Kembali ke Era Trump: Uji kesiapan Asia Tenggara
2024.11.15
Ada pepatah lama Partai Republik yang berbunyi, "Pemerintah yang cukup kuat untuk memberimu segala hal yang kamu inginkan, ia juga cukup kuat untuk mengambil segalanya yang kau miliki."
Donald Trump, yang akan dilantik sebagai Presiden AS ke-47 pada Januari mendatang, mungkin telah memenangkan hati para pemilih yang mendukung pemerintahan kecil dengan beribu janji manis yang diberikan tetapi sebenarnya memiliki visi yang keras kalau tidak kejam.
Visi ini kemungkinan besar akan diterapkan dalam hubungan luar negeri AS, menunjukkan kepada para sekutunya seperti Ukraina dan Taiwan bahwa Amerika Serikat yang cukup kuat untuk memberi apa yang diinginkan negara-negara tersebut, ia juga cukup kuat untuk merampasnya kembali.
Di Asia Tenggara, Filipina dapat menjadi korban lain dari ketidakpedulian dan keegoisan Trump.
Sebagai salah satu negara di Asia yang paling sedikit bergantung pada perdagangan, Filipina mungkin tidak terlalu panik dengan usulan tarif Trump sebesar 10-20% untuk impor dari semua negara.
Namun, sebagai sekutu perjanjian AS yang mengandalkan dukungan Amerika dalam konfrontasinya yang memanas dengan Beijing di Laut China Selatan, Manila sadar betul bahwa kini mereka mungkin harus menghadapi masalah ini sendiri.
Sampai Januari tiba, orang hanya bisa berspekulasi tentang apa yang mungkin dilakukan Trump.
Secara konvensional orang akan berpikir bahwa kali ini Trump akan menjadi eksekutif yang jauh “lebih efektif” dibanding pemerintahannya terdahulu, dengan lebih banyak pengetahuan tentang cara menavigasi koridor kekuasaan dan terbebas dari "orang dewasa di ruangan" yang meredamnya dalam masa jabatan pertamanya.
Ini berarti dia mungkin akan berhasil dalam janji-janji ekonominya, yang mencerminkan fakta bahwa, seperti yang diungkapkan seorang komentator kawakan minggu ini, "Trump tidak memiliki agenda ekonomi yang nyata selain merebut kembali pekerjaan dari Asia."
Melemahnya pertumbuhan ekonomi
Kebijakan Trump terkait tarif hampir pasti akan melemahkan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara, kawasan di mana rata-rata rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 90 persen, dua kali lipat rata-rata global, menurut Hinrich Foundation.
Oxford Economics memperkirakan “Asia di luar China” bisa mengalami penurunan ekspor sebesar 3%.
Di sisi lain, ada pihak di kawasan ini yang berasumsi bahwa karena China akan menjadi target utama Trump, negara-negara lain di Asia mungkin mendapat keuntungan dari masalah yang dihadapi Beijing.
Bahkan beberapa negara, khususnya Vietnam, selama ini telah lolos membiarkan barang-barang China dialihkan melalui pasar mereka untuk diekspor kembali ke AS, sehingga eksportir China bisa menghindari tarif.
Ini salah satu alasan surplus perdagangan besar yang dimiliki Vietnam dengan AS. Pada 2019, Trump menyebut Vietnam sebagai “pelaku pelanggaran terburuk” dalam perdagangan dengan AS, pada saat itu surplus perdagangannya mencapai $55 juta. Tahun lalu, angka ini naik menjadi $104 juta.
Manfaat nyata dari menjaga keseimbangan antara AS dan China adalah memberikan ruang bagi negara-negara Asia Tenggara yang netral untuk bereaksi terhadap peristiwa yang berubah di tempat lain.
Ini mungkin salah satu momen tersebut.
Namun, logika di balik menjaga keseimbangan adalah bahwa AS dan China sama-sama bersaing untuk mendapatkan pengaruh. Bagaimana jika salah satunya justru mencoba mundur?
Mungkin kesalahannya adalah berpikir bahwa kepresidenan Trump yang pertama, bukan kepresidenan Biden, yang merupakan penyimpangan dalam kebijakan luar negeri AS di abad ke-21.
Merendahkan diri dan memuji
Meski begitu, kita tidak bisa mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Amerika menunjukkan kesuksesan besar di bawah pemerintahan Biden. Kebijakan Biden akan lebih dikenang karena gagal mencegah tidak hanya saingan AS – Rusia, China, dan Iran – tetapi juga sekutunya di Israel.
Di Asia Tenggara, sikap “tanpa kebijakan” Washington terhadap Myanmar telah memungkinkan perang saudara meningkat dan China menjadi satu-satunya aktor asing dengan pengaruh nyata.
Hal ini juga menyebabkan hubungan dengan Malaysia memburuk karena masalah Gaza dan membiarkan Hanoi mengarahkan hubungan AS-Vietnam.
AS bahkan gagal muncul di acara-acara regional di tahun-tahun terakhir Biden, dan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik yang ditawarkan untuk bersaing dengan Tiongkok adalah sebuah kegagalan.
Bisa dikatakan, pencapaian terbesar adalah hubungan yang lebih produktif dengan Filipina dan kejelasan mengenai pertahanan di Laut China Selatan – tetapi itu hanya karena Ferdinand Marcos Jr. memenangkan kursi kepresidenan Filipina pada tahun 2022 yang memperbaiki hubungan, dan memberikan kemenangan diplomatik bagi Washington.
Namun, tidak ada pemimpin Asia Tenggara yang ingin merendah di hadapan Trump, berharap mendapatkan perjatian atau pujiannya.
Malaysia dan Indonesia kini harus mengantisipasi tanggapan dari Washington ketika mereka menuduh AS berkolaborasi dengan genosida yang diduga terjadi di Timur Tengah dalam perang Israel-Hamas.
Vietnam tidak bisa lagi berharap ada orang-orang bijak di Departemen Luar Negeri AS yang memahami alasan mengapa mereka mengadopsi “diplomasi bambu” yang menyeimbangkan hubungan dengan AS, China, dan Rusia.
Singapura, yang dipercaya sebagai perantara antara Timur dan Barat, akan lebih sulit menjelaskan sensitivitas lokal kepada kabinet Trump.
Kegagalan dalam mempersiapkan
Jangan meremehkan gangguan yang bisa ditimbulkan Trump di Asia Tenggara. Namun, itu tidak seharusnya juga menjadi alasan bagi pemerintah di kawasan ini untuk gagal bersiap diri.
Asia mungkin akan lebih tangguh menghadapi kepresidenan Trump kedua jika Jepang dan Korea Selatan tidak menghadapi krisis politik mereka sendiri; jika Beijing mengelola ekonominya dengan lebih lincah; jika Thailand tidak terus-menerus berada dalam kekacauan politik; atau jika ASEAN memiliki tujuan lebih dari sekadar mencapai pernyataan bersama.
Memang, situasi akan lebih baik jika Trump bisa sedikit lebih mengurangi egoismenya dan mau lebih memberikan perhatian kepada masalah internasional seperti banyak kecaman yang dilontarkan kepada presiden terpiliah AS itu.
Gagasan Jepang tentang “NATO Asia” masuk akal tetapi tidak akan terjadi karena “perbedaan kepentingan negara,” seperti yang dikatakan Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro baru-baru ini.
Mengapa Vietnam, misalnya, tidak mau mengkritik Beijing ketika mengancam kepentingan negara-negara tetangganya?
Sebagian besar zaman didefinisikan oleh setidaknya satu kecemasan eksistensial.
Di Asia Tenggara, setidaknya sejak awal 2010-an, telah didefinisikan oleh dua hal: meningkatnya kekuatan China dan menurunnya pengaruh Amerika. Kemenangan Trump akan mempercepat yang terakhir tetapi, mungkin, juga menghambat yang pertama.
Jika ada harapan bagi negara-negara yang terancam oleh invasi atau serangan Beijing, itu adalah usulan tarif 60% Trump untuk semua impor China yang bisa begitu melemahkan ekonomi China sehingga kemungkinan terjadi perang adalah kecil.