap Rudy.

Pengurangan personel

Kepala Satuan Brimob Polda Sulteng, Kombes. Pol. Guruh Arif Darmawan, menyebutkan personel yang dilibatkan dalam Operasi Tinombala telah dikurangi secara bertahap dari 2.000-an ketika sebelum pimpinan MIT, Santoso alias Abu Wardah, tewas dalam kontak senjata dengan pasukan TNI pada 18 Juli 2016.

"Sekarang jumlah Polri dan TNI sekira seribuan dilibatkan," katanya kepada BeritaBenar.

Begitupun, lanjutnya, pengejaran tujuh DPO yang dilancarkan Satgas Tinombala tetap maksimal dalam tiga bulan ke depan.

Ketujuh buronan adalah Ali Muhammad alias Ali Kalora alias Ali Ambon dan Muhammad Faisal alias Namnung alias Kobar. Keduanya dari Poso. Selanjutnya Qatar alias Farel, Nae alias Galuh, Basir alias Romzi, Abu Alim, dan Kholid – berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat.

Selain penegakan hukum, pihaknya juga memfokuskan pada upaya penangkalan paham radikalisme di masyarakat.

"Jangan sampai kita kejar tujuh DPO, tetapi paham radikalisme masih tetap tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kita akan berusaha menghilangkan paham itu supaya tidak menular kepada yang lain," tegasnya.

Operasi dinilai gagal

Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Mohammad Afandi, menilai operasi di Poso seharusnya dihentikan sejak awal tahun 2017.

Pasalnya, kata dia, hingga kini seribuan aparat keamanan belum bisa menumpas DPO yang tersisa. Bahkan, pelbagai pola sudah dilakukan sampai pelibatan pasukan elit.

"Sekarang apa yang mau dilakukan, apa lagi targetnya masih sama dari operasi-operasi sebelumnya," katanya kepada BeritaBenar.

"Dua tahun setengah telah berlalu, sejak Operasi Camar, faktanya belum menyelesaikan persoalan yang ada di Poso."

Operasi Camar digelar pada 2015 untuk memburu militan MIT. Selama setahun operasi keamanan tersebut, tujuh anggota MIT tewas dan 31 orang lainnya ditangkap.

"Kalau aktivitas di Poso dikedepankan kegiatan sosial ketimbang perburuan, saya sangat setuju. Kalau sama seperti sebelumnya, dihentikan saja operasi karena operasi itu sudah gagal," ujar Afandi.

Ia menyambut baik upaya deradikalisasi dan antisipasi paham radikal yang digelar dari desa ke desa, dan berharap TNI dan Polri lebih mengedepankan kegiatan sosial daripada perburuan pengikut MIT sebab menurutnya, ujung-ujungnya, pasti menghilangkan nyawa, baik dari militan atau aparat keamanan.

Hal serupa disampaikan juga oleh Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Sulteng, Dedy Azkari.

"Kami tidak mau lagi mendengar ada korban jiwa di Poso. Apalagi Bapak Kapolda pernah bilang, tidak akan ada lagi pertumpahan darah di Poso. Mari kita lihat," katanya.

Dedy mengaku, tidak bisa berkomentar banyak terkait perpanjangan Operasi Tinombala karena hal itu sudah merupakan tugas negara yang diinstruksikan langsung oleh Kapolri, DPR, dan Presiden.

"Instruksinya jelas harus menumpas DPO yang tersisa di Poso. Kami sangat setuju, tapi alangkah tepatnya kalau tidak mengambil haknya untuk hidup dan biarkanlah mereka menjalani proses hukumnya," ujarnya.

Sejak Operasi Tinombala 2016 dilancarkan pada 10 Januari 2016, belasan pengikut MIT –termasuk enam etnis Uighur dan Santoso – tewas dan beberapa lainnya ditangkap.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.