‘Toleransi’ Wajah Asli Indonesia di Taman Sari

Oleh Arie Firdaus
2015.05.14
150514_ID_TAMAN_SARI_700.JPG Gereja Yesus Kristus di Taman Sari, Jakarta Pusat tanggal 26 April.
BeritaBenar

Abdul Gani (60 tahun) masih mengingat jelas peristiwa 17 tahun lalu, saat kerusahan Mei 1998 pecah di Jakarta beberapa ratus meter dari rumahnya di Taman Sari, Jakarta Pusat.

Rumah Gani dekat pusat perbelanjaan elektronik Glodok yang pernah ludes di jarah orang-orang yang tak dikenal.

"(Glodok) hangus dibakar," kata Gani, baru-baru ini.

Waktu itu, memang tak cuma Glodok yang porak-poranda. Hampir seluruh wilayah di Jakarta pecah kerusuhan serupa.

Namun wilayah tempat tinggal Gani menjadi salah satu titik yang paling mencekam lantaran ditinggali banyak warga keturunan Tionghoa dan non-Muslim.

Saat itu, mereka memang menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak mendapat serangan dari pihak kelompok asing.

"Bisa terbayang mencekamnya suasana perkampungan ketika itu," kata Gani.

Gani tak bisa memerinci nasib semua tetangganya yang berdarah Tionghoa dan non-Muslim saat kerusuhan itu pecah.

Apakah semuanya selamat atau berhasil melindungi diri? Gani menjawab sambil mengangkat bahu.

"Saya tidak tahu," ujarnya.

Namun yang Gani ingat, banyak juga yang akhirnya selamat dari kerusahan setelah ia dan penduduk lain melindungi warga keturunan Tionghoa dan non-Muslim.

Mereka diinapkan di Gereja Kristus Yesus yang terletak di Taman Sari.

Gani dan penduduk lain berjaga-jaga di depan pagar gereja mengantisipasi serbuan dari orang-orang tak dikenal.

Tindakan Gani ini sukses mencegah serangan di wilayah Taman Sari. Bangunan gereja tetap utuh. Pun, nasib warga yang berlindung di dalamnya.

Penuturan Gani itu dibenarkan Jon Tjandra, salah seorang warga keturunan Tionghoa dan juga jemaah Gereja Kristus Yesus.

Berkat bantuan keamanan dari warga Muslim, menurut Jon, bangunan gereja selamat dari kerusahan massa ketika itu.

"Sampai akhirnya bisa berdiri kokoh sampai saat ini," ujar Jon.

Pengalaman itu sendiri tak bisa dilupakan Jon sampai saat sekarang.

Gani yang bersuku Betawi dan Muslim, melindungi dan menghargai Jon, seorang warga Tionghoa dan non-Muslim.

"Inilah wajah Indonesia sebenarnya," ujar Jon.

Kini, setelah 17 tahun berselang, persahabatan antara Gani dan Jon masih tetap terjaga, bahkan semakin kuat terjalin, setelah sebuah masjid yang bernama Awwabin berdiri tepat di sebelah Gereja Kristus Yesus tak lama usai kerusuhan Mei 1998 mereda.

Kedua bangunan rumah ibadah ini hanya dipisahkan sebuah tembok berwarna putih setinggi sekitar lima meter.

Gereja Kristus Yesus dan Masjid Awwabin ini pun seperti menjadi simbol kerukunan kehidupan beragama dan bermasyarakat di Taman Sari.

Tak cuma perihal saling memahami, mereka pun berusaha tak saling menyakiti perihal keyakinan. Pantang bagi kedua pihak menjelek-jelekkan ajaran agama masing-masing.

Hal ini disampaikan Johari Yohanis, salah seorang pendeta di Gereja Kristus Yesus. "Sesuai ajaran kami, sekalipun berbeda, kami tetap harus menghormati," kata Johari.

Menurut Gani, pihak masjid juga tak pernah menyuarakan khotbah yang merendahkan agama lain, khususnya jemaah Gereja Kristus Yesus.

"Kami berpikiran ke depan. Masalah agama sangat sensitif. Salah sedikit, resikonya besar. Dan, kami tak mau mengambil jalan itu."

Harmoni

Tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif memuji sikap yang ditunjukkan kedua umat beragama di Taman Sari.

Khususnya terkait sikap pengurus toleransi yang terus terjaga di daerah ini.

Tindakan itu sangat positif dan harus dikembangkan. Ini menunjukkan indahnya Indonesia," ujar Syafii Maarif, yang juga mantan presiden World Conference on Religion for Peace.

Pujian serupa disampaikan sejarawan Anhar Gonggong. Menurut Anhar, fenomena itu seolah menjadi "angin segar" di tengah maraknya kelompok dan gerakan ektremis di Indonesia.

Anhar mencatat, Indonesia memang pernah dihiasi konflik antar ras dan agama di masa lampau.

Seperti pembantaian kaum etnis Tionghoa di pertengahan tahun 1700-an atau konflik Ambon tahun 1999-2002 lalu. "Meski pada dasarnya konflik-konflik itu digiring faktor ekonomi dan politik," ujar Anhar.

Kerukunan agama meningkat

Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, kerukunan antar-umat beragama di Indonesia memang kian membaik seiring waktu.

Meski Lukman menyadari, masih ada beberapa kelompok yang merasa paling benar dengan keyakinan mereka. Salah satunya adalah penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, beberapa waktu lalu.

"Butuh proses untuk menghapusnya. Tapi saya menilai semakin (kerukunan beragama) hari sudah semakin membaik," kata Lukman, Rabu, 6 Mei 2015.

“Perbedaan bukan pijakan untuk saling menafikan di antara kita," katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.