Ketika Ubi Jalar Mulai Terpinggirkan di Pegunungan Papua
2015.11.06
Jayapura

Ubi jalar (Ipomoea batatas) sangat populer di kepulauan Pasifik, menyebar mulai dari Polinesia hingga ke Jepang dan Filipina. Salah satu alasannya karena ubi jalar dapat diandalkan sebagai makanan pokok bila terjadi gagal panen akibat topan atau banjir.
Tak terkecuali di tanah Papua, ubi jalar bahkan menjadi makanan pokok bagi warga pegunungan di wilayah adat Lapago dan Meepago. Warga Papua menyebut ubi jalar dengan “petatas”. Sebagian masyarakat Mee di Meepago menyebutnya “nota”. Sedangkan di Lapago, disebut “mbe” atau “hipere”.
Tidak ada yang tahu kapan petatas pertama kali ditanam di pegunungan Papua. Namun hampir semua orang di Wamena (wilayah Lapago) maupun Paniai (wilayah Meepago) menyebutkan petatas sudah ada sejak nenek moyang mereka bermukim di sana.
Mulai terpinggirkan
Dalam tujuh tahun terakhir, beberapa kampung di Kabupaten Jayawijaya berusaha menggiatkan tempat pengumpulan petatas. Kegiatan ini dijalankan karena penduduk di Kota Wamena nyaris tidak lagi mengonsumsi ubi jalar, melainkan beras.
Transportasi sangat mahal di pegunungan Papua membuat penduduk kampung sulit membawa petatas untuk dijual di kota. Pengumpulan menjadi alternatif distribusi ubi jalar dari kampung ke kota tanpa menguras biaya transportasi.
Satu dari sekian lokasi pengumpulan petatas dikelola Kiloner Wenda, seorang warga Wamena. Dua kali seminggu, Kiloner mengunjungi tempat pengumpulan petatas di sejumlah kampung.
Dia menerima petatas dari penduduk, menimbang, mencatat dan membawa ke Kota Wamena untuk dijual. Saat kembali beberapa hari kemudian, Kilober menyerahkan hasil penjualan petatas kepada penduduk kampung.
"Petatas semakin terpinggirkan. Itulah alasannya kami menggerakkan tempat pengumpulan," tutur Kiloner kepada BeritaBenar, Rabu 4 November.
Tempat pengumpulan petatas telah mengubah pola tanam berpindah yang selama ini dilakukan penduduk Lembah Baliem. Kampung Kimbim di Distrik Assologaima, Jayawijaya, menjadi salah satu tempat pengumpulan petatas yang dilakukan Kiloner.
"Sekarang kami bisa punya uang untuk kasih sekolah anak-anak dari jual petatas. Dulu kami cuma tanam untuk makan sendiri dan kasih makan ternak," kata Maria Asalokobal, seorang ibu rumah tangga di Kampung Kimbim.
Petatas dan pendidikan
Bagi warga Lembah Baliem, kebun adalah keseharian mereka. Segala sesuatu tentang kehidupan diajarkan di kebun sejak mereka belia hingga dewasa.
"Ubi jalar bagi masyarakat Baliem sama pentingnya dengan manusia Lembah Baliem itu sendiri. Ubi jalar bukan hanya bergizi, tapi juga nilai budaya. Semua pendidikan bagi anak-anak hingga mereka dewasa, terjadi di kebun, tempat ubi jalar ditanam,” tutur Kiloner.
“Orang tua juga mengajarkan segala sesuatu untuk kehidupan ini, seperti etika, moral dan pendidikan keluarga diajarkan di kebun," tambahnya.
Maria mengaku petatas bagaikan kehidupan bagi mereka. Bagi perempuan seperti dia, menanam petatas di kebun hingga panen bukan cuma keseharian, namun juga menunjukkan eksistensi perempuan pada laki-laki.
“Laki-laki dan perempuan kerja sama di kebun. Laki-laki buka lahan dan perempuan tanam petatas, merawat sampai panen. Kalau perempuan yang membuka kebun, itu berarti laki-lakinya pemalas. Perempuan bisa kasih tinggal laki-laki seperti itu,” jelasnya.
Maria mengakui, cara hidup di Kimbim yang cuacanya sangat ekstrim bergantung pada petatas. Di Lembah Baliem, angin dingin yang menusuk tulang sering terjadi.
“Kami bersyukur karena Tuhan memberikan pengetahuan kepada nenek moyang kami untuk bertahan hidup di lembah yang cuacanya ekstrim,” katanya.
“Makan petatas bisa bodoh”
Kiloner yang lahir dan besar di Wamena mengisahkan mengapa masyarakat Lembah Baliem jarang mengonsumsi ubi jalar padahal sejak dulu menjadi makanan pokok mereka.
Pendidikan di sekolah menjadi salah satu penyebab utama. Guru selalu bilang kalau anak didik makan petatas, mereka akan jadi bodoh. Tidak bisa pintar untuk mengejar cita-cita mereka.
"Waktu saya SD, guru-guru selalu bilang, kalau makan petatas, kamu jadi bodoh. Akhirnya setiap kali kami makan di honai (rumah tradisional), kami ragu-ragu makan petatas yang orang tua kami kasih,” jelas Kiloner mengenang nostalgia masa kecil.
“Kami selalu cari cara untuk makan nasi. Lama-lama, orang tua kami tahu. Lalu orang tua kami meski tinggal di kampung dan hanya bertani berusaha beli beras supaya kami mau makan."
Itu terjadi puluhan tahun lalu. Sekarang, kata Kiloner, pemerintah memberi bantuan beras sehingga warga di Lembah Baliem malas berkebun, menanam petatas untuk mereka konsumsi dan sebagai sumber penghasilan.
“Ini tragis. Saat orang mulai bicara diversifikasi pangan, masyarakat kami justru beralih ke beras,” ujarnya.
Masa depan petatas
Kepala Suku Asalokobal di Distrik Assologaima melepaskan 10 hektar tanahnya untuk ditanami petatas oleh warga Kimbim sejak tahun 2009. Dia tak berharap tanahnya diberi kompensasi oleh Pemerintah Daerah yang berupaya membudidayakan petatas di Jayawijaya.
Menurut dia, semua hal di Wamena terjadi sangat cepat. Ia mengkhawatirkan masa depan sukunya dan budaya mereka.
“Meski pemerintah daerah punya program tanam petatas, tapi program beras miskin tetap jalan. Bikin orang kampung malas ke kebun dan memilih tinggal di kota. Tanah saya masih luas. Saya kasih untuk penduduk menggarap kebun petatas, karena itu kehidupan kami, orang Baliem,” ujar Asalokobal.
Ia berharap suatu saat kampungnya memiliki tempat penyimpanan petatas seperti orang Maori di Selandia Baru.
“Orang Maori bisa menyimpan petatas sampai dua tahun dan mengolah petatas jadi makanan apa saja,” tutur Kiloner, yang mengunjungi Selandia Baru tahun 2006 untuk mempelajari cara warga Maori mengolah petatas.