Indonesia, Malaysia, Filipina akan Bahas Keamanan Laut

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.04.28
Jakarta
THUMB-160428-ID-tripartite-meet-620.jpg Presiden Filipina Benigno Aquino berbicara dengan seorang tentara yang terluka dalam pertempuran dengan militan Abu Sayyaf, dalam kunjungan ke sebuah rumah sakit militer di Zamboanga City, 27 April 2016.
AFP/Benhur Arcayan/Malacanang Photo Bureau

Setelah 14 anak buah kapal (ABK) Indonesia disandera kelompak militan di perairan selatan Filipina dalam sebulan terakhir, Indonesia akan menyelenggarakan pertemuan trilateral dengan Malaysia dan Filipina untuk membahas kemanan maritim.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arrmanatha Nasir mengatakan bahwa pertemuan itu akan berlangsung di Jakarta, hari Kamis, 5 Mei dengan format 2+2+2 antara menteri luar negeri dan panglima angkatan bersenjata dari ketiga negara.

“Pertemuan ini diharapkan akan menghasilkan pernyataan bersama tentang keamanan dan aktivitas ekonomi serta pergerakan masyarakat di wilayah dan nota kesepahaman yang ditandatangani ketiga panglima mengenai keamanan maritim,” ujar Arrmanatha dalam jumpa pers di Kemlu, Kamis, 28 April 2016.

Selain itu, tambahnya, para Menlu juga akan memastikan bahwa aktivitas dan kerjasama ekonomi ketiga negara tak terganggu dengan adanya perompakan yang dilakukan kelompok militan berbasis di Filipina Selatan.

Arrmanatha mengatakan jalur pelayaran yang sering menjadi lokasi perompak adalah jalur penting bagi aktivitas ekonomi, perdagangan dan transportasi laut antara ketiga negara.

“Kami berharap hasil pertemuan ini akan direalisasikan dengan aksi konkrit seperti patroli bersama,” tambahnya.

Senin yang lalu, Abu Sayyaf memenggal seorang sandera Kanada yang telah ditawan selama enam bulan setelah tuntutan tebusan kelompok itu tidak dipenuhi. Kelompok militan itu diyakini menawan 20 orang sandera asing hingga saat ini.

Inisiatif Indonesia

Pertemuan trilateral Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo dengan rekan-rekannya dari Filipina dan Malaysia ini adalah inisiatif Indonesia, ujar Arrmanatha.

Hal ini menunjukkan kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan juga bentuk tanggung jawab bersama terhadap keamanan di kawasan Asia Tenggara, tambahnya.

Selain 14 ABK Indonesia, empat ABK Malaysia juga diculik dan ditahan para pembajak dalam tiga serangan berbeda sejak akhir Maret di Laut Sulawesi dan Laut Sulu di antara Indonesia, Malaysia dan Filipina.

Kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang berbendera Indonesia dan membawa 7.000 ton batubara dibajak dalam perjalanan dari Kalimantan Selatan menuju Batangas di Filipina Selatan, 26 Maret lalu. 10 ABKnya dijadikan sandera.

Pembajakan kedua terjadi 1 April lalu, ketika kapal MV Massive 6 milik perusahaan perkapalan Malaysia dibajak kelompok bersenjata yang diduga sebagai sempalan dari kelompok Abu Sayyaf di perairan Ligitan, Semporna.

Kapal tersebut dibajak dalam pelayaran dengan rute Manila – Tawau dengan membawa tongkang bermuatan 7.500 ton batu bara. Dalam peristiwa itu, para perompak menculik empat awak kapal warga Malaysia, tapi melepaskan tiga ABK Indonesia dan dua ABK asal Myanmar.

Pembajakan ketiga terjadi pada 16 April ketika kapal tunda Cristi yang sedang berlayar kembali ke Indonesia dari Filipina bersama sebuah kapal tongkang di wilayah perbatasan maritim Malaysia dan Filipina. Empat ABK asal Indonesia diculik perompak, sementara enam lainnya termasuk seorang yang mengalami luka tembak diselamatkan otoritas Malaysia. Kelima ABK itu telah kembali ke Indonesia Minggu lalu, sementara yang terluka tembak masih menjalani perawatan medis di Malaysia.

Arrmanatha menegaskan para sandera warga Indonesia tidak berada di Basilian ketika terjadi kontak senjata pada 9 April antara tentara Filipina dan kelompok militan yang berafiliasi dengan tentara Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dari kedua pihak termasuk 18 tentara Filipina.

Selalu koordinasi

Menurut Arrmanatha, Kementerian Luar Negeri terus mendapat perkembangan terbaru tentang kondisi mereka melalui komunikasi intensif antara kedua menteri luar negeri.

“Prioritas kita adalah keselamatan 14 sandera warga Indonesia,” ujar Arrmanatha.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Selasa lalu, menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tak pernah berkompromi untuk membayar uang tebusan kepada kelompok penyandera.

"Kita tidak pernah berkompromi dengan hal-hal seperti itu. Jadi tak ada urusan dengan yang namanya uang tebusan," katanya kepada para wartawan di Istana Negara.

Jokowi mengakui tak mudah membebaskan sandera. “Di wilayah sana sedang dikepung tentara Filipina. Kita juga tahu sandera sudah dipindah lagi ke tempat lain. Sandera yang dipindah-pindah ini sangat menyulitkan kita,” ujar Jokowi.

Sebelumnya 19 April 2016, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan perusahaan tempat 10 ABK Brahma 12 sudah setuju membayar tebusan senilai 50 juta peso atau sekitar Rp14,3 milyar seperti dituntut kelompok Abu Sayyaf.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.