TNI Bersikeras Menerapkan Uji Keperawanan Meskipun Dikritik Oleh Banyak Pihak

Oleh Paramita Dewiyani
2015.05.14
I50514_ID_TNI_VIRGINITY_TEST_VG_700.jpg Parade Angkatan Udara wanita saat ulang tahun ke-69 dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) tanggal 7 Oktober, 2014 di Surabaya.
AFP

Meskipun mendapat kritikan dari lembaga hak asasi manusia (HAM), ulama dan anggota Dewan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memastikan lembaganya akan terus melakukan uji keperawanan bagi calon prajurit perempuan dan tunangan prajurit.

"Peraturan ini tidak manusiawi karena menyudutkan dan mempermalukan perempuan,” kata Anggota Komisi I DPR Irine Yusiana Roba kepada wartawan tanggal 14 Mei.

“Kesehatan fisik dan kecerdasan jiwa sangat penting ‎dalam seleksi calon prajurit untuk menunjang tugas-tugas kemiliteran. Uji keperawanan tidak ada kaitannya dengan kedua hal ini," katanya lanjut.

Perkataan Irine merupakan respon terhadap pernyataan Jenderal Fuad Basya dari Pusat Penerangan TNI.

Fuad sebelumnya mengatakan bahwa uji keperawanan diperlukan untuk memastikan kesehatan mental calon prajurit perempuan.

“Persyaratan ini sudah diterapkan di TNI puluhan tahun dan selama kurun waktu tersebut tidak ada hasil yang memberatkan,” katanya sambil menegaskan bahwa uji keperawanan merupakan bagian dari uji kesehatan.

“Jadi kita akan terus menerapkan uji keperawanan,” katanya mengkonfirmasi kepada BeritaBenar tanggal 14 Mei.

Human Rights Watch (HRW) telah mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghapus uji keperawanan bagi calon prajurit wanita Indonesia dan tunagan prajurit.

"Militer Indonesia (TNI) harus menyadari bahwa tes keperawanan menyakitkan dan memalukan bagi calon prajurit wanita dan tunangan prajurit. Uji ini tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional," kata Nisha Varia, direktur advokasi HRW untuk divisi hak-hak perempuan dalam siaran pers tanggal 14 Mei yang digelar di kantor Tempo.

Nisha mengatakan bahwa HRW akan menyampaikan permohonan ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Komite Internasional Medicine Militer (ICMM) yang akan diselenggarakan 17-22 Mei 2015 di Bali.

“Kami akan terus menyuarakan hal ini,” katanya lanjut.

Ada toleransi

Fuad menjelaskan kepada BeritaBenar, meskipun uji keperawanan diterapkan untuk setiap calon prajurit perempuan dan tunangan prajurit, tetapi uji ini dilakukan dengan seksama dan dengan toleransi.

“Kita mengerti bahwa selaput dara bisa rusak karena kecelakaan atau sakit. Nah ini dokter militer yang menentukan,” katanya sambil menegaskan bahwa kehilanganan keperawanan ditakutkan sebagai kebiasaan hubungan seksual yang tidak sejalan dengan misi TNI atau merupakan tanda perilaku menyimpang.

Farida Rakirnata, istri seorang prajurit TNI, menyatakan bahwa uji keperawanan yang pernah ia alami sangat panjang prosesnya.

“Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit atau puskesmas biasa. Yang bisa melakukan uji ini hanyalah rumah sakit militer,” katanya kepada BeritaBenar.

Farida menyatakan hasil yang lama sempat menunda rencana pernikahannya.

Farida menambahkan bahwa seharusnya uji keperawanan dilakukan oleh dokter militer perempuan, tetapi karena keterbatasan jumlah dokter perempuan di rumah sakit militer, ia harus disperiksa oleh seorang dokter laki-laki.

“Waktu itu saya merasa tertekan tetapi tidak ada pilihan,” katanya lanjut.

Farida setuju uji keperawanan tidak perlu dilakukan di masa depan.

“Uji ini tidak akan memberikan garansi bahwa seorang perempuan mempunyai akhlak yang baik atau tidak,” katanya lanjut.

‘Berpotensi menyebarkan fitnah’:MUI

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jember Halim Subahar menegaskan meskipun uji keperawanan seolah-olah nampak Islami, tetapi sesungguhnya ini justru berlawanan dengan prinsip Islam yang terdapat di dalam Quran dan Hadist.

“Bukankah dalam Islam aurat harus dirahasiakan? Dengan tes ini bagaimana jika hasilnya sampai tersebar bahwa seorang gadis tidak lagi perawan. Yang ada kemudian adalah fitnah,” katanya kepada BeritaBenar sambil menegaskan bahwa tuduhan dalam masyarakat atas hal ini masih sangat sensitif dan bisa berakibat mengucilkan individual tersebut.

“Apakah ini bisa kita sebut Islami?” katanya lanjut.

Halim mendorong pemerintah dan jajaran TNI untuk meninjau kembali kebijakan ini.

“Islam mendorong kedamaian bagi semua kaum, baik pria dan wanita. Karena itu seharusnya kebijakan yang akan datang menyuarakan kesamaan hak ini,” kata Halim.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.