Tim Gabungan Akan Membantu Mengatasi Masalah Terorisme: Moeldoko
2015.04.23
Penangkapan tersangka teroris baru-baru ini menunjukkan perlunya keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme, kata kepala Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Moeldoko. Tapi aktivis khawatir keterlibatan kembali militer bisa membawa kemunduran demokrasi Indonesia.
“Semakin banyaknya kasus penangkapan tersangka teroris di Indonesia menunjukkan bahwa terorisme masih merupakan ancaman nyata. Kelompok Santoso misalnya menggunakan daerah yang sulit dijangkau kepolisian untuk melancarkan kamp militan seperti di Poso,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 21 April.
“Karena itu keterlibatan militer dalam memberantas terorisme akan membantu kepolisian dan mengamankan negara,” katanya lanjut.
Komando khusus antiteror yang sedang dibentuk oleh TNI merupakan komando gabungan dari angkatan darat, laut dan udara, kata Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi kepada BeritaBenar.
“Tim ini akan beroperasi jika diperlukan atau jika negara berada dalam keadaan darurat,” Ade menambahkan.
Pembentukan tim gabungan ini masih dalam proses pembahasan, dan TNI akan bekerjasama dengan Polisi untuk mencegah overlaping dengan tugas Densus 88, menurut Moeldoko.
“Tugas kita berbeda tetapi tujuannya sama yaitu mencegah dan mengatasi aksi teror serta meluasnya paham radikalisme,” katanya.
Daerah rawan militan
Beberapa daerah di Sulawesi dikenal sebagai basis terorisme Mujahidin Indonesia Timur, (MIT) dan pemimpinnya yang masih dalam buron kepolisian, Santoso.
Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Jenderal Anton Setiadji, mengatakan ada tiga wilayah di daerah tersebut pernah digunakan sebagai kamp militan.
“Wilayah tersebut melingkupi Walenrang, Kabupaten Luwu, pegunungan Siwa, keduanya terletak di Sulawesi Selatan serta Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi,” kata Anton, tanggal 22 April 2015.
“Daerah ini juga sempat menjadi tempat persembunyian teroris termasuk Santoso dan Daeng Koro,” katanya lanjut.
Baru-baru ini TNI mengadakan pelatihan anti-terorisme pertama di Poso, Sulawesi Tengah dari tanggal 21 Maret-15 April, 2015.
Pelatihan ini melibatkan 3.222 personel di Poso untuk mengimbangi kelompok radikal yang menggunakan wilayah ini untuk latihan militan dan untuk siaga invasi pasukan asing.
Salah satu dampak dari pelatihan ini adalah terbunuhnya Daeng Koro, salah satu pimpinan MIT dan orang kepercayaan Santoso.
Sementara itu, dua tersangka teroris ditahan oleh Densus 88, pada minggu terakhir, juga dituding sebagai pendukung Santoso.
Mereka ditangkap di dua tempat yang berbeda. Tetapi keduanya disinyalir mempunyai kesalahan yang sama, yaitu menyerang markas kepolisian dan menyebabkan tewasnya staf kepolisian di wilayah mereka.
Safrudin (24), asal Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, ditangkap oleh Densus 88 di Mbeliling, Flores tanggal 18 April.
Ambo Ece (36), ditahan oleh Densus 88 di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, tanggal 21 April.
Kedua tersangka dibawa ke Jakarta untuk investigasi.
Pentingnya membatasi peranan militer
Dibeberapa daerah Densus 88 dikenal kontroversial karena seringkali menggunakan kukuasaan yang berlebihan. Aktivis mengatakan penggunaan kekuatan dalam kontraterorisme dapat kembali membawa Indonesia era Suharto dimana militer juga terlibat dalam urusan sipil.
“Indonesia mempunyai catatan buruk dimana militer sebagai mesin resmi kekerasan negara. Akar dominasi militer bisa dilacak dalam masa Orde Baru ketika militer tidak hanya bertugas mengurusi masalah pertahanan tetapi juga masalah sosial dan politik,” kata Arie Sudjito, Sosiolog dari Gadjah Mada University, Yogyakarta.
“Awalnya dalih penguasaan militer adalah untuk pengabdian kepada rakyat namun dalam perkembangannya motif perluasan kekuasaan tidak dapat dihindarkan,” katanya lanjut.
Sutoro Eko Yunanto – mantan direktur Institute for Research and Empowerment Yogyakarta –menggaris bawahi pentingnya membatasi kekuasaan militer.
“Dari tahun 2004 sampai saat ini Indonesia telah berhasil mengkonsolidasikan demokrasi yang menunjukkan kuatnya pemerintahan sipil atas militer. Ini adalah konsep demokratis dimana militer dibawah kendali pemerintahan sipil dan bukan sebaliknya,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 22 April.
Sutoro mencemaskan kembalinya militer akan mengusik cerita lama.
“Yang ditakutkan adalah kembalinya kekuasaan militer dan akan membuat demokrasi kita terpuruk kembali,” katanya lanjut.
Haris Azhar, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Kekerasan (Kontras), mengatakan tindakan kriminal seharusnya menjadi tanggungjawab polisi.
"Terorisme bukan perang, itu adalah tindakan kriminal karena itu masalah ini seharusnya menjadi tanggungjawab kepolisian,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 22 April.
Haris mengatakan banyak masyarakat Indonesia masih trauma dengan kekerasan militer.
“Yang dikuatirkan keterlibatan TNI justru akan menghalangi pemberantasan terorisme,” katanya lanjut.
“Serangan teroris yang terus terjadi mengharuskan kita semakin waspada. Karena itu dalam menangani terorisme di Indonesia kita menggunakan soft approach dan hard approach. Peran TNI ada di hard approach yaitu untuk penegakan hukum,” kata kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Saud Usman Nasution, kepada BeritaBenar.
Saud setuju harus ada sinergi kerja antara TNI dan BNPT.
“Kita mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk melindungi masyarakat dan bangsa,” katanya lanjut.