UEA Setuju Tanamkan Rp144 Triliun Ke Lembaga Pengelola Investasi Indonesia

Putra mahkota Mohammed Abu Dhabi bin Zayed adalah ketua Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru.
Ronna Nirmala
2021.03.23
Jakarta
UEA Setuju Tanamkan Rp144 Triliun Ke Lembaga Pengelola Investasi Indonesia Foto yang dirilis oleh Istana Kepresidenan RI pada 17 Desember 2019 ini memperlihatkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo didampingi sejumlah pejabat meninjau Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, lokasi ibu kota yang baru di mana pemerintah saat ini menggalakkan investasi untuk pembangunannya.
AFP

Pemerintah menyambut baik Selasa (23/3) investasi setara Rp144 triliun dari Uni Emirat Arab (UEA) ke Indonesia Investment Authority (INA) yang sekaligus menempatkan negara Timur Tengah itu sebagai investor utama pertama dan terbesar di lembaga pengelola dana yang bertujuan untuk mendukung pembangunan nasional.

Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan komitmen senilai U.S.$10 miliar yang menjadikan komitmen keseluruhan investasi yang diperoleh INA hampir dua kali lipatnya itu, disepakati usai jalinan komunikasi antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed melalui sambungan telepon pada Jumat pekan lalu. 

“Kita menyambut baik investasi UEA. Ini akan mempersempit kesenjangan antara kapasitas pembiayaan dalam negeri dan kebutuhan untuk membiayai program pembangunan,” kata Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jodi Mahardi, kepada BenarNews, Selasa (23/3). 

Kemlu mengatakan bergabungnya UEA “semakin menunjukkan tingginya kepercayaan dunia internasional untuk berinvestasi pada INA dan akan semakin menarik investor dunia lainnya untuk bergabung dan berinvestasi.”

“Dengan investasi ini, UEA menjadi investor utama yang terbesar (anchor investment) pada INA,” kata Kemlu. 

Sementara itu, kantor berita resmi UEA, Emirates News Agency (WAM), mengatakan bahwa investasi tersebut akan dialokasikan pada sektor-sektor potensial yang memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, “termasuk infrastruktur, jalan, pelabuhan, pariwisata, agrikultur, dan sektor-sektor menjanjikan lainnya.” 

Bulan lalu, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah mengantongi komitmen investasi asing senilai total U.S.$9,5 miliar atau setara Rp133 triliun untuk INA, yang di antaranya berasal dari DFC AS, Japan Bank for International Cooperation (JBIC, Belanda melalui APG-Netherlands dan Kanada melalui Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ). 

Sejak rencana pembentukan lembaga pengelola investasi digagas pemerintah awal tahun lalu, UEA menjadi satu dari tiga pihak asing yang terbuka menyatakan dukungannya. 

Usai kunjungan ke Emirate Palace, 12 Januari 2020, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan bahwa UEA bersama-sama dengan SoftBank Group dari Jepang dan International Development Corporation (DFC) dari Amerika Serikat bersedia menanamkan modal hingga U.S.$22,8 miliar untuk lembaga pengelola investasi Indonesia, yang salah satunya bertujuan untuk membiayai pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur. 

Upaya pemerintah untuk melibatkan para calon investor itu kemudian ditindaklanjuti melalui penunjukkan bin Zayed sebagai Ketua Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru, pada 16 Januari 2020. Selain bin Zayed, Jokowi turut menggandeng mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan CEO SoftBank Group Masayoshi Son. 

Konstruksi dasar pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur yang sempat ditunda karena pandemi COVID-19 bakal dilanjutkan kembali pada tahun ini. 

Keberadaan INA disahkan pada Januari 2021, dua bulan usai acuan regulasinya yang termuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja resmi diteken Jokowi. Undang-undang Cipta Kerja atau yang dikenal dengan Omnibus Law tersebut banyak mendapat tentangan dari aktivis dan serikat buruh karena dinilai mengorbankan hak-hak pekerja dan lingkungan hidup demi investasi.  

Dewan Direksi INA dilantik satu bulan setelah pengesahan lembaga tersebut. “Penunjukkan dewan direksi itu adalah titik balik dalam tata kelola dan pengembangan sistem investasi di Indonesia,” tulis WAM. 

Pemerintah menargetkan INA beroperasi pada kuartal pertama tahun ini, dengan dana yang bisa terjaring mencapai sebesar U.S.$20 miliar atau sekitar Rp280 triliun selama satu hingga dua tahun ke depan. Untuk menarik dana sebesar itu, sovereign wealth fund (SWF) tersebut bakal menawarkan sejumlah aset dan proyek investasi dengan nilai berkisar U.S.$5 miliar sampai U.S.$6 miliar (Rp70-84 triliun).

Sektor strategis

Jodi Mahardi, juru bicara Menko Marves, mengatakan investasi dari UEA akan dialokasikan ke sektor-sektor strategis yang saling menguntungkan dan mendukung upaya pembangunan nasional Indonesia. 

“Investasi ini akan masuk melalui SWF (sovereign wealth fund) ke sektor-sektor strategis seperti pelabuhan, jalan tol, pariwisata, pertanian, dan lainnya,” kata Jodi. 

Duta Besar Indonesia untuk UEA, Husin Bagis, berharap INA dapat meningkatkan kemampuan permodalan bagi pembiayaan berbagai proyek pembangunan tanpa meningkatkan utang, menerapkan praktik berdasarkan pengalaman terbaik dari negara lain serta meningkatkan kinerja dan manfaat aset yang dapat dinikmati oleh masyarakat. 

“Kami akan terus aktif dan bekerja keras dalam meningkatkan hubungan bilateral kedua negara, khususnya dalam memfasilitasi upaya investasi dan kerja sama strategis di berbagai bidang,” kata Husin, dikutip dari situs Kemlu RI. 

Kinerja investasi dan penanaman modal asing (PMA) Indonesia sepanjang 2020 tercatat menurun 2,4 persen dari Rp423,1 triliun menjadi Rp412,8 triliun dari tahun sebelumnya, sebut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

Singapura dan Cina masih menjadi dua negara asal PMA terbesar Indonesia dengan nilai masing-masing U.S.$9,8 miliar dan U.S.$4,8 miliar. Kinerja investasi Cina tercatat terus melonjak sejak 2018 dan berhasil menggeser Jepang sebagai investor terbesar kedua Indonesia selama dua tahun berturut-turut. 

Pada Jumat (19/3), lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings, mengumumkan peringkat sovereign credit rating Indonesia pada level BBB dengan outlook stabil. 

Bank Indonesia mengatakan peringkat itu diberikan dengan mengacu pada prospek pertumbuhan ekonomi jangka menengah yang baik serta beban utang pemerintah yang rendah--meski terdapat peningkatan. 

“Afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil merupakan bentuk pengakuan stakeholder internasional atas stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia yang tetap terjaga di tengah pandemi COVID-19," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, pada Senin. 

Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal pulih pada 2021 dengan mencapai  5,3 persen dan 6 persen pada 2022. Sepanjang 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi 2,1 persen akibat pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.