TNI Siagakan 4 Kapal Perang Antisipasi Ketegangan di Laut Cina Selatan
2020.06.19
Jakarta
Indonesia menyiagakan empat kapal perang di sepanjang perairan Natuna untuk mengantisipasi peningkatan ketegangan di Laut Cina Selatan, demikian juru bicara Komando Armada TNI Angkatan Laut pada Jumat (19/6).
Kehadiran keempat kapal Republik Indonesia (KRI) sebagai bentuk kedaulatan dan melindungi kepentingan Indonesia di perairan yang jadi sengketa sejumlah negara tersebut, kata Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmada I TNI AL, Letkol Laut Fajar Tri Rohadi.
“Dalam hal ini Koarmada I terus menyiagakan unsur KRI di Natuna serta sebagai langkah antisipasi meluasnya dampak memanasnya tensi di Laut Cina Selatan,” kata Fajar dalam pernyataan kepada jurnalis.
Empat KRI yang disiagakan terdiri dari dua kapal perang jenis Fregat dan dua jenis Korvet. “Empat kapal anti-kapal selam, KRI Bung Tomo, Slamet Riyadi, Bontang dan Wiratno,” terang Fajar.
Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) I Laksamana Muda TNI Ahmadi Heri Purwono mengatakan, kesiagaan empat KRI di perairan Natuna adalah langkah yang sewajarnya diambil pemerintah karena sebagian wilayah perairannya berada di kawasan konflik.
Ahmadi menambahkan, kesiagaan TNI di Laut Natuna juga untuk mengantisipasi kemungkinan wilayah perairan itu menjadi daerah persembunyian atau pendaratan negara yang saat ini berkonflik.
“Tugas mereka (KRI) adalah melakukan penegakan kedaulatan hukum. Masih banyak kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah kedaulatan kita,” kata Ahmadi saat melakukan kunjungan kerja ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Jumat, dalam laporan AntaraNews.
“Kita punya hak kedaulatan dan hak berdaulat, kita harus mempertahankan wilayah kita jangan sampai diganggu negara asing,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri berkali-kali menegaskan bahwa Laut Natuna Utara tidak tumpang tindih dengan kawasan yang diklaim Cina sebagai miliknya.
Pada 26 Mei 2020, Kementerian Luar Negeri mengirimkan nota diplomatik kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres yang berisi penegasan kembali posisi Indonesia atas klaim Cina tersebut.
Cina membalas nota tersebut dengan menyebut kedua negara memiliki klaim tumpang tindih dalam hak dan kepentingan maritim di beberapa bagian Laut Cina Selatan, pada 2 Juni. Cina kemudian menyatakan bersedia menyelesaikan klaim melalui jalur negosiasi.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan Indonesia secara tegas menolak ajakan negosiasi tersebut melalui surat balasan yang dikirim 12 Juni 2020 kepada PBB.
“Posisi Indonesia sudah sangat jelas, pada dasarnya untuk menegaskan kembali konsistensi Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 bahwa tidak ada tumpang tindih (atas hak maritim) dengan Cina. Karena itu, tidak ada alasan untuk bernegosiasi,” kata Retno dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/6).
Tidak terpancing
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, menyatakan sudah sepatutnya Indonesia menyiapkan diri dari segala kemungkinan yang mungkin terjadi di Laut Cina Selatan.
“Jangan sampai kita lengah lalu jalur laut kita dimanfaatkan juga oleh pihak-pihak bersengketa itu,” kata Sukamta dalam diskusi daring, Kamis.
Kendati demikian, Sukamta meminta aparat keamanan yang bersiaga di perairan Natuna untuk tidak mudah terpancing sehingga bisa memunculkan ketegangan baru.
“Kita berharap Menteri Pertahanan memahami konstelasi ini dan kemudian menyiagakan seluruh perangkat pertahanan. Namun juga jangan sampai membuat panik dan justru memicu ketegangan baru,” katanya.
Juru Bicara Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar-Lembaga, Dahnil Anzar Simanjuntak, memastikan Indonesia tidak dalam posisi mendukung salah kubu yang berseteru di Laut Cina Selatan.
“Kalau sampai kemudian kita jadi proxy, maka kawasan kita akan jadi battle ground. Jadi kawasan perang,” katanya, dalam diskusi yang sama.
Sebaliknya, sambung Dahnil, Indonesia akan tetap berupaya membangun narasi perdamaian dan melakukan diplomasi pertahanan yang intensif dengan negara-negara yang terlibat perseteruan di kawasan.
Juli 2017, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memutuskan untuk mengubah nama sebagian Laut Cina Selatan yang berada di kawasan Natuna menjadi Laut Natuna Utara sebagai bentuk peringatan kepada Cina atas klaim mereka di laut yang kaya akan sumber daya alam itu.
Kepulauan Natuna, kumpulan dari 272 pulau kecil, adalah salah satu wilayah terluar Indonesia yang berbatasan dengan sembilan garis putus-putus yang diklaim Cina sebagai bagian dari teritorinya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina ketika itu, Geng Shuang, mengatakan perubahan nama tersebut sebagai langkah yang sama sekali tidak ada artinya bagi Beijing.
Perubahan nama ini dilakukan Indonesia menyusul langkah serupa yang sudah dilakukan lebih dulu oleh negara tetangga ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Filipina.
Sementara itu dari media Pusat Informasi TNI yang mengutip laporan dari Associated Press menyatakan bahwa tiga kapal induk Angkatan Laut AS - USS Ronald Reagan, USS Theodore Roosevelt dan USS Nimitz - telah dikerahkan di Samudra Pasifik untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir, seminggu belakangan ini.
Pengerahan tiga kapal induk AS tersebut terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika dengan Cina. Presiden AS, Donald Trump, yang dikritik di dalam negerinya sendiri sebagai gagal merespons COVID-19 sebaliknya menyalahkan Cina dalam merespons pandemi itu. Keberadaan kapal induk AS tersebut juga terjadi bertepatan dengan militarisasi Cina di wilayah pulau-pulau buatan Tiongkok di Laut Cina Selatan.