TNI selidiki validitas video penganiayaan warga Papua secara brutal oleh terduga militer

Jika itu terbukti, ini akan memperpanjang tuduhan kekerasan aparat di Papua.
Victor Mambor dan Dandy Koswaraputra
2024.03.22
Jayapura dan Jakarta
TNI selidiki validitas video penganiayaan warga Papua secara brutal oleh terduga militer Seorang warga Papua dalam pakaian tradisional dan wajah dicat warna bendera Bintang Kejora, yang dilarang di Indonesia, berdiri membelakangi seorang polisi dalam demonstrasi menuntut referendum kemerdekaan Papua di Yogyakarta, 1 Desember 2023.
Devi Rahman/AFP

Pejabat militer Indonesia pada Jumat (22/3) menyatakan pihaknya sedang menyelidiki validitas video penganiayan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diduga anggota TNI terhadap seorang laki-laki yang diyakini sebagai penduduk asli Papua, yang beredar viral.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut seraya menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan penyelidikan terhadap kasus itu dan mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan.

Video berdurasi 16 dan 29 detik yang beredar luas melalui media sosial tersebut menggambarkan sekelompok orang - beberapa mengenakan celana loreng - menyiksa seorang laki-laki yang direndam dalam drum besar berisi air dengan memukul serta mengiris punggung orang tersebut dengan bayonet.

Pihak TNI sedang menyelidiki kapan dua video itu diunggah pertama kali, pihak mana yang melakukannya dan untuk tujuan apa, kata Kolonel Gusti Nyoman Suriastawa, Kepala Penerangan Komando Gabungan Pertahanan Wilayah III di Timika, Papua, Jumat.

"Kita masih mencari informasi mengenai video tersebut. Karena video tersebut munculnya di media sosial. Jadi harus dicari informasi lebih dalam. Apa video itu betul atau tidak,” kata Suriastawa kepada BenarNews di Timika.

“Kalau betul, terjadi di mana dan kapan," kata dia.

Meskipun mengakui bahwa dirinya sudah melihat dua video tersebut, Suriastawa meminta agar masyarakat tidak serta merta menjustifikasi bahwa video tersebut benar dan oknum anggota TNI sebagai pelakunya.

Sementara itu Komnas HAM sangat menyayangkan kejadian dalam video itu, “Hal ini menambah jumlah korban kekerasan dalam konflik yang sedang berlangsung di Papua, dengan kecurigaan mengarah pada penyiksaan yang dilakukan pihak berwenang,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro Atnika dalam sebuah pernyataan.

Komnas HAM menuntut pemerintah segera mengusut dan melakukan proses peradilan yang transparan. “Ini pukulan telak bagi Indonesia karena sudah ratifikasi konvensi anti penyiksaan sejak 1998,” tambah Anis Hidayah, salah seorang komisionernya.

Sementara, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen Izak Pangemanan mengatakan bahwa selama anggota TNI bertugas di Ilaga, Puncak, Provinsi Papua Tengah - lokasi yang diduga sebagai tempat terjadinya penyiksaan - hubungan mereka dengan masyarakat sangat baik.

"Tidak ada seperti itu, video itu hasil edit," kata Izak kepada jurnalis lokal di Jayapura, seraya mengaku pihaknya sedang berupaya mengonfirmasi video itu.

Namun, Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua menilai kejadian dalam video tersebut benar adanya.

“Kami telah mencoba melakukan investigasi singkat, dugaan sementara peristiwa penyiksaan ini dilakukan oleh Pasukan Non-Organik dari Kodam III/Siliwangi, Satuan Yonif Raider 300/Braja Wijaya, terhadap masyarakat sipil sekitar Kabupaten Puncak atau Puncak Jaya (Mulia, Ilaga dan Sinak),” Ketua PAHAM Gustaf Kawer kepada BenarNews.

Kawer mengatakan bahwa tindakan yang terekam dalam video tersebut kemungkinan dilakukan oleh aparat militer Indonesia. Seharusnya, kata Kewer, jika korban diduga melakukan tindakan kriminal atau terlibat dalam organisasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), seharusnya TNI menyerahkannya ke polisi untuk diproses hukum ke pengadilan.

“Tindakan aparat TNI (dalam video) tersebut merupakan tindakan penyiksaan di luar hukum. Perlu dilakukan investigasi menyeluruh dan jika diketahui korban meninggal dunia, maka tindakan aparat tersebut dapat dikategorikan pembunuhan di luar hukum,” kata Kawer.

Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan bahwa tindakan TNI itu sebagai biadab. “Dari tindakan keji ini menunjukkan bahwa militer dan polisi Indonesia adalah benar-benar teroris yang berafiliasi dengan ISIS,” kata Sambom dalam pernyataannya kepada BenarNews, menambahkan bahwa kekerasan terhadap orang asli Papua itu terjadi di Kabupaten Yahukimo.

Seorang warga Papua memegang poster bertuliskan dukungan kemerdekaan pada Palestina dalam demonstrasi menuntut referendum kemerdekaan Papua dari Indonesia, di Jakarta, 1 Desember 2023. [Bay Ismoyo/AFP]
Seorang warga Papua memegang poster bertuliskan dukungan kemerdekaan pada Palestina dalam demonstrasi menuntut referendum kemerdekaan Papua dari Indonesia, di Jakarta, 1 Desember 2023. [Bay Ismoyo/AFP]

Istana minta TNI tindak tegas pelaku

Merespons video tersebut, Kantor Staf Presiden mendesak TNI menindak tegas oknum tentara jika terbukti pelaku adalah anggota TNI.

“Saya meminta agar video yang viral segera ditelusuri faktanya. Tentu, besar harapan prajurit kita tidak terlibat dalam tindakan biadab tersebut, namun apabila terbukti benar, oknum terkait harus ditindak dengan tegas sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku,” kata Plt. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Rumadi Ahmad dalam keterangannya, Jumat.

Rumadi mengatakan pemerintah memiliki komitmen yang luar biasa terhadap percepatan pembangunan Papua yang memprioritaskan keamanan masyarakatnya. Untuk itu, kata dia, pemenuhan HAM dan penegakan hukum menjadi hal yang fundamental dan esensial.

TNI sendiri, ujar dia, memiliki peran yang sangat strategis untuk menghadirkan rasa aman itu.

"Jika video tersebut terbukti benar, tindakan oleh segelintir oknum yang tidak bertanggungjawab bisa menjadi sangat disrupstif terhadap pembangunan yang sudah dirancang dan dilaksanakan dengan sedemikian baik,” kata Rumadi.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mendesak semua pihak, khususnya aparat TNI untuk segera mengklarifikasi video penyiksaan tersebut.

“Sehingga pelaku penyiksaan, untuk segera di proses sesuai hukum yang berlaku, di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Hesegem kepada BenarNews.

Seorang demonstrator asal Papua mengenakan gelang lengan bergambar bendera Bintang Kejora, simbol yang dilarang pemerintah karena melambangkan keluarnya Papua dari Indonesia dalam unjuk rasa menuntut penempatan tempat pemungutan suara (TPS) di desa mereka di Timika, Papua Tengah, pada 12 Februari 2024. [Adek Berry/AFP]
Seorang demonstrator asal Papua mengenakan gelang lengan bergambar bendera Bintang Kejora, simbol yang dilarang pemerintah karena melambangkan keluarnya Papua dari Indonesia dalam unjuk rasa menuntut penempatan tempat pemungutan suara (TPS) di desa mereka di Timika, Papua Tengah, pada 12 Februari 2024. [Adek Berry/AFP]

Kekerasan terus berlangsung

Kelompok HAM telah lama menuduh aparat keamanan Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua, seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan di luar proses hukum.

Kehadiran militer dalam jumlah besar dan kekerasan yang terus berlanjut, apakah dilakukan oleh militer atau kelompok separatis, telah menghambat pembangunan di wilayah yang kaya sumber daya tersebut namun tertinggal dalam ekonomi dan kesejahteraannya dibandingkan provinsi lainnya.

Tahun lalu, pengadilan militer menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada tiga tentara karena keterlibatan mereka dalam pembunuhan empat warga sipil Papua pada 2022. Keempat korban dimutilasi sebelum jenazah mereka dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke sungai.

Kelompok separatis bersenjata juga bertanggung jawab atas tewasnya warga sipil, dengan menargetkan orang-orang yang mereka curigai sebagai mata-mata pemerintah.

Papua mengalami peningkatan kekerasan menyusul serangan pemberontak yang mengakibatkan kematian 19 pekerja konstruksi jalan dan seorang tentara pada tahun 2018.

Pada tahun 2022, pemberontak separatis membunuh delapan karyawan yang sedang membangun menara seluler di Kabupaten Puncak.

Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 yang menyatakan rakyat Papua ingin bergabung dengan Indonesia. Namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang dipilih militer untuk mewakili 800.000 warga Papua saat itu.

Sejak saat itu, kekerasan dengan korban warga sipil, pasukan keamanan dan anggota separatis terus berlangsung di tengah konflik antara TNI dengan kelompok separatis bersenjata yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.