TNI Temukan Helikopter yang Hilang di Papua 7 Bulan Lalu

TNI enggan merespons klaim bahwa OPM berada dibalik jatuhnya heli itu, mengatakan masih fokus pada evakuasi.
Ronna Nirmala
2020.02.10
Jakarta
200210_ID_Papua_heli_1000.jpeg Foto udara lokasi jatuhnya Helikopter MI-17 milik TNI AD yang hilang kontak di Pegunungan Bintang, Papua, Senin (10/2/2020).
Dok. Pendam XVII/Cendrawasih

Tentara Nasional Indonesia (TNI), Senin (10/2/2020) mengatakan telah menemukan lokasi jatuhnya helikopter milik Angkatan Darat yang hilang tujuh bulan lalu dengan 12 orang penumpang dan awak di hutan Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.

“Betul, tadi saya melihat langsung lokasi puing dari ketinggian 12.500 kaki,” kata Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab, dalam rilis yang diterima BenarNews, Senin.

Bangkai helikopter Mil Mi-17 buatan Rusia yang jatuh pada tanggal 28 Juni 2019 dalam misi mendistribusikan logistik dan rotasi pasukan berada di Distrik Oksop, Oksibil, kata Herman. Heli dengan nomor registrasi HA-5138 itu sempat kontak saat terbang dari Bandara Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, ke Bandara Sentani Jayapura, Papua, sebelum kemudian kehilangan kontak. TNI ketika itu sudah mengerahkan berbagai cara untuk mencari keberadaan heli.

TNI mengatakan penyebab jatuhnya heli belum diketahui secara pasti, tapi tujuh awak pesawat dan 5 personel Satgas Yonif 725/Wrg yang berada diyakini telah tewas.

Pencarian helikopter tersebut kembali dilakukan setelah adanya laporan tentang ditemukannya bangkai heli di distrik itu, minggu lalu.

Pencarian melibatkan tim gabungan yang terdiri dari Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang, Constan Oktemka, dan Darem 172/PWY, Kol. Inf. Binsar Sianipar dengan menggunakan Heli AS 350 B2 milik Demonim Air.

Kendati lokasi telah ditemukan, Herman menyebut pihak Kodam belum bisa melakukan evakuasi lantaran posisi puing-puing berada pada tebing dengan sudut tajam.

“Selanjutnya kita akan fokus untuk melakukan kegiatan evakuasi terhadap korban. Evakuasi harus dipersiapkan dengan matang mengingat lokasi puing berada di tebing dengan sudut hampir 90 derajat,” kata Herman.

Dandim 1702 Jayawijaya Letkol Chandra Dianto menyebut proses evakuasi bisa berjalan lambat lantaran kondisi alam Pegunungan Bintang yang tidak mudah dijangkau oleh kendaraan darat maupun udara.

“Tim harus jalan memutari gunung untuk bisa naik ke Gunung Aproup, tidak bisa potong jalan, harus pakai alat yang lebih spesifik lagi” kata Chandra dikutip di Kompas.com.

Personel dari satuan Lanud Silas Papare, Kepolisian Daerah Papua, Kantor Badan SAR Nasional wilayah Papua dan Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang juga telah disiapkan sebagai antisipasi adanya evakuasi.

“Sebagai langkah proaktif guna mempersiapkan upaya evakuasi pada kesempatan pertama,” kata Wakapendam XVII Cenderawasih, Letkol Inf. Dax Sianturi.

Diklaim OPM

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Sisriadi, belum bisa memastikan penyebab jatuhnya helikopter. Sisriadi juga enggan mengomentari kabar yang menyebut Heli MI-17 jatuh karena ditembak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Kita fokus ke evakuasi prajurit yang gugur dulu. Untuk penyebab, nanti bisa diketahui kalau semua puing sudah dikumpulkan,” kata Sisriadi, Senin.

Beriringan dengan beredarnya foto-foto puing heli MI-17 yang beredar di media sosial, juru bicara TPNPB OPM Sebby Sambom merilis pernyataan yang mengklaim pihaknya bertanggung jawab atas jatuhnya helikopter milik TNI AD tersebut.

Bukan hanya itu, Sebby turut mengklaim telah mengambil alih semua senjata yang terdapat di dalam helikopter.

Sebby menyebut, helikopter jatuh akibat ditembak Komandan Batalyon Meme Nason Mimin.

Puing helikopter pertama kali ditemukan pada 4 Februari 2020 oleh Panglima Komando Daerah Pertahanan TPNPB Bridgen Lamek Alipky Taplo, demikian menurut Sebby.

“Helikopter MI-17 telah kami tembak jatuh dan dilakukan oleh Komandan Batalyon Meme Pasukan Salju atas nama Nason Mimin,” sebut Sebby dalam rilis TPNPB Ngalum Gupel, 5 Februari 2020.

Dengan direbutnya senjata-senjata tersebut, maka TPNPB OPM menyatakan siap melakukan perlawanan terhadap pasukan keamanan Indonesia. “Jika pasukan keamanan Indonesia datang ke daerah kami untuk mengambil senjata yang TPNPB OPM sudah rebut, maka kami siap lawan,” tukasnya.

Konflik antara separatis dan militer terus mewarnai Papua sejak wilayah itu bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1969. Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan sebagian warga Papua melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Organisasi HAM melihat militer dan juga OPM bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM di wilayah itu.

Pada Agustus – September 2019, demonstrasi yang berujung kekerasan kembali terjadi di sejumlah tempat di Papua yang mengakibatkan sedikitnya 40 orang tewas, dipicu oleh tindakan rasis oleh sejumlah ormas dan aparat kemanan terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.

Di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi”Widodo, pembangunan infrastruktur terus digenjot di wilayah yang kaya sumber daya alam namun penduduknya masih relatif miskin tersebut. Namun demikian keengganan pemerintah dalam merespons kasus pelanggaran HAM di wilayah itu telah memicu tuntutan atas referendum penentuan nasib sendiri bagi warga Papua.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.