Aktivis HAM Khawatirkan Rencana TNI Bentuk Komando Operasi Khusus Antiteror

Militer Indonesia ajukan Rp1,5 triliun untuk pembentukan Koopsus.
Ahmad Syamsudin
2018.09.13
Jakarta
180913_ID_TNI_1000.jpg Anggota TNI melakukan pelatihan penanggulangan terorisme di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta, menjelang kunjungan Presiden AS Barack Obama, 13 Maret 2010.
AP

Pangajuan anggaran oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada pemerintah untuk pembentukan komando operasi khusus antiteror dipertanyakan karena perluasan peran militer ini dikhawatirkan bisa berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) demikian kata sejumlah aktivis dan pengamat.

TNI berencana menghidupkan kembali unit khusus yang dikerahkan tiga tahun lalu untuk memerangi kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur di hutan-hutan di Sulawesi Tengah, namun masih menunggu Kementerian Pertahanan menyusun Keputusan Presiden (Kepres) yang diperlukan untuk otorisasi, kata pihak berwenang.

Tapi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengatakan perlu ada debat publik sebelum presiden mengeluarkan keputusan tentang peran militer dalam memerangi terorisme.

“Berapa skala keterlibatannya? Untuk jenis ancaman apa? Dan bagaimana kerangka waktunya?” kata Muhammad Choirul Anam, anggota Komnas HAM kepada BeritaBenar.

"Itu adalah hal-hal yang harus diklarifikasi sehingga perang melawan terorisme sejalan dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia."

Komado tersebut, yang terdiri dari anggota elit sejumlah unit dari berbagai angkatan di TNI akan diberi nama Komando Operasi Khusus, atau Koopsus –dan misinya adalah untuk memberantas teroris.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan TNI telah mengajukan 1,5 triliun rupiah (US $ 101,6 juta) dalam anggaran pemerintah untuk pembentukan Koopsus.

Dana tersebut, yang merupakan bagian dari anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk tahun 2019, akan digunakan untuk membangun infrastruktur, pengadaan senjata dan peralatan lain untuk Koopsus, kata Hadi.

“Komando operasi khusus berbeda dari komado lainnya. Mereka membutuhkan peralatan khusus,” ujar Hadi kepada wartawan di Jakarta pekan lalu.

UU yang semakin keras

Kemhan masih menyusun Kepres yang akan memperjelas perluasan peran militer dalam penanggulangan terorisme, demikian kata seorang pejabat dari kementerian tersebut yang tidak mau disebutkan identitasnya, tanpa menjelaskan secara rinci.

Kemunculan kembali unit operasi khusu tersebut diamanatkan oleh undang-undang antiterorisme yang baru yang disahkan pada 25 Mei, yang didalamnya menegaskan peran militer dalam operasi pemberantasan terorisme di dalam negeri.

Hingga saat ini, unit khusus kepolisian Detasemen Khusus 88 (Densus 88) telah menjadi unit utama negara dalam mengejar teroris.

Pengesahan UU Antiterorisme tersebut dipicu oleh serangkaian aksi teros yang mematikan pada bulan Mei. Termasuk di dalamnya adalah kerusuhan di penjara Mako Brimob di Depok, Jawa Barat, dan serangkaian pemboman bunuh diri di tiga gereja dan sebuah markas polisi di Surabaya.

Pihak berwenang menyalahkan aksi terorisme tersebut pada kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), jaringan lokal militan Indonesia yang berafiliasi dengan kelompok ekstrimis yang dikenal sebagai Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Hari Kamis (13/9), Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis 11 tahun penjara kepada Wawan Kurniawan alias Abu Afif (43), seorang pemimpin JAD wilayah Riau, atas keterlibatannya dalam pelatihan paramiliter untuk rencana aksi terorisme menyerang kantor polisi di Riau, demikian kata pejabat.

Wawan juga diyakini terlibat dalam serangan di Mako Brimob tersebut, walaupun hal itu tidak termasuk dalam dakwaannya dalam sidang peradilannya pada Kamis.

Akan diatur Kepres

Ketika UU Antiteror diresmikan, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengatakan tidak boleh ada keraguan dalam memberikan peran terhadap militer dalam memerangi terorisme

“Selanjutnya, akan diatur dalam Keputusan Presiden,” kata Jokowi kemudian.

Menanggapi kekhawatiran yang diajukan oleh aktivis HAM tentang potensi pelanggaran dengan diberikannya peran yang lebih besar terhadap TNI tersebut,  Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mengatakan peran militer itu akan diatur melalui Kepres.

Sejak tahun 2015, pasukan komando TNI terlibat dalam upaya memburu anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kelompok militan yang telah beafiliasi dengan ISIS. Pemimpin MIT, Santoso - merupakan militan nomor 1 di Indonesia yang paling dicari hingga dia terbunuh dalam baku tembak dengan pihak keamanan pada bulan Juli 2016.

Namun, Jenderal Gatot Nurmantyo – panglima TNI sebelum Hadi Tjahjanto menonaktifkan unit khusus tersebut pada Juli 2015, di tengah kritik tidak adanya dasar hukum atas keterlibatan militer dalam kontra-terorisme.

Selama proses revisi UU Antiterorisme, para aktivis menyatakan kekhawatiran bahwa peran domestik baru bagi militer dapat membawa kembali peran keamanan internal dan kadang-kadang represif yang dimainkannya selama 32 tahun kediktatoran Presiden Soeharto.

Dalam undang-undang baru tersebut, keterlibatan TNI dalam kontra-terorisme termasuk dalam kategori “operasi militer selain perang,”dimana rinciannya dijabarkan dalam Kepres.

Tetap menentang

Akivis HAM tetap memperinigatkan pemerintah untuk tidak memberikan peran penegakan hukum di tangan militer.

"Setiap peraturan presiden tentang peran TNI dalam kontra-terorisme harus secara eksplisit menyatakan bahwa setiap keterlibatan militer harus merupakan tambahan bagi polisi," kata Al Araf, direktur organisasi perlindungan HAM, Imparsial

“Terorisme adalah masalah penegakan hukum, bukan masalah militer. Di negara-negara maju di mana serangan teroris terjadi baru-baru ini, ini tetap merupakan masalah,” kata Al Araf kepada BeritaBenar.

Sejak Presiden Jokowi berkuasa pada Oktober 2014, militer telah diberi peran lebih besar dalam masalah-masalah sipil, termasuk keterlibatan dalam perang terhadap narkoba dan penempatan TNI di tingkat desa, kata Araf mencatat.

Tentara juga telah dikerahkan untuk mendukung program pemerintah untuk menciptakan lebih banyak sawah, sebagai bagian dari upaya swasembada pangan, sebuah langkah yang mengingatkan kembali ke era Suharto.

Connie Rahakundini, seorang analis militer dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa angkatan bersenjata seharusnya berfokus pada ancaman terorisme yang datang dari luar negeri.

Ia menyarankan patroli laut dan udara terkoordinasi yang melibatkan Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk memerangi terorisme harus diperluas untuk mencakup semua negara anggota ASEAN.

“TNI harus lebih melihat ke luar sejalan dengan ambisi Indonesia untuk menjadi titik tumpuan maritim global,” katanya kepada BeritaBenar.

"Lebih baik memusatkan sumber dayanya pada ancaman dari luar negeri, karena wilayah ini menghadapi ancaman terorisme dan ekstremisme."

Arie Firdaus di Jakarta turut berkontribusi dalam artuikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.