Tito Karnavian Akui Polisi Masih Arogan
2016.10.11
Jakarta

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian mengakui bahwa reformasi di tubuh kepolisian belum berjalan dengan baik. Malah menurutnya, masih banyak aparat yang bersikap arogan, demikian disampaikan Tito dalam diskusi 100 Hari Kepemipinan Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2016.
"Kultur itu (arogan) masih banyak," tegasnya.
Tito mencontohkan insiden penyerbuan warga ke Markas Kepolisian Resor Meranti, Riau, pada Agustus lalu. Dia menilai, insiden ini tak akan terjadi kalau aparat tidak menonjolkan sikap arogansinya kepada masyarakat.
Insiden itu bermula dari tewasnya seorang warga bernama Apri Adi Pratama (24) usai ditangkap anggota tim Buru Sergap Polres Meranti. Apri ditangkap karena terlibat dalam keributan yang berujung tewasnya seorang polisi, Brigadir Adil S. Tambunan .
"(Apri) ditangkap sehat, sampai kantor polisi meninggal dunia. Sehingga akhirnya kantor polisi diserbu," jelas Tito.
"Jadi, dalam seratus hari saya menilai belum ada kemajuan dalam reformasi kepolisian. Kalaupun ada, itu baru terjadi di level manajerial. Di akar rumput belum sampai."
Reformasi dan perbaikan kinerja polisi memang menjadi visi utama Tito usai dilantik menjadi Kapolri menggantikan Badroddin Haiti, pada 13 Juli lalu.
Ketika melantik Tito, Presiden Joko “Jokowi” Widodo berharap Polri menjadi institusi yang dipercaya rakyat.
“Perkuat profesionalisme dalam penegakan hukum sehingga ada jaminan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat,” kata Jokowi ketika itu.
Dia juga minta pada Tito untuk fokus pada soliditas internal dan reformasi menyeluruh.
"Saya minta saudara untuk fokus pada dua hal. Pertama, jaga persatuan, kekompakan, soliditas internal Polri. Kedua, lakukan reformasi Polri secara menyeluruh dan konsisten," pesan Jokowi.
Terkait reformasi, Jokowi menginginkan agar dilakukan secara konkrit dan terlihat nyata dalam pelayanan kepada masyarakat.
"Perbaiki kualitas pelayanan pada masyarakat sehingga lebih mudah, sederhana, tidak berbelit-belit, bebas pungli, dan dengan prosedur yang jelas," ucap Presiden.
Praktik suap
Tito berhasrat mengubah persepsi negatif yang selama ini melekat ke polisi. Tak cuma persepsi soal kekerasan, namun juga praktik suap-menyuap.
Merujuk pada data indeks persepsi korupsi yang diterbitkan Transparency International Indonesia pada 2015 lalu, kepolisian memang dianggap sebagai institusi dengan potensi suap-menyuap terbesar, yaitu 44 persen.
Peluang suap-menyuap itu lebih tinggi dari Kejaksaan Agung dengan potensi 43 persen dan Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu 42 persen.
"Budaya koruptif, hedonis, kekerasan itu yang kami coba tekan," tegas Tito.
Berani terima kritik
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Dede Farhan Aulawi, mengatakan reformasi kepolisian yang digadang-gadangkan Tito memang ibarat pepatah masih "jauh panggang dari api”, selama menjelang 100 hari masa kerja menjabat sebagai Kapolri.
Selain budaya kekerasan yang masih seringkali terjadi, Dede juga menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas kepolisian.
Dia mengambil contoh kasus naik pangkatnya Raja Erizman, perwira tinggi kepolisian yang sempat tersangkut masalah hukum, menjadi Kepala Divisi Hukum Polri dengan pangkat inspektur jenderal.
Raja sebelumnya dinyatakan bersalah dalam kasus pembukaan blokir rekening berisi Rp 25 miliar milik terpidana kasus pajak Gayus Tambunan pada 2011. Ketika itu, Raja menjabat Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Akibat kasus itu, Raja sempat disidang etik dan profesi kepolisian. Ia dijatuhi sanksi berupa meminta maaf secara tertulis kepada institusi kepolisian dan dipindahtugaskan dari fungsi reserse.
"Padahal, jika ada yang rusak marwah polisi, cut-off saja. Kalau tidak, kepolisian tak akan pernah meraih kepercayaan publik," kata Dede seusai diskusi.
“Apalagi jika pernah terjerat masalah pidana. Tak cukup sidang etik dan disiplin saja. Biarkan pengadilan yang memutuskan, ia bersalah atau tidak,” tambahnya.
Pendapat sama disampaikan Direktur Imparsial, Al Araf, yang menyatakan transparansi dan akuntabilitas institusi kepolisian masih belum membaik di era kepemimpinan Tito.
Tak hanya itu, kata Al Araf, lemahnya transparansi dan akuntabilitas itu diperparah oleh sikap anti-kritik yang terkadang diperlihatkan kepolisian.
"Sikap kritis itu harusnya dipandang positif, bagian dari cinta publik pada polisi," kata Al Araf, "jangan justru malah meninggalkan masyarakat.”
Reformasi mulai berjalan
Pendapat berbeda diutarakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, yang menilai, kepolisian sudah tergolong terbuka atas masalah yang menjerat anggota mereka.
Ia mencontohkan respons Tito yang menginstruksikan agar tiga polisi yang tersangkut kerusuhan berujung pembakaran kantor Polres Meranti di Riau Agustus lalu, diproses hukum.
“Menurut saya, itu penanganan yang sangat berbeda dibanding sebelumnya,” kata Natalius, “Kapolri sangat responsif.”
Sedangkan Psikolog Politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menyebutkan Tito sudah membawa kepolisian berjalan ke arah pembenahan yang baik.
Hanya saja, kata Hamdi, perbaikan yang terjadi memang tak bisa diukur dalam waktu singkat, seperti seratus hari.
“Seperti yang dikatakan, itu (reformasi) bisa memakan waktu 30 tahun,” ujar Hamdi.
“Tapi yang terlihat, Tito sudah menyadari bahwa persepsi baik hanya bisa didapat lewat usaha keras, bukan hanya janji.”