TNI: Kelompok Separatis Bunuh Warga Sipil di Papua

Organisasi Papua Merdeka balik menuduh aparat keamanan berada dibalik penembakan itu.
Ronna Nirmala
2020.06.01
Jakarta
200601_ID_Papua_1000.jpg Warga Papua naik ke bus untuk dievakuasi, setelah sebelumnya terjadi bentrokan antara pasukan keamanan dan kelompok separatis di Mimika, Papua.
Reuters

Kelompok separatis menembak mati seorang petani di Papua dalam pembunuhan ketiga terhadap warga sipil dalam di provinsi paling timur itu dua pekan terakhir, demikian juru bicara militer pada Senin (1/6), namun Organisasi Papua Merdeka balik menuduh aparat keamanan berada dibalik penembakan itu.

Yunus Sani (40) ditembak pada Jumat (29/5) di Kampung Megataga, Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, kata Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel CPL Eko Daryanto.

“Kabar penembakan diperoleh dari salah seorang Pastor Gereja Kampung Mbegulo, Niko Wakey,” kata Eko, dalam keterangan tertulis yang diterima BenarNews, Senin.

Eko menjelaskan, Pendeta Niko awalnya mendengar bunyi tembakan kurang lebih sebanyak 8 kali saat hendak melintasi Kampung Megataga. “Setelah bunyi tembakan reda, Bapak Niko melihat KKSB turun dari Kampung Megataga,” kata Eko.

KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata) adalah sebutan aparat keamanan untuk Organisasi Papua Merdeka, yang berjuang untuk melepaskan Papua dari Indonesia.

Tak lama kemudian, sambung Eko, Pendeta Niko menemukan jenazah Eko dengan bagian tubuh yang tak lagi utuh di dalam sebuah karung.

“Ini sangat biadab, tidak benar. Apapun alasan mereka, tidak dibenarkan tindakan penembakan dan mutilasi warga sipil di Papua,” kata Eko.

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, menolak tuduhan pembunuhan warga asli Papua di Kampung Megataga tersebut dan menuduh balik aparat keamanan Indonesia sebagai pelaku penembakan.

“Semua pembunuhan warga sipil, orang asli Papua, di Intan Jaya dan di seluruh Tanah Papua pelakunya adalah anggota TNI/Polri sendiri,” kata Sebby.

“Jadi semua itu adalah skenario militer dan polisi Indonesia di Papua untuk memojokkan perjuangan murni TPNPB-OPM,” tambahnya.

Sementara itu, Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, Ahmad Musthofa Kamal, menolak memberikan keterangan lebih lanjut perihal penembakan itu dan mengatakan  Kapolda Irjen Paulus Waterpauw akan memberikan pernyataan Selasa.

Dua insiden sebelumnya

Sepekan sebelum insiden pembunuhan petani Yunus di Intan Jaya, dua warga sipil tewas ditembak dalam penyerangan yang menurut kepolisian Papua dilakukan oleh kelompok separatis.

Insiden pertama terjadi pada tanggal 21 Mei, saat kelompok separatis Papua menembak seorang warga sipil bernama Sakeus (35) di Distrik Tembagapura, dekat area pertambangan emas dan tembaga milik PT Freeport Indonesia di Mimika.

TPNPB-OPM mengakui kelompoknya melakukan penembakan yang menyebabkan kematian tersebut. Namun, Sebby menyatakan bahwa sasaran tembak kelompoknya tersebut bukan warga sipil melainkan intel pasukan keamanan Indonesia.

“(Korban tewas) Dia itu anggota TNI/Polri orang asli Papua yang ditembak TPNPB-OPM,” kata Sebby.

Sehari kemudian, dua tenaga medis tim Gugus Tugas COVID-19, Alamanek Bagau dan Koni Somou, menjadi korban penembakan saat tengah mengantar obat-obatan di sekitar Distrik Windai, Kabupaten Intan Jaya, Papua, sebut keterangan Polda Papua.

Koni Somou meninggal dunia di tempat, sementara Alemanek Bagau masih menjalani perawatan intensif di RSUD Nabire, Papua, kata Kadiv Humas Polda Papua Kamal.

Sebby menolak tuduhan aparat keamanan terkait penyerangan terhadap dua pria asli Papua tersebut. Menurutnya, aparat TNI/Polri hanya mau mengkambing-hitamkan TPNPB-OPM di Papua. “TPNPB tidak pernah tembak orang asli Papua,” tukasnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua meminta aparat keamanan Papua untuk melakukan penyelidikan secara mendalam atas kejadian penembakan yang menimpa tenaga medis tersebut.

“Melakukan penyelidikan secara mendalam atas peristiwa di Wandai, Kabupaten Intan Jaya dan diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku,” kata Plh Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Melchior S Weruin dalam keterangan persnya, akhir pekan lalu.

Sejak Papua bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, konflik antara separatis dan militer terus mewarnai Papua. Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan sebagian warga melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Organisasi HAM menilai militer dan juga kelompok separatis bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM di wilayah itu.

Di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pembangunan infrastruktur terus digenjot di wilayah yang kaya sumber daya alam namun penduduknya masih relatif miskin tersebut. Namun demikian, keengganan pemerintah dalam merespons kasus pelanggaran HAM di wilayah itu telah memicu tuntutan atas referendum penentuan nasib sendiri bagi warga Papua.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.