Tradisi Aceh Merayakan Maulid Selama Tiga Bulan
2016.02.12
Banda Aceh
Hampir seratus anak saling berdesakan saat diminta untuk antre. Mereka tak sabar ingin segera mendapat jatah nasi kotak yang dibagikan secara gratis.
Dalam hitungan menit, puluhan nasi kotak sumbangan dari sejumlah warga ludes. Senyuman merekah, terpancar dari wajah-wajah bocah laki-laki dan perempuan - yang sebagian adalah anak yatim piatu - setelah mendapat jatah.
Tak semua mereka memperoleh nasi kotak. Beberapa pemuda yang membagikan nasi kotak segera mengarahkan anak-anak "tak beruntung" untuk duduk di tikar yang telah disediakan. Di tengahnya ada hidangan yang ditutup kain kuning.
Dua pemuda membuka kain penutup tiga idang meulapeh (hidangan berlapis), yang dikelilingi anak-anak tak kebagian nasi kotak. Dikatakan idang meulapeh karena isinya berbagai macam makanan dan lauk pauk yang disusun berlapis.
Puluhan idang meulapeh diselimuti kain kuning dijejer rapi di halaman meunasah (musala) Desa Lamglumpang, Senin petang, 8 Februari 2016. Ratusan tamu dari sejumlah desa tetangga duduk mengitari idang meulapeh, menyantap aneka makanan.
Kaum pria dan anak-anak berbaur menikmati makanan maulid. Tak ketinggalan kuwah beulangong – daging sapi khas Kabupaten Aceh Besar yang dimasak dalam kuali besar. Begitulah suasana puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad yang digelar di desa pinggiran Kota Banda Aceh tersebut.
Tak ada perempuan dewasa menyantap maulid di meunasah, karena hal itu dianggap sesuatu yang tabu bagi masyarakat Aceh. Dalam setiap kegiatan makan bersama di meunasah atau masjid, tak pernah perempuan dewasa ikut serta sejak lama.
24 kuali kuwah beulangong
Kepala Desa Lamglumpang, Teuku Munawar menjelaskan, persiapan merayakan Maulid telah dilakukan sejak sebulan lalu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah diputuskan dalam rapat desa, panitia mendatangi dari rumah ke rumah untuk meminta sumbangan dana.
“Tapi dari keluarga miskin tidak dipungut biaya,” kata Munawar kepada BeritaBenar di tengah kesibukannya mengkoordinir warga memasak kuwah beulangong.
Dana yang terkumpul dipakai untuk membeli tiga ekor sapi. Dagingnya dimasak kuwah beulangong untuk kemudian dibagikan ke semua rumah. Sisanya disantap bersama tamu undangan.
Sejak pagi, puluhan warga sibuk menyiapkan kuwah beulangong. Dua puluh empat kuali besar dijejer di atas tungku yang khusus dibuat di halaman meunasah. Beberapa orang sibuk mengaduk kuah, sementara yang lain memasukkan kayu ke kobaran api di bawah tungku.
Asap mengepul ke angkasa. Aroma kuwah beulangong mengundang selera. Kendati di bawah siraman panas matahari, warga tetap semangat bekerja. Sekitar pukul 14:00 WIB, kuwah beulangong selesai dimasak.
Dari pengeras suara menara meunasah terdengar pengumuman agar warga membawa panci untuk mengambil daging. Dalam satu jam, kuwah beulangong ludes dibagikan kepada warga. Hanya tersisa sedikit untuk disajikan kepada para tamu di meunasah.
Sejumlah warga sedang memasak kuwah beulangong untuk perayaan maulid di Desa Lamglumpang, Banda Aceh, 8 Februari 2016. (BeritaBenar)
Maulid dirayakan tiga bulan
Di kalender nasional, hari libur Maulid Nabi Muhammad tanggal 12 Rabiul Awwal 1437 H jatuh pada tanggal 24 Desember lalu. Namun di Aceh, peringatan Maulid dirayakan secara turun temurun selama tiga bulan. Tak ada referensi sejarah yang menyebutkan kapan pertama kali tradisi makan-makan itu dilaksanakan.
Tapi, dalam almanak Aceh terdapat tiga bulan yang dipakai untuk merayakan Maulid. Ketiganya adalah molot (maulid awal), adoe molot (maulid pertengahan) dan molot keuneulheueh (maulid akhir).
Husaini Ibrahim, seorang sejarawan, meyakini perayaan tradisi Maulid tiga bulan sudah dilakukan sejak masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu, Kesultanan Aceh mencapai kejayaan dan kemakmuran.
“Pada waktu itu, kerajaan sangat makmur dan perkembangan Islam maju pesat. Ulama-ulama menganjurkan peringatan Maulid sampai tiga bulan sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah dan bentuk syiar Islam,” tuturnya kepada BeritaBenar, 10 Februari.
Syiar Islam masih dipegang hingga sekarang, terutama di pedesaan. Biasanya ketika perayaan Maulid, digelar ceramah agama di meunasah atau masjid pada malam hari. Panitia mengundang penceramah terkenal. Banyak warga datang untuk mendengar siraman rohani.
Kebiasaan ceramah pada malam hari sempat terhenti ketika konflik bersenjata antara pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pasukan keamanan pemerintah kian memanas pada 1998 hingga 2005. Setelah terwujudnya perdamaian di Aceh, Agustus 2005, tradisi ceramah malam hari di kampung-kampung menggeliat lagi saat perayaan Maulid.
“Namun sekarang mulai terjadi pergeseran, khususnya di kawasan perkotaan. Meski melaksanakan perayaan Maulid, tapi belum tentu ada ceramah agama,” ujar Husaini, yang juga dosen sejarah Islam di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Banyak manfaat
Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA) sepakat dengan Husaini. Dia menyebutkan meski tak ada dalam literatur kapan pertama kali Maulid digelar sampai tiga bulan, tapi diyakini sudah dirayakan di masa Sultan Iskandar Muda.
“Pada zaman dulu, metode pengembangan agama dilakukan melalui pertemuan dan tentu ada saja makan minumnya. Dulu tidak ada media seperti sekarang sehingga untuk tetap selalu ada gaung syiar Islam, maulid dirayakan tiga bulan,” terangnya kepada BeritaBenar.
Menurut Badruzzaman, banyak manfaat di balik peringatan Maulid. Selain untuk syiar Islam, juga dapat membangun silaturrahmi dan interaksi sosial masyarakat antara satu desa dengan desa lain sehingga persatuan umat semakin kuat.
“Dari segi ekonomi juga ada manfaat karena dengan kenduri, masyarakat termotivasi untuk bekerja keras. Dengan begitu, dia bisa berpartisipasi membawa idang meulapeh ke meunasah. Jadi, nilai sosial juga sangat tinggi di sini,” jelasnya.
Keunikan peringatan Maulid di Aceh juga bisa dikembangkan untuk potensi wisata. Bila dikelola dengan baik, tutur Badruzzaman, maka dapat mendatangkan wisatawan untuk melihat tradisi maulid sambil menikmati indahnya alam Aceh.
“Tapi sangat disayangkan hal itu belum dilakukan oleh Pemerintah Aceh,” katanya.
Dia menambahkan dulu setiap penutup bulan Maulid akhir, akan digelar secara besar-besaran di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ribuan warga datang ke tempat acara untuk menikmati idang meulapeh yang disiapkan pemerintah dan sumbangan orang kaya.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, Maulid akbar tak lagi dilaksanakan, padahal Aceh memberlakukan syariat Islam. Ketika hal itu ditanyakan, Badruzzaman hanya berujar, “Kultur agamis mulai berkurang. Sekarang kesannya materialisme lebih terasa.”