Studi sebut Indonesia tidak transparan laporkan emisi metana tambang batu bara

Hal ini bisa berdampak pada komitmen internasional mengurangi 30% emisi itu pada 2030.
Ahmad Syamsudin dan Dandy Koswaraputra
2024.03.12
Jakarta
Studi sebut Indonesia tidak transparan laporkan emisi metana tambang batu bara Sebuah truk membawa batu bara berjalan di dekat lubang penambangan batu bara di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur pada 20 Desember 2022.
Dita Alangkara/AP

Indonesia tidak melaporkan emisi metana tambang baru bara secara transparan sehingga melemahkan upaya pemerintah dalam memenuhi komitmen internasional untuk mengurangi emisi tersebut, ungkap laporan sebuah lembaga kajian berbasis di London, Inggris, pada Selasa (12/3).

Ember, lembaga nirlaba independen dalam bidang energi dan perubahan iklim, menyoroti perbedaan antara angka resmi dan perkiraan independen, yang menunjukkan bahwa emisi batu bara Indonesia enam hingga tujuh kali lebih tinggi dari laporan resminya.

“Penggunaan metode estimasi metana yang sudah ketinggalan zaman berisiko melemahkan skala masalah metana tambang batu bara di Indonesia,” kata Dody Setiawan, analis iklim dan energi senior Ember di Indonesia. Kajian itu juga menyebutkan bahwa laporan Indonesia tidak menyertakan emisi dari tambang batu bara bawah tanah.

“Akibatnya, Indonesia dapat membahayakan posisi internasionalnya karena komitmennya untuk mengurangi gas metana secara global,” ujarnya dalam laporan tersebut.

Analisis independen terhadap data satelit dan tingkat tambang menunjukkan emisi metana tambang batu bara (CMM) jauh lebih tinggi dibandingkan angka resmi Indonesia sebesar 128 kiloton. Perkiraan berdasarkan analisis ini berkisar hingga 875 kiloton, kata laporan itu.

Kurangnya pelaporan ini dapat berdampak serius terhadap posisi Indonesia dalam upaya iklim internasional, karena negara ini merupakan salah satu penandatanganan Global Methane Pledge, yang bertujuan untuk mengurangi emisi metana sebesar 30% pada 2030 dari tingkat emisi pada 2020, kata laporan tersebut.

Indonesia merupakan eksportir batu bara termal terbesar di dunia berdasarkan volume, dan negara penghasil batu bara terbesar ketiga setelah China dan India.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan peningkatan produksi batu bara sebesar 13% pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, yang merupakan angka tertinggi sepanjang masa.

BenarNews menghubungi Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meninta tanggapan pemerintah atas laporan tersebut, namun dia masih harus mempelajari laporan tersebut.

“Saya pelajari dulu (laporan Ember-nya) ya,” kata Dadan.

Metana, penyumbang perubahan iklim terbesar kedua setelah karbon dioksida (CO2) adalah gas rumah kaca yang kuat dengan kekuatan pemanasan 80 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida dalam jangka waktu 20 tahun.

Dengan mempertimbangkan semua penyesuaian pengukuran dan perkiraan peningkatan produksi batu bara, emisi metana tambang batu bara Indonesia di masa depan dapat meningkat hingga sekitar 1.007 kiloton per tahun, menurut laporan Ember.

Jumlah ini setara dengan 30 juta ton CO2, melampaui emisi dari kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 200.000 hektar pada tahun 2022, katanya.

Tim pencari menunggu di pintu masuk tambang batu bara dalam upaya menyelamatkan korban ledakan di tambang batubara Sawahlunto, Sumatra Barat, pada 9 Desember 2022. Sejumlah pekerja tambang tewas dalam ledakan tersebut. [Devanya Zianisa/AP]
Tim pencari menunggu di pintu masuk tambang batu bara dalam upaya menyelamatkan korban ledakan di tambang batubara Sawahlunto, Sumatra Barat, pada 9 Desember 2022. Sejumlah pekerja tambang tewas dalam ledakan tersebut. [Devanya Zianisa/AP]

Dorothy Mei, manajer proyek di Global Energy Monitor (GEM) mengatakan partisipasi aktif Indonesia dalam pengurangan gas metana sangat penting untuk mengurangi emisi global.

“Tetapi kurangnya transparansi dan tidak adanya sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang kuat menimbulkan tantangan besar terhadap evaluasi yang efektif terhadap aktivitas pertambangan batu bara,” katanya dalam laporan tersebut.

“Indonesia harus merencanakan pemantauan emisinya dan meningkatkan aksesibilitas data pertambangan batu bara dan metana, untuk membantu mencapai tujuan Global Methane Pledge.” kata Mei.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara yang tidak melaporkan emisi CMM, menurut laporan Ember pada bulan November, yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian independen, emisi-emisi tersebut bisa dua kali lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh pemerintah.

“Banyak negara tidak melaporkan (emisi CMM) secara teratur, dan beberapa negara tidak pernah melaporkan CMM,” demikian isi laporan Ember kala itu.

“Studi independen menemukan bahwa 22 negara dapat mengeluarkan emisi dua kali lipat dari emisi yang mereka laporkan saat ini, termasuk Afrika Selatan, Jerman, dan Indonesia.”

Misalnya, Methane Tracker tahun 2023 dari Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa Australia tidak melaporkan CMM-nya sebesar 82% pada tahun 2022.

Cadangan batu bara Indonesia, terutama terdiri dari batu bara lignit dan sub-bituminus berkualitas rendah, tersebar di tujuh cekungan batu bara utama, seperti di Sumatra bagian tengah dan selatan, serta Kalimantan, dengan batu bara berkualitas lebih tinggi ditemukan di Cekungan Barito di Kalimantan dan Cekungan Ombilin di Sumatra Barat.

Batu bara, mulai dari antrasit berenergi tinggi hingga lignit berenergi rendah, berdampak signifikan terhadap emisi metana selama ekstraksi.

Batu bara dengan peringkat lebih tinggi, yang biasanya digunakan dalam pembangkit listrik dan pembuatan baja, mengeluarkan lebih banyak metana karena kematangannya dan kadar airnya lebih rendah.

Sebaliknya, batu bara dengan peringkat lebih rendah, seperti batu bara yang banyak ditambang di Indonesia, melepaskan lebih sedikit gas metana.

Meskipun sebagian besar menggunakan metode penambangan di permukaan, Indonesia telah melaporkan peningkatan pesat emisi metana tambang batu bara, meningkat rata-rata 12% per tahun sejak tahun 2000, kata laporan tersebut.

Tren ini menempatkan metana dari tambang batu bara sebagai sumber emisi yang tumbuh paling cepat di sektor energi, dan akan menjadi penghasil metana terbesar seiring menurunnya emisi minyak dan gas, katanya.

Yayan Satyakti, ekonom Universitas Padjadjaran Bandung, mengatakan metana lebih sulit diukur tanpa metode yang akurat.

“Namun, teknologi satelit frekuensi tinggi, seperti yang dimiliki NASA, telah memungkinkan pengukuran dilakukan dan relatif akurat, meskipun analisis tingkat nasional dapat diperdebatkan karena paket database satelit yang kurang rinci jika tidak dikalibrasi dengan data nasional,” kata Yayan kepada BenarNews.

Yayan menyayangkan ketidakakuratan indikator lingkungan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dengan menyebutkan adanya permasalahan pada sistem pengambilan sampel dan pemantauan.

Yayan menyoroti ketidakpastian seputar Target Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia dan kebijakan lingkungan hidup, yang secara bertahap bergeser karena kepentingan investasi, sehingga berpotensi mengurangi komitmen negara terhadap pembangunan berkelanjutan.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.