Tokoh Dayak Khawatir Bencana Asap Terulang
2016.04.25
Balikpapan
Kepala Dewan Adat Dayak (DAD) di Kalimantan Tengah (Kalteng), Sabran Achmad (82) patut merasa was-was ketika memasuki bulan April hingga Agustus. Pasalnya, bulan-bulan ini adalah masa kritis ancaman kabut asap karena bertepatan dengan musim tanam kelapa sawit.
Pada tahun-tahun sebelumnya, ratusan perusahaan perkebunan berlomba memperluas areal dengan berbagai cara. “Membakar adalah modus paling murah dalam membuka lahan yang siap ditanami bibit sawit,” katanya kepada BeritaBenar, Sabtu, 23 April 2016.
Biasanya, pembakaran lahan itu merembet ke area gambut sedalam tiga meter. Inilah penyebab utama kepulan asap hingga merembet sampai ke Malaysia dan Singapura seperti terjadi tahun lalu.
“Sering kali perusahaan memperalat warga untuk membakar kebunnya agar merembet ke areal konsesi perkebunan sawit,” ujarnya. “Asap dari kebakaran gambut beda dengan kebakaran hutan. Asapnya tebal sekali.”
Sabran dan mayoritas etnis Dayak adalah korban yang terkena dampak langsung akibat bencana asap. Mayoritas warga Dayak yang profesinya berladang dan berburu tidak bisa beraktivitas. Mereka tak mungkin berladang di tengah kepungan asap di hutan.
“Bencana asap setiap tahun akibat ulah perusahaan sawit dan warga transmigrasi yang serampangan dalam membuka lahan,” tudingnya.
Namun Sabran mengatakan tahun ini memang belum terlihat adanya kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Tokoh etnis Dayak yang cukup dihormati itu berharap tidak ada bencana tahun ini.
Dia juga menaruh harapan besar pada rencana moratorium lahan sawit yang digagas Presiden Joko “Jokowi’ Widodo bisa diimplementasikan di lapangan sehingga kabut asap dapat dihindari.
Seperti diberitakan sebelumnya, Jokowi pada 14 April lalu menyatakan segera mengeluarkan Instruksi Presiden untuk menghentikan pemberian konsesi lahan sawit dan tambang untuk menjaga lingkungan dari kerusakan.
Sabran mengaku sukunya sejak ratusan tahun secara tradisional juga membakar hutan saat membuka lahan pertanian. Tapi mereka hati-hati saat merencanakan pembakaran hutan dengan berpatokan pada kelestarian lingkungan.
“Jangan sampai warga Dayak disalahkan dalam bencana asap. Kami membakar hutan saat berladang, tapi selalu hati-hati dan seperlunya. Lahan gambut selalu kami hindari karena kalau sudah terbakar akan sulit dipadamkan,” ujarnya.
Motif ekonomi
Arie Rompas, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah menegaskan, motif ekonomi menjadi pemicu utama bencana kebakaran yang terjadi sejak tahun 1998. Hal itu dipicu maraknya penerbitan izin usaha perkebunan oleh kepala daerah.
“Perusahaan perkebunan sawit membakar lahannya untuk menghemat biaya dalam pembukaan lahan. Setelah dibakar akan tumbuh area perkebunan sawit baru,” katanya kepada BeritaBenar.
Ia menambahkan, pantauan satelit pada 2015 menunjukkan bahwa terdapat 17.676 titik api yang terpantau di 422 area perkebunan yang semuanya milik perusahaan sawit di Kalimantan Selatan.
“Perusahaan perkebunan sengaja membakar areanya di masa masa tanam bibit sawit pertengahan tahun karena tidak ada sanksi hingga tindakan tegas dari pemerintah,” ujarnya.
Menurut Arie, kebakaran hutan tahun lalu adalah bencana lingkungan terbesar selama 20 tahun terakhir, dimana area seluas 11.996 hektar musnah menjadi abu. Aktivitas negatif perkebunan menyebabkan deforestasi hutan Kalimantan Tengah menyentuh angka 128 ribu hektar per tahun di area seluas 15,3 juta hektar.
Penegakan hukum
Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Pambudi Rahayu yang dikonfirmasi BeritaBenar menyatakan pihaknya bertindak profesional dalam penegakan hukum kasus pembakaran hutan dengan mengedepankan alat bukti.
Beberapa waktu lalu, berkas penyidikan tiga tersangka pimpinan perusahaan yaitu PT Globalindo Alam Perkasa, PT Antang Sawit Persada dan PT Makmur Bersama Asia sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah.
Pambudi memastikan bahwa polisi tak tebang pilih dalam menindak perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan, termasuk yang pemiliknya adalah pengusaha maupun pejabat elit setempat.
“Sebanyak 16 dari 62 kasus pembakaran sudah masuk proses persidangan dan tinggal menunggu putusan hakim pengadilan,” kata Pambudi.