Meningkatnya Turis China di Bali, Berkah atau Musibah?
2018.10.29
Badung

Halaman depan sebuah mal di Kuta, Bali, tampak riuh oleh ratusan turis pada malam minggu pertengahan Oktober itu.
Sambil menenteng gelas dan botol bir, mereka bernyanyi dalam bahasa Mandarin. Seorang naik ke panggung. Ia ikut menyanyi bersama penyanyi langganan mal di Jalan Kartika Plaza, satu kawasan tersibuk pusat pariwisata Bali.
Kuta masih tetap kiblat pariwisata Bali. Desa internasional dengan pesona pantai dan matahari tenggelam termasuk perintis pariwisata Bali, terutama selancar dan pantainya.
Turis-turis dari Australia dan Eropa ikut mempopulerkan Kuta kepada dunia, sehingga berbondong-bondong wisatawan mancanegara datang.
Namun, dua tahun terakhir, wajah-wajah turis Asia semakin memenuhi Kuta, terutama dari China, seperti di depan mal itu serta tempat-tempat favorit lain, seperti Uluwatu, Tanjung Benoa, dan Ubud.
Menurut data Dinas Pariwisata (Diparda) Bali, dalam kurun waktu Januari sampai Agustus tahun ini, jumlah turis China yang berkunjung ke Bali telah mencapai 961.802 orang.
Jumlah itu berada di urutan pertama dari sekitar 4,1 juta turis asing di Bali. Di bawahnya adalah turis Australia sebanyak 763.477 orang, disusul India dengan 243.947 orang dan Inggris berjumlah 183.033.
Kepala Diparda Bali, AA Gede Yuniartha Putra mengatakan setidaknya dua alasan maraknya turis China mengunjungi Bali.
Pertama, mereka memang tertarik pada Bali, terutama wisata air dan belanja (shopping). Kedua, makin banyak pesawat dari China langsung ke Bali dan sebaliknya.
“Selain pesawat komersial reguler, ada juga yang charter langsung. Biasanya lebih murah untuk biaya sandarnya (di bandara),” katanya kepada BeritaBenar.
Di sisi lain, Bali memang siap secara infrastruktur. Dari sisi bandara, misalnya, Bali sudah siap meski turis datang pukul 2:00 dini hari.
“Kalau daerah lain belum tentu. Kadang-kadang masuk pagi belum ada petugas imigrasi, bea cukai belum siap,” lanjutnya.
Yuniartha menyebutkan dari 1,9 juta turis China yang datang ke Indonesia, tahun lalu, sebanyak 1,3 juta memilih berlibur ke Bali.
“Artinya, Bali memang lokasi favorit mereka,” ujarnya.
Penyebab lain, menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Bali, I Ketut Ardana, adalah karena banyaknya jumlah penduduk China dan pertumbuhan ekonomi yang bagus di negara Tirai Bambu itu.
Ardana menerangkan total jumlah penduduk China sekitar 1,4 miliar. Penduduk yang sudah jalan-jalan ke luar negeri mencapai 250 juta.
“Kalau kita ngomong satu persen saja turis China yang wisata ke Indonesia, maka setidaknya ada 2,5 juta. Nah, sekarang baru 1,5 juta. Belum ada satu persen,” lanjutnya.
Karena itu, tambah Ardana, jumlah turis China akan terus bertambah ke Bali seiring kian bagusnya ekonomi negara tersebut.
Sejumlah masalah
Meskipun demikian, peningkatan jumlah turis China ke Bali juga dianggap mendatangkan sejumlah masalah.
Elsye Deliana, pemilik agen perjalanan khusus China Star Tour, mengatakan banyaknya turis China yang datang tersebut memicu terjadinya perang harga antara sesama agen perjalanan.
“Kasarnya, Bali dijual sangat murah di China oleh agen-agen tertentu. Ini sudah tidak sehat,” kata Ketua Bali Liang, anggota ASITA khusus turis China ini.
Menurut Ardana, perang harga terjadi juga karena Bali sudah kelebihan jumlah kamar sehingga satu sama lain menawarkan tarif semurah mungkin.
“Mereka seperti di medan perang. Itu dimanfaatkan agen-agen turis China,” katanya.
Bahkan ada hotel Bintang 3 yang menjual kamarnya seharga Rp200.000 – Rp250.000 per malam termasuk sarapan.
“Tidak ada di dunia harga segitu,”ujarnya.
Elsye membenarkan hal itu. Dia mencontohkan, pada 2017, paket per turis untuk perjalanan selama lima hari Rp2 juta. Tahun ini, ada yang menjual seharga Rp1,5 juta.
“Bahkan ada yang hanya menjual Rp600 ribu sudah termasuk makan lima hari selama di Bali,” katanya.
Kurang pemandu
Masalah lain adalah kurangnya pemandu berbahasa China. Menurut Yuniartha, saat ini pemandu berbahasa Mandarin di Bali berjumlah sekitar 1.400.
Dengan jumlah turis China yang mencapai lebih dari 1,4 juta pada 2017, berarti perbandingan seorang pemandu menangani 100 turis. Jumlah itu masih belum seimbang.
“Orang Bali sedikit yang mau belajar bahasa Mandarin karena merasa sulit. Akhirnya banyak guide dari luar Bali, seperti Tanjung Pinang, Batam, Medan, dan lain-lain datang,” katanya.
Masalahnya, lanjut Yuniartha, Bali selalu menegaskan sebagai pariwisata budaya. Di sisi lain para pemandu belum tentu bisa menceritakan budaya Bali karena mereka bukan orang Bali.
“Mereka (pemandu wisata dari luar Bali) tidak paham budaya Bali. Untuk itu perlu ada uji budaya dulu. Setelah lulus uji budaya, baru bisa jadi guide,” tegasnya.
Kekhawatiran lain akibat membanjirnya turis China adalah Bali semakin terjebak pada pariwisata massal padahal, menurut Ardana, Bali termasuk pulau kecil sehingga wisatawan perlu dibatasi.
“Ke depan, kita harus selektif. Carilah turis China yang menginap di hotel bintang lima, bukan tiga. Kalau sudah bisa begitu, secara otomatis akan tersaring turis yang berkualitas,” tuturnya.