Panglima TNI sebut kekerasan di Papua belum tahap darurat

Pengamat, aktivis desak pemerintah serius kurangi pasukan keamanan di wilayah yang terus bergejolak itu.
Arie Firdaus dan Dandy Koswaraputra
2022.12.20
Jakarta
Panglima TNI sebut kekerasan di Papua belum tahap darurat Pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Papua berdemonstrasi di depan Gedung PBB di Jakarta, 19 Desember 2022.
[Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

Panglima TNI yang baru saja dilantik, Laksamana Yudo Margono, mengatakan Selasa (20/12) bahwa gangguan keamanan yang saat ini terjadi di Papua belum masuk dalam kategori darurat, sehari setelah korban kembali jatuh dengan tewasnya satu warga dan delapan orang luka-luka termasuk polisi, di salah satu provinsi yang baru dimekarkan di wilayah itu.

Penduduk desa di Kabupaten Tolikara di Provinsi Papua Pegunungan - salah satu provinsi terbaru di Papua - menyerang kantor polisi pada Senin menyusul ditangkapnya dua warga yang mabuk dan menyerang petugas, sehingga petugas terpaksa melepaskan tembakan, demikian kata Kabid Humas Polda Papua Ahmad Musthofa Kamal.

"Saya kira sampai saat ini masih dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran hukum kriminal," kata Yudo saat serah terima tongkat komando Panglima TNI dari Jenderal Andika Perkasa di Mabes TNI di Jakarta, Selasa.

Dengan begitu, kata Yudo, posisi TNI hanyalah membantu, sementara wewenang penegakan hukum berada di tangan Kepolisian RI (Polri).

"Tapi nanti saya rapatkan dulu dengan komandan-komandan satuan. Tentunya keadaan darurat yang menentukan (dari) atas (Presiden Joko Widodo). Saya kira dengan eskalasi sekarang masih taraf kriminal," kata Yudo.

Kekerasan meningkat di Papua sejak 2018, ketika pemberontak separatis menyerang para pekerja konstruksi yang sedang membangun jalan dan jembatan di Kabupaten Nduga, menewaskan 20 orang, termasuk seorang anggota TNI,

Pada Senin, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pengurangan jumlah tentara di Papua merupakan hal bagus tapi meminta petugas keamanan untuk tegas melawan kelompok separatis agar konflik di wilayah paling timur Indonesia itu segara berakhir.

“Pendekatan humanis baik, pengurangan prajurit TNI di Papua juga baik. Tetapi memang harus tegas,” kata Jokowi usai melantik Yudo, Senin (12/19).

“Kalau kita nggak tegas di sana KKB selalu berbuat seperti itu, ya tidak akan selesai-selesai masalahnya,” ucap Jokowi merukuk pada Kelompok Kriminal Bersenjata, label yang diberikan pemerintah kepada para pejuang separatis.

Sementara itu, polisi mengatakan insiden hari Senin di Mapolres Tolikara terjadi setelah seorang pria dan seorang perempuan yang mabuk melakukan keributan dan memukul salah satu personel polisi di pos penjagaan.

“Tak berselang lama, pelaku kembali ke Mapolres Tolikara membawa puluhan orang, keluarga dan teman. Membawa senjata tajam, panah, dan batu. Mereka menyerang Mapolres,” kata Kamal.

Polisi kemudian melepaskan gas air mata dan tembakan peringatan, tapi tak digubris. Massa yang makin beringas memaksa masuk ke Mapolres sehingga petugas melakukan tindakan tegas terukur, kata dia.

“Satu orang meninggal dunia dalam perjalanan ke RSUD Wamena setelah dilakukan tindakan terukur, kata Kamal, menambahkan bahwa sejauh ini polisi menahan DK, pria yang melakukan pemukulan.

“(Total) korban luka delapan orang, lima di antaranya anggota polisi,” kata Kamal kepada BenarNews, Selasa.

“Basa-basi”

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka, Sebby Sambom menampik ucapan Jokowi soal pengurangan pasukan sebagai tidak serius.

“Pengurangan jumlah pasukan dan apa yang disebut pendekatan kemanusiaan hanyalah basa-basi. Buying time. Kami orang Papua sangat mengenal karakter pemerintah Indonesia; lain yang diucapkan, lain pula yang dilakukan,” kata Sambom kepada BenarNews.

Sambom tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar atas kekerasan yang terjadi hari Senin di Tolikara.

Kelompok aktivis menuduh aparat keamanan Indonesia dan pasukan separatis terlibat dalam tindak pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) di Papua.

Amnesty International mengatakan dalam sebuah laporan untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia bahwa 36 orang tewas di tangan pasukan keamanan dan pemberontak separatis di Papua, meningkat dari 28 orang pada tahun 2021.

“Dari kasus-kasus yang diduga dilakukan aparat keamanan, belum ada yang diadili di pengadilan umum,” kata Fauziah Mayangsari, peneliti Amnesti di Indonesia.

Enam tentara Indonesia telah ditangkap sehubungan dengan mutilasi empat warga sipil Papua pada Agustus di Kabupaten Mimika.

Awal bulan ini, Pengadilan Negeri Makassar memvonis tidak bersalah seorang pensiunan perwira TNI dalam kasus tewasnya empat remaja pengunjuk rasa di Kabupaten Paniai, Papua pada tahun 2014.

Sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah sponsor PBB pada tahun 1969 yang membawa Papua ke dalam kekuasaan Indonesia, gejolak terus terjadi di Bumi Cenderawasih antara pasukan keamanan Indonesia dan pejuang separatis. Pepera, oleh sebagian penduduk Papua dinilai manipulatif karena hanya melibatkan 1.000 warga yang sebelumnya telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Jakarta.

Evaluasi pendekatan keamanan

Profesor Riset bidang Tata Kelola Konflik Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Poltak Partogi Nainggolan meminta Jokowi untuk serius mempertimbangkan pengurangan personel tentara dan polisi di Papua.

“(Inisiatif) Pengurangan pasukan ini jadi catatan. Kalau ini bisa dibuktikan bagus,” ujar Poltak kepada BenarNews.

Poltak juga menuntut TNI untuk lebih mengedepankan penegakan hukum ketimbang aksi main tembak di Papua.

“Ajaklah mereka berdiskusi. Kalau namanya demokrasi, harus diajak duduk bersama. Tidak ada masalah. Apalagi kalau dalam pikiran kita, mereka tetap anak bangsa.”

Manajer Kampanye Amnesty Internasional Indonesia Nurina Savitri menilai segala bentuk kerusuhan di Papua buah dari pendekatan keamanan tanpa serius melakukan pendekatan humanis.

“Orang Asli Papua hidup dalam situasi kekerasan dan mengalami berbagai pembatasan aktivitas dalam ranah publik maupun privat akibat meningkatnya kehadiran pasukan keamanan Indonesia,” kata Nurina kepada BenarNews, merujuk pada hasil penelitian organisasi itu.

Pemerintah harus mampu melihat segala persoalan di Papua dari perspektif masyarakat asli di mana kehadiran aparat dengan pendekatan keamanannya memunculkan trauma, kata Nurina. 

“Kalau kita memakai kacamata nasionalisme yang sempit, tentu persoalan ini akan berkutat di urusan keamanan dan kedaulatan tanpa melihat fakta bahwa persoalan ini sejatinya persoalan kemanusiaan,” kata dia.

Jika pemerintah Indonesia memang berkeinginan untuk menyelesaikan kekerasan di Papua, pendekatan keamanan seharusnya dievaluasi betul-betul, tambah Nurina.

“Ini kan pemerintah sepertinya bertindak tanpa mendengar apa yang dirasakan orang Papua, tanpa mendengar realitas di lapangan. Akibatnya, ketidakpercayaan antara kedua belah pihak semakin runcing, kekerasan tidak berhenti,” kata Nurina.

Pizaro Gozali Idrus di Jakarta dan Victor Mambor di Jayapura berkontribusi dalam laporan ini.

 

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.