Keempat Suku Uighur Menyanggah Keterangan Saksi Tentang Kunjungan ke Poso
2015.03.31
Keempat terdakwa teroris suku Uighur yang ditangkap di Poso terungkap sempat singgah beberapa saat di Palu sebelum dibawa menemui Santoso, ekstremis paling dicari di Indonesia saat ini. Santoso adalah pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang sekarang tengah masuk di dalam daftar penting pencarian orang.
“Kami minta ditemani hanya untuk jalan-jalan saja. Tuduhan ingin bergabung dengan Santoso tidak benar. Kami tidak bisa Bahasa Indonesia jadi sepertinya ada kesalahpahaman. Kami tidak sadar kemana Kami pergi,” ujar Bozoglan yang didampingi beberapa orang penerjemah.
Bozoglan dan ketiga rekannya di tangkap di Poso, Sulawesi Tengah tanggal 13 September, 2014. Pejabat Indonesia mengatakan Poso adalah sarang kegiatan teroris yang dipimpin oleh Santoso, Kepala Indonesia Mujahidin Timur (MIT).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dicky Octavian berkata bahwa keempat terdakwa dituntut Pasal 15, Pasal 7 dan Pasal 13 (3) Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Terorisme dan Pasal 119 UU. N0. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian karena terbukti menggunakan paspor dan visa palsu.
"Keempat terdakwa terlibat dalam kegiatan membahayakan terkait isu terorisme di Poso dan kelompok Santoso," kata Dicky kepada BenarNews.
Hal tersebut terungkap saat sidang kedua kasus ini di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin tanggal 30 Maret. Sidang menghadirkan dua orang saksi anggota MIT. Dalam sidang ini keempat orang Uyghur diadili secara terpisah.Tiga orang di antaranya -Ahmet Mahmud, Abdullah alias Altinci Bayyram dan Abdulbasit Tuzer- dilakukan terpisah dengan rekannya yang lain, Ahmet Bozoglan.
Kelompok militan menjemput keempat Uighurs ke Poso
Dalam persidangan Bozoglan, saksi bernama Akbar, 25 tahun, mengaku bertemu dengan keempat orang tersebut di rumah kerabatnya di Palu tanggal 12 September 2014. Mereka lalu dipindahkan ke kosan Akbar dan berada di sana selama beberapa jam.
“Pada pukul 23.00, mereka dijemput Saiful, anggota kelompok Palu, dengan mobil sewa ke Poso. Tujuannya saya tidak tahu. Mereka tidak bisa Bahasa Indonesia,” kata Akbar yang mengaku sempat bergabung dengan kelompok Santoso.
“Saya lalu tahu mereka ditangkap [polisi] dari televisi. Saya koordinasi dengan Faridz [anggota kelompok Palu lainnya] untuk tidak balik ke kosan karena ada penangkapan. Lalu Saya balik ke rumah orang tua dan mengontak Santoso lewat Facebook.”
Akbar menceritakan dirinya menghabiskan dua minggu di Poso untuk latihan militan dan kenal Santoso di sana. Dia banyak mempelajari tentang kelompok tersebut selama di sana, termasuk misi mereka untuk menegakkan syariat Islam di wilayah timur Indonesia lewat perang melawan pemerintah.
“[Latihannya] di gunung di sana. Tidak semua orang bisa masuk. Ada pasukan yang jaga. Perang hanya bagi yang mampu. Yang tidak mampu diminta loyalitasnya. Yang tidak mau, dianggap musuh,” tegas Akbar.
Penggelapan uang untuk membiayai kelompok radikal
Akbar mengaku dipaksa Faridz untuk mengantarkan uang Rp. 35 juta guna membiayai perjuangan kelompok dengan penggelapan sebuah perusahaan. Ia juga mengaku telah mencuri 19 sepeda motor.
Saksi lainnya, Ahmad Firdaus, 24 tahun, mengatakan bertemu dengan keempat orang ini ketika dia berkunjung ke kosan Akbar.
“Akbar menyuruh Saya datang ke kosannya. Di sana Saya bertemu mereka. Akbar bilang dia adalah kakak ipar dan hanya ingin berlibur. Mereka pergi tengah malam,” kata Ahmad yang menyangkal keterlibatannya dalam grup Santoso.
Pernyataan saksi disanggah
Bozoglan menyangkal semua pernyataan saksi.
“Memang betul Kami singgah di Palu tiga jam tapi tidak tahu itu rumah siapa. Kami tidak mengenal siapa itu Saiful. Kami hanya ingin berwisata,” ujar Bozoglan.
Asludin Hatjani menyatakan bahwa keempat suku Uighur sekarang dalam kondisi tertekan.
“Klien kami hanya berkunjung ke Sulawesi. Saksi lainnya akan dihadirkan dalam sidang berikutnya tanggal 6 April mendatang,” kata Asludin Hatjani kuasa hukum Bozoglan yang menolak berbicara banyak karena ingin mempersiapkan persidangan berikutnya.