TNI Evaluasi Strategi di Papua Pasca-Kematian Sejumlah Prajuritnya di Tangan Separatis
2022.01.28
Jakarta
Pemerintah mengatakan panglima militer akan mengevaluasi operasi keamanan di Papua menyusul serangan kelompok separatis bersenjata yang menewaskan tiga prajurit pada pekan ini, di tengah perubahan pendekatan tentara dari ofensif menjadi defensif, demikian Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD pada Jumat (28/1).
Pada Kamis malam, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa tiba di Papua untuk melayat tiga prajuritnya yang tewas dan menemui satu lainnya yang berada dalam kondisi kritis pasca-serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), sayap militer kelompok separatis di Papua, di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak.
“Sekarang TNI itu bersifat defensif tidak ofensif, tapi satu kemajuan yang harus kita pelihara yaitu tidak ada korban masyarakat atau warga sipil sejak ada pendekatan baru. Sasarannya memang kalau ndak ke TNI ya ke Polri, ke aparat,” kata Mahfud dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (28/1).
Mahfud tidak mengatakan sejak kapan perubahan pendekatan militer diberlakukan. Ia hanya menekankan cara itu diambil demi meminimalisir jatuhnya korban sipil di provinsi paling berkonflik di Indonesia itu.
“Nah, sekarang bagaimana cara intensif dengan pendekatan baru itulah yang menurut Pak Panglima tadi akan segera dievaluasi dan disempurnakan,” kata Mahfud.
Sementara itu, Panglima Andika mengatakan ketiga prajuritnya diserang oleh “oknum masyarakat” saat sedang melaksanakan tugas harian.
"Intinya, tidak sedikit pun ada usaha provokasi dari pihak TNI. Tidak ada," kata Andika dalam keterangan pers di Mimika, Papua.
Andika menambahkan, kejadian itu perlu dijadikan sebagai bentuk evaluasi internal instansi militer tentang apa yang harus dilakukan para prajurit ke depannya, khususnya yang bertugas di Papua.
"Jadi, menyangkut tentang apa langkah selanjutnya, sudah saya lakukan untuk kesekian kalinya, tapi semakin detail, semakin menggunakan dua insiden terakhir sebagai bahan evaluasi. Untuk penambahan pasukan tidak ada, tetap menggunakan mereka yang bertugas disana untuk melakukan tugas-tugas Kodim dan Koramil," katanya.
Pada Kamis, anggota TPNPB-OPM menyerbu Pos TNI di Bukit Tepuk, Distrik Gome, Ilaga. Serda Rizal Maulana Arifin (24) dan Pratu Tupel Alomoan Baraza meninggal dalam serangan pertama pada Kamis pagi, kala pergantian waktu jaga.
Baku tembak pecah tak lama usai penyerbuan itu dan kembali menewaskan Pratu Rahman Tomilawa (24) serta melukai Pratu Syaiful. Setelah persemayaman jenazah di Kabupaten Mimika, ketiga jenazah saat ini telah diterbangkan ke kampung halaman masing-masing untuk dikebumikan.
Andika berjanji pihaknya akan memburu pelaku penyerangan.
"Para pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kami sudah memiliki beberapa nama pelaku penembakan dan akan dikejar," katanya.
Merespons pernyataan Panglima TNI, Juru bicara TPNPB Sebby Sambom kepada BenarNews mengaku tidak gentar dengan mengatakan, "TPNPB tidak akan takut dengan pasukan teroris yakni TNI/Polri."
Pada April tahun lalu, setelah sejumlah korban jatuh baik dari kalangan sipil dan aparat keamanan dan puncaknya meninggalnya Kepala Badan Intelejen Negara untuk wilayah Papua di tangan TPNPB, pemerintah pusat menyatakan kelompok separatis bersenjata di Papua sebagai teroris dan harus dibasmi.
"Kami tinggal di tanah adat kami. Justru TNI yang datang ke Papua untuk meneror orang asli Papua," kata Sebby.
Pasukan gabungan TNI/Polri hingga kini masih menjalankan kegiatan keamanan bertajuk Operasi Damai Cartenz di Papua, yang dimulai sejak 17 Januari kemarin hingga 31 Desember mendatang. TNI menerjunkan 101 personel, sementara Polri sebanyak 1.924 orang, yang terdiri dari 1.296 personel Mabes Polri dan sisanya dari Kepolisian Daerah Papua.
Kepolisian Daerah Papua pada akhir 2021, menyatakan bahwa kasus penembakan melibatkan kelompok separatis bersenjata meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Jika pada 2020 tercatat 49 penembakan, pada 2021 naik menjadi 92 kasus. Dari total 92 kasus itu, 15 orang di antaranya anggota TNI/Polri, 18 warga sipil, dan sisanya diduga dari kelompok separatis bersenjata.
Tidak ada konflik SARA
Menkopolhukam Mahfud menambahkan, pemerintah terus berupaya mencari solusi damai atas beragam konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua dalam beberapa waktu terakhir.
Selain serangan kelompok separatis bersenjata, di Papua dan Papua Barat juga terjadi konflik antarwarga yang turut menimbulkan korban jiwa dan kerusakan ruang publik.
Pada insiden terbaru, 18 orang meninggal dunia usai bentrok antara dua kelompok warga asal Maluku di Sorong, Papua Barat. Satu korban meninggal dunia akibat penganiayaan, sementara 17 lainnya karena terjebak di dalam Double O Karaoke & Club yang disinyalir sebagai buntut dari kesalahpahaman dua kelompok itu.
Dua pekan sebelumnya juga terjadi bentrok antarsuku di Kabupaten Jayawijaya, Papua, yang menewaskan dua warga serta melukai 22 lainnya, dan 34 rumah habis terbakar.
Bentrokan antara warga Nduga dan Lanny Jaya itu diduga dipicu oleh pembunuhan seorang warga Nduga bernama Sibelu Gwijangge oleh sekelompok warga Lanny Jaya.
Aksi balas dendam atas pembunuhan tersebut meluas menjadi pertikaian dua kelompok dengan menggunakan alat perang tradisional dan pembakaran rumah warga pada 8 Januari 2021. Pada insiden itu, seorang warga Nduga bernama Luok Heluka dilaporkan meninggal dunia karena tembakan panah.
Mahfud memastikan rentetan kejadian itu tidak berhubungan dengan persoalan suku, ras, agama, dan antaragama (SARA). Insiden di tempat hiburan terjadi karena berselisih paham yang berujung keributan, sementara insiden di Nduga terjadi karena persoalan perebutan lahan.
“Mohon jangan dikembang-kembangkan, tidak ada motif SARA,” kata Mahfud.
Terkait persoalan perebutan lahan, pihaknya berjanji pemerintah akan segera mencari penyelesaian agar masyarakat adat segera mendapatkan kepastian hukum terkait kepemilikan tanah.
“Bagaimana membangun kepastian hukum pertanahan di Papua dan di Maluku, karena itu selalu menjadi masalah laten dari waktu ke waktu. Nah, itu yang akan kami lakukan,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, pada tahun lalu, mengatakan konflik berkepanjangan yang terus terjadi sejak 1963 disebabkan oleh perampasan tanah masyarakat adat oleh pihak berkepentingan.
“Semuanya ini ada kaitannya dengan perampasan-perampasan tanah dan sumber daya alam masyarakat adat Papua. Kalau ditinjau lebih dalam, ini kan bermuara pada perebutan tanah yang menghasilkan pundi-pundi uang untuk negara dan investor,” kata Gobay.
Pasukan Indonesia menginvasi Papua pada tahun 1963, untuk merebut wilayah kaya sumber daya alam itu dari tangan Belanda.
Papua kemudian menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1969, setelah pemungutan suara atau “Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)” yang difasilitasi PBB. Namun, sejumlah aktivis dan masyarakat menilai proses pemungutan suara itu manipulatif. Sejarah itu meninggalkan konflik yang berkepanjangan hingga saat ini.