Perjuangan Ibu Korban Tragedi Semanggi Mencari Keadilan

Aktivis menilai usulan pemerintah untuk menyelesaikan kasus HAM melalui rekonsiliasi dan bukan pengadilan dianggap tidak mencerminkan keadilan.
Zahara Tiba
2017.02.10
Jakarta
170210_ID_Semanggi_620.jpg Kiri ke kanan: Rafendi Djamin (Direktur Amnesty International Asia Tenggara dan Pasifik), Marzuki Darusman (mantan Jaksa Agung), Maria Catarina Sumarsih (ibu korban peristiwa Semanggi I), Haris Azhar (Koordinator KontraS), Ismail Hasani (Direktur Riset SETARA Institute) saat diskusi di Jakarta, 10 Februari 2017.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Masih terkenang di benak Maria Catarina Sumarsih ketika memandang jahitan kasar yang melintas vertikal dari pangkal leher hingga perut putranya, BR Norma Wawan Imawan, 18 tahun silam.

Tubuh Wawan kaku membujur di ruang jenazah Rumah Sakit Jakarta. Lubang bekas peluru mendarat di dadanya.

“Saat itu, saya sudah mantap untuk bertemu Wawan di ruang jenazah. Dia sudah meninggal, saya hanya ingin dia dibawa pulang dan dimakamkan,” ujar Sumarsih kepada BeritaBenar menjelang diskusi bertajuk “Pantaskah Kasus HAM Berat Direkonsiliasi?” di kantor SETARA Institute, Jakarta, Jumat, 10 Februari 2017.

“Saya minta tolong ke bagian administrasi agar dihitung berapa biayanya untuk membawa jenazah Wawan. Saya masih ada sedikit uang. Kalau kurang, Wawan tetap saya bawa pulang dan besok saya lunasi,” lanjutnya.

Kematian Wawan yang merupakan korban penembakan saat terjadi Kerusuhan Semanggi I, pertengahan November 1998, membawa Sumarsih berjuang mencari keadilan hingga kini.

Perjuangannya sempat mendapat perhatian pemerintah yang berniat memberikan santunan bagi keluarga para korban.

“Saya bilang ke mereka berikan saja kepada penembak Wawan,” kenang Sumarsih.

Permintaannya diprotes sejumlah perwakilan pemerintah yang mendatangi rumahnya untuk memberikan santunan tersebut, karena sulit menemukan tersangka penembak Wawan.

“Kalau tidak bisa, berikan saja pada para prajurit yang berjumlah 167 orang yang dikenakan sanksi,” lanjut Sumarsih.

Usulan rekonsiliasi pemerintah

Namun, perjuangan Sumarsih dan keluarga korban lain mungkin harus menemui kenyataan berbeda menyusul rencana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang dipimpin Wiranto, dan Komisi Nasional HAM yang berniat menyelesaikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) peristiwa Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti, melalui mekanisme rekonsiliasi.

Bahkan, Kemenko Polhukam berniat membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi tersebut.

“Pertanyaannya sekarang apakah pantas rekonsiliasi menjadi jalan keluar kasus pelanggaran HAM? Saya sebagai orang tua Wawan menilai tak pantas penyelesaian dengan rekonsiliasi, karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 26/2000,” ujar Sumarsih merujuk pada undang-undang pengadilan HAM yang mengatur bahwa penyelesaian kasus HAM berat dilakukan melalui Peradilan Umum.

“Memang ada pertimbangan rekonsiliasi, namun perlu dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Padahal UU No. 27/2004 (tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) sudah dihapuskan,” ujarnya.

Sebelumnya Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat mengatakan keputusan menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM melalui rekonsiliasi diambil atas dasar sikap pemerintah.

"Pilihan politik pemerintah saat ini kan jalur non-yudisial atau rekonsiliasi. Pemerintah maunya kan seperti itu. Untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ya menempuh jalur non-yudisial," ujarnya seperti dilansir Kompas.com, 30 Januari lalu.

Pertanyakan komitmen Jokowi

Direktur Amnesty International untuk kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, Rafendi Djamin, mengatakan para aktivis HAM tengah mengingatkan komitmen pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu seperti yang disebutkan dalam nawacita.

“Kalau pemerintah Jokowi kerap mencanangkan ekonomi berkeadilan, harusnya begitu pula dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM. Kasus-kasus yang punya dokumentasi kuat tapi diselesaikan dengan mekanisme non-yudisial, itu bertentangan dengan pembangunan berkeadilan,” ujar Rafendi dalam diskusi tersebut.

“Dalam perspektif kemanusiaan, pelanggaran HAM berat harus diselesaikan secara yudisial. Jika tidak bisa, melalui rekonsiliasi. Dalam hal ini perlu dibentuk KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan ini akan melibatkan banyak pihak korban.”

Mantan Jaksa Agung yang juga bekas Menteri Hukum dan HAM Marzuki Darusman mengatakan pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu memetakan langkah untuk melakukan rekonsiliasi.

Marzuki juga menyoroti rencana pemerintah membentuk DKN.

“Saya sudah bertemu Wiranto yang menyebutkan perlu adanya penyelesaian masalah-masalah yang berpotensi mengganggu bangsa yang tengah berjuang. Menarik sekali pernyataannya tentang bangsa yang tengah berjuang,” ujar Marzuki.

“Ada sejarah masa lalu yang perlu diselesaikan. Pengadilan biasa tidak bisa menyelesaikan masa lalu pelanggaran HAM dan salah satu aspek yang berat dalam pelanggaran HAM adalah pengungkapan kebenaran.”

Mantan aktivis 98, John Muhammad, mengatakan rencana pemerintah adalah tamparan sekaligus pembelajaran bagi aktivis lainnya.

“Kenapa Wiranto berani? Karena kita kurang kuat mendorong. Namun kita belum terlambat. Kita harus menjadi barisan yang kuat. Jadikan ini momen arus balik kita,” ujarnya.

Dengan munculnya rencana pembentukan DKN, Sumarsih mengatakan dia terus berharap keadilan bisa diperjuangkan meski pesimis akan komitmen pemerintah Jokowi-JK mulai menghinggapinya.

“Sampai sekarang saya masih memiliki harapan. Semoga Jokowi sadar keprihatinan rakyat yang memilihnya. Kami sudah bertemu semua presiden di zaman reformasi. Hasilnya sama. Kalau Jokowi mengingkari juga, nawacita hanya akan menjadi dukacita,” katanya.

Selain kasus Semanggi I, investigasi Komnas HAM mencatat beberapa kasus HAM berat yang belum terselesaikan, yaitu: pembantaian terhadap mereka yang dianggap anggota PKI pada 1965-66, penembakan misterius para kriminal di era 1980-an, tragedi Talangsari 1989,  hilangnya aktivis anti-Soeharto 1997-98, penembakan Semanggi II tahun 1999, kasus Wasior 2001, dan kasus Wamena Berdarah 2003.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.