TNI Investigasi Dugaan Tewasnya Seorang Remaja Papua di Tangan Tentara

Amnesty International: 5 warga terbunuh di tangan aparat dalam 2 bulan terakhir di Papua.
Ronna Nirmala
2020.07.29
Jakarta
200729_ID_Papua_1000.jpg Dalam foto tertanggal 6 Maret 2020 ini, dikawal aparat keamanan, warga menaiki bus meninggalkan kampung halaman mereka setelah terjadi bentrokan bersenjata antara militer Indonesia dengan kelompok separatis di Tembagapura, Papua.
AP

Tentara Nasional Indonesia (TNI), Rabu (29/7), mengatakan sedang melakukan investigasi internal terkait kasus dugaan tentara yang melakukan pengeroyokan hingga meninggalnya seorang remaja Papua yang dituduh mencuri, di Kabupaten Boven Digoel, Papua, pada pekan lalu.

Juru bicara Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III TNI, Nyoman Gede Suriastawa, mengatakan Kodam XVII/Cenderawasih masih melakukan investigasi internal terhadap insiden tewasnya remaja tersebut, Oktavianus Betera (18), pada Jumat (24/7).

“Hasilnya akan digunakan pimpinan untuk mengambil keputusan terhadap yang bersangkutan,” kata Suriastawa kepada BenarNews, merujuk pada oknum tentara yang diduga terlibat dalam kekerasan yang menyebabkan tewasnya warga sipil tersebut.

Suriastawa enggan menyebut ada berapa anggota militer yang saat ini tengah diselidiki Kodam Cenderawasih maupun mengungkapkan kronologi kejadian.

Respons tidak jauh berbeda juga disampaikan Kepala Penerangan Kodam, Reza Nur Patria, perihal desakan investigasi terbuka tersebut. “Nanti akan saya kirimkan info lebih lanjut,” jawabnya singkat ketika dihubungi.

Tanggapan TNI tersebut menjawab desakan kelompok hak asasi manusia agar otoritas berwenang menggelar investigasi independen dan transparan atas insiden yang menurut Amnesty Internasional Indonesia, merupakan kasus kelima terkait terbunuhnya warga sipil dalam dua bulan terakahir di Bumi Cenderawasih itu.

“Jelas ini semua patut disesalkan. Ini menunjukkan negara tidak serius dalam mencegah maupun menindak tindakan represif aparat yang melanggar hukum di Papua. Akibatnya, terus berulang,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Rabu (29/7)

Berdasarkan informasi yang diterima Amnesty Internasional dari pemuka agama setempat, Oktavianus meninggal dunia setelah dikeroyok sejumlah oknum TNI Kostrad dari Satgas Pamtas 561 Cakara Yudha, di Desa Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua.

Pengeroyokan berawal dari aduan seorang pemilik kios di Asiki yang sebelumnya terlibat adu mulut dengan Oktavianus yang dituding telah mencuri sesuatu dari warung tersebut.

Tak berselang lama, aparat mendatangi kios tersebut dan langsung mengeroyok Oktavianus hingga meninggal dunia.

“Sumber Amnesty di Papua mengatakan bahwa pihak TNI awalnya langsung memasukkan jenazah Oktavianus ke peti mati kemudian dipaku sehingga menyulitkan keluarga korban untuk melihat jenazahnya,” kata Usman, seraya menambahkan bahwa berdasarkan hasil visum juga ditemukan lebam bekas penganiayaan.

Keluarga, sambung Amnesty, baru bisa melihat jenazah korban setelah adanya desakan dari pemuka agama. Kendati demikian, pengamanan ketat dari aparat TNI tetap diberlakukan hingga proses pemakaman Oktavianus.

“Kami mendesak otoritas berwenang untuk melakukan investigasi independen dan transparan terkait kasus ini dalam ranah hukum pidana. Tidak hanya sanksi internal kepada pelaku,” tambahnya.

Insiden kelima

Amnesty menyerukan agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga ikut melakukan penyelidikan atas sejumlah insiden kelima dalam dua bulan terakhir di Tanah Papua.

Sebelumnya, Marius Betera (40), seorang petani di kawasan sawit milik Korindo Group di Desa Asiki, Boven Digoel, juga tewas setelah bertikai dengan polisi yang bertugas menjaga perkebunan pada 16 Mei.

Hasil investigasi Komnas HAM Papua menyebutkan adanya kekerasan berlebihan yang dilakukan anggota kepolisian berinisial MY, namun kematiannya tidak terkait dengan Korindo Group seperti yang dicurigai banyak pihak.

“Kita melihat ini tindakan berlebihan oleh oknum polisi. Maka dalam poin temuan kami menyebutkan ada tindakan kekerasan yg berlebihan. Walaupun dia memegang busur tapi korban tidak melontarkan ancaman,” kata Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey.

Komnas HAM meminta Kapolda Papua untuk memproses hukum anggota polisi yang terbukti melakukan kekerasan fisik hingga berujung kematian. Menurut Frits, saat ini oknum polisi MY masih menjalankan pemeriksaan di Mapolres Boven Digoel.

Pada bulan yang sama, Justinus Silas Dimara (35) meninggal di Jayapura pada 25 Mei karena semprotan water cannon oleh kepolisian dalam rangka pembubaran masa untuk mencegah penularan COVID-19.

Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Musthofa Kamal, melalui rilis persnya menjelaskan Justinus yang dalam pengaruh miras, bersama sejumlah orang enggan meninggalkan lokasi kejadian sehingga dibubarkan dengan water cannon.

Dari hasil pemeriksaan oleh pihak rumah sakit, korban meninggal dunia akibat benturan pada bagian kepala, mengalami pendarahan pada telinga kanan dan hidung bagian kiri serta dalam keadaan kondisi mabuk berat akibat konsumsi miras.

Kemudian pada 11 Mei, Sularso (42) meninggal dunia karena ditikam anggota TNI di Wamena, Jayawijaya. Kodam XVII/Cenderawasih ketika itu menyebut insiden dipicu akibat ketersinggungan dan pemukulan yang dilakukan korban terhadap pelaku. Baik pelaku maupun korban, diduga juga di dalam pengaruh minuman keras.

Adapun insiden lainnya terjadi pada ayah-anak bernama Elias Karunggu dan Seru Karunggu yang meninggal dunia karena tembakan aparat TNI saat hendak kembali ke kampung asalnya di Kabupaten Nduga pada 20 Juli.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporan yang dirilis awal Juli menyebut tidak ada kasus kekerasan dengan terduga pelaku anggota kepolisian yang berakhir di meja hijau dalam satu tahun terakhir di Tanah Air.

KontraS menyebut kekerasan dengan senjata api menjadi isu kekerasan yang paling identik dengan Polri. Selama periode waktu tersebut, terdapat 287 korban tewas dan 683 orang luka-luka akibat penggunaan senjata api.

“Kami memandang Polri masih belum secara ketat mengimplementasikan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang mengatur mengenai tahapan penggunaan kekuatan dalam setiap situasi,” ucap Kepala Biro Riset Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar, dalam keterangannya.

Sejak Papua bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, konflik antara separatis dan militer, dan pelanggaran HAM terus mewarnai Papua. Aktivis HAM dan sebagian warga melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Organisasi HAM menilai militer dan juga kelompok separatis bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM di wilayah itu.

Di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi”Widodo, pembangunan infrastruktur terus digenjot di wilayah yang kaya sumber daya alam namun penduduknya masih relatif miskin tersebut. Walau demikian, keengganan pemerintah dalam merespons kasus pelanggaran HAM di wilayah itu telah memicu tuntutan atas referendum penentuan nasib sendiri bagi warga Papua.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.